KONSEP KEPEMIMPINAN SEMAR DALAM WAYANG PURWA DITINJAU DARI FILSAFAT POLITIK
Oleh:
HISYAM NUR
PASCASARJANA STAIN
(Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri )
CIREBON
2009-2010
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan kebudayaannya. Kebudayaan yang timbul dan berkembang dalam setiap suku memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda-beda, salah satunya adalah kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa dalam hal ini Jawa Tengah mempunyai ragam kebudayaan, salah satunya adalah wayang. Bagi masyarakat Jawa pagelaran wayang yang hanya dipentaskan pada hari-hari tertentu seperti hari perayaan keagamaan dan acara-acara slametan (upacara yang ditandai dengan sajian bermacam-macam makanan yang ditentukan menurut kebudayaan Jawa), dan untuk merayakan peristiwa penting, misalnya kelahiran, sunatan, perkawinan itu, tidak hanya sebagai hiburan akan tetapi pada perkembangannya, cerita-cerita atau lakon yang dipentaskan disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang sedang dialami oleh masyarakat. Bahkan sering kali pementasan wayang ini menyindir bahkan mengkritik para tokoh masyarakat, politikus, dan pemimpin negara yang perilakunya dianggap ‘menyimpang' dari harapan masyarakatnya.
Salah satu tokoh wayang yang paling banyak digemari dalam masyarakat Jawa adalah Semar . Dalam mitologi Jawa, semar adalah seorang pemimpin yang sering dipuja karena keberhasilannya dalam memajukan bangsa. Tokoh ini banyak dijadikan sebagai simbol seorang pemimpin yang ideal, yang memiliki sifat rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa , mengurangi makan dan tidur, dan laku lainnya. Hal ini menarik karena sifat-sifat manusia dalam mitologi Jawa sering kali disimbolkan dengan sifat dan watak dari tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan, bahwa apa yang terjadi di dunia pewayangan akan terjadi pula di dunia nyata ini, seolah apa yang dilakonkan dalam cerita wayang, menggambarkan keadaan yang nyata baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Dalam kenyataan hidup, semar merupakan lambang yang memberi petunjuk mengenai hidup, kehidupan dan masalahnya. Petunjuk-petunjuk semar sedehana, karena dia seorang pembantu atau abdi , tetapi karena tokoh semar ini baik hati dan penasehat para Pandhawa yang bijaksana, para hadirin yang menonton wayang wajib memperhatikan nasehat dan ajaran semar serta petunjuknya, yang selama ini dianggap sebagai contoh dan teladan orang Jawa.
Oleh karena itu, menurut Niels Mulder (1996) ajaran-ajaran Jawa penuh dengan simbolisme dan ilmu rahasia ( ngelmu ) yang memacu angan-angan dan renungam mitologi wayang purwa yang diilhami oleh cerita Mahabharata , kehidupan dunia nampak hanya merupakan pencerminan semata, suatu bayangan dari kebenaran dan kejadian-kejadian yang lebih tinggi.
Dalam pembahasan akan dipapar lebih lanjut mengenai tokoh semar dalam mitologi Jawa dilihat dari konsep kepemimpinan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal Figur Semar
Semar Badranaya adalah tokoh punakawan yang dalam wayang Jawa memiliki peran yang lebih utama daripada wayang babon (wayang dengan tokoh asli India ). Punakawan adalah karakter yang khas dalam wayang Indonesia . Mereka melambangkan sifat manusia. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasehat para ksatria, penghibur, kritisi social, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Dalam wayang Jawa karakter punakawan terdiri atas Sema r, Garen g, Bagon g dan Petruk .
Di dalam wayang kulit, semar adalah pembantu Pandhawa, tetapi dia sangat dihormati oleh tuannya. Semar biasanya dimintai nasehat oleh Pandhawa dalam mengambil keputusan mengenai masalah yang dianggap gawat dan mendesak. Sebagai punakawan yang tertua, semar tidak punya keinginan memegang kekuasaan duniawi sebagaimana halnya kebanyakan manusia. Hal ini dikarenakan kekuasaan umumnya dapat mengubah watak, situasi sekaligus dapat mencelakakan. Semar dapat mencapai tujuannya secara efektif dengan cara memberi contoh, sebagai metode pengajarannya tanpa bermaksud mengusai orang lain atau harta benda. Masyarakat Jawa percaya bahwa semar adalah turunan dari satu dewa dalam mitos yang paling berkuasa.
Sebagai tokoh wayang yang memiliki banyak keunggulan sifat pribadi, banyak masyarakat Jawa yang tetarik dengan dunia wayang, menjadikan semar sebagai sosok ideal yang patut dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari-hari. Kehadiran semar dalam kehidupan nyata ini sering ditunggu-tunggu mengingat kondisi negara saat ini yang semakin kacau, kesengsaran dan penindasan oleh kaum kuat terhadap yang lemah semakin merajalela, moral dan etika tidak lagi diindahkan, para pemimpin yang hanya memikirkan kekayaan pribadi tanpa peduli dengan keadaan rakyatnya yang semakin tertindas dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Dunia pewayangan melukiskan situasi tersebut sebagai penanda akan hadirnya tokoh semar, seorang dewa yang turun dari langit untuk menyelamatkan manusia (Abdul Munir Mulkan, 2005).
Mitos Asal Usul Semar
Tuti Sumukti (2005:20) mengatakan ada dua versi utama yang menceritakan asal-usul semar. Pertama, langit dan bumi yang dikuasai oleh Sang Hyang Wenang , mempunyai anak bernama Sang Hyang Tunggal . Sang Hyang Tunggal ini mempunyai istri bernama Dewi Rekawati , putri kepiting raksasa yang bernama Rekatama. Pada suatu hari Dewi Rekawati bertelur dan seketika itu telur itu terbang ke langit menuju ke hadapan Sang Hyang Wenang . Telur itu menetas sendiri kemudian muncul tiga makhluk yang berasal dari kulit telur, putih telur dan kuning telur. Makhluk yang berasal dari kulit telur dinamai Tejamantri , dari putih telur adalah Ismaya dan yang dari kuning telur itu Manikmaya.
Pada suatu hari mereka terlibat pertengkaran karena mempermasalahkan siapa yang akan menggantikan kedudukan ayahnya kelak, sebagai penguasa. Manikmaya menyarankan agar diadakan pertandingan menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Tejamantri , melakukannya lebih dulu, tetapi gagal. Kemudian Ismaya , dia dapat menelannya, tetapi tidak berhasil memuntahkannya kembali. Kejadian ini menyebabkan terjadinya Goro-Goro atau bencana. Goro-goro ini menyebabkan Sang Hyang Wenang turun tangan dan mengambil keputusan bahwa pada waktunya Manikmaya akan menjadi raja para dewa, penguasa kahyangan dan akan mempunyai keturunan yang menjadi penduduk bumi. Sementara Tejamantri dan Ismaya harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan Manikmaya . Keduanya boleh menghadap Sang Hyang Wenang jika Manikmaya bertindak tidak adil. Sejak saat itu nama mereka diganti, Tejamantri menjadi Togog , Ismaya dinamakan Semar dan Manikmaya menjadi Bathara Guru . Karena sebuah gunung pernah ditelannya bentuk tubuh semar menjadi besar, gemuk dan bundar.
Versi kedua, bahwa sebutir telur yang dipegang Sang Hyang Wenang menetas sendiri dan tampaklah langit, bumi dan cahaya atau teja serta dua makhluk anthropomorphis, Manik dan Maya . Versi pertama dan kedua bila dibandingkan akan ada persamaan, Ismaya dari versi pertama dan Maya dari versi kedua terjadi dari putih telur. Manikmaya dan Manik merupakan transformasi dari kuning telur dan keduanya menjadi raja para dewa di surga. Dalam kedua versi tersebut Manikmaya dan Manik menjadi Bathara Guru , yang keturunannya tersebar di surga dan bumi, sedangkan Ismaya dan Maya dinamakan Semar dan dijadikan pelindung bumi. Jelas disini bahwa semar adalah tokoh dominan di alam semesta dan sebagai pelindung bumi yang erat kaitannya dengan penduduk bumi.
Penggambaran Tokoh Semar
Menurut Herjaka dalam tulisannya di situs www.jawapalace.org semar dalam bahasa Jawa disebut dempel = keteguhan jiwa . Rambut semar berbentuk seperti kuncung yang bermakna akuning sang kuncung , yaitu sebagai kepribadian pelayan yang mengejawantah untuk melayani manusia.
Dia tidak laki-laki dan bukan perempuan, tangan kanannya ke atas mempunyai makna bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan symbol Sang Maha Tunggal . Sedangkan tangan kirinya ke belakang mengandung makna berserah total dan mutlak serta sekaligus symbol kemuliaan yang netral namun simpatik.
Penggambaran bentuk fisik semar tidak mudah ditebak. Wajahnya adalah wajah laki-laki, tapi badannya seperti perempuan dengan perut dan dada besar. Rambutnya putih dan memiliki kerutan di wajah yang menandakan dia telah lanjut usia, tetapi potongan rambutnya kuncung sepeti anak-anak. Bibirnya tersenyum tetapi matanya selalu mengeluarkan air mata. Semar menggunakan kain sarung kawung seperti yang digunakan para abdi.
Penggambaran bentuk yang demikian menjadikan semar sebagai sosok yang sarat misteri dan juga simbol kesempurnaan hidup. Tubuh semar tersimpan karakter wanita, laki-laki, anak-anak, orang tua, ekspresi gembira dan sedih bercampur menjadi satu.melihat genealogi semacam itu, semar selalu hadir dalam setiap lakon wayang dan kehadirannya sangat dinanti para penggemarnya. Meskipun dia seorang abdi , rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam namun dibalik wujud lahirnya tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, mampu menyelesaikan masalah, sabar, dan bijaksana.
B. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
Masalah pemimpin dan kepemimpinan merupakan masalah sosial. Pemimpin tidak akan muncul tanpa adanya masyarakat, pemimpin tidak dapat disebut pemimpin tanpa adanya kelompok individu sebagai bawahannya. Manusia merupakan topik sentral mengenai permasalahan dan tujuan ilmu-ilmu kepemimpinan, khususnya mengenai ketertiban, keselarasan, keteraturan dan ketrentaman hidupnya. Fungsi seorang pemimpin untuk menjaga terlaksananya suatu peraturan yang berlaku sering terjadi meskipun telah dibuat suatu peraturan jika tanpa pengarahan dan petunjuk yang benar dari orang-orang yang lebih tahu (pemimpin), pelaksanaan peraturan itu justru akan menimbulkan permasalahan baru
Seorang pemimpin dapat dilihat dari kemampuannya mewujudkan cita-cita kelompok, kemampuannya untuk berkomunikasi dengan lingkungan juga kemampuan menangkap dan menjabarkan kebudayan yang melingkupi kehidupannya. Pemimpin merupakan figur multidimensi, dimana ia hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat sekaligus ketua kelompok. Ia selalu berkepentingan dengan keadaan dan kejadian dalam lingkungannya.
Thomas Aquinas mengatakan bahwa seorang penguasa (pemimpin) negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat yang dikuasainya. Tugas penguasa negara yang utama adalah mengusahakan kesejahteraan dan kebajikan hidup bersama. Untuk itu pengusa negara dituntut untuk memungkinkan rakyat memenuhi kebutuhan materialnya, diantaranya kebutuhan sandang pangan. (Ahmad Suhelmi, 2001:100)
Alfred Mc. Lunglee seperti yang dikutip oleh Jarmono (1983), merumuskan pengertian kepemimpinan, bahwa seorang pemimpin ialah seorang yang memiliki status kepemimpinan, suatu posisi penguasaan atau pengendalian yang membudaya di dalam kelompok masyarakat. Menjadi simbol suatu gerakan yang memahami dengan benar akan dirinya sendiri secara internal dan eksternal yang mempunyai peranan sebagai juru bicara kelompoknya. Memiliki sedikit pengikut atau tidak mempunyai pengikut secara langsung, tetapi yang meletakkan jalan dikemudian hari akan dilalui atau diikuti orang lain.
C. Konsep Kepemimpinan Ideal Ala Semar
1. Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ilmu politik, semar dapat dijadikan sebuah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yaitu Manunggaling kawula-Gusti (kesatuan hamba-Raja). Semar diantara punakawan adalah guru, sesepuh dan pemimpin mereka. Dalam hubungannya dengan Arjuna salah satu dari Pandhawa, semar juga abdi (pelayan). Pelayan disini dapat disamakan dengan ‘pembantu' tetapi bantuan yang diberikan semar lebih bersifat abstrak. Bantuan abstrak yang diberikan semar adalah berupa ajaran. Arjuna dan Semar bersama-sama melambangkan (satuan) yang berupa ‘manusia', Arjuna sebagai pribadi sedangkan semar sebagai pikiran dan kesadarannya. (Tuti Sumukti, 2005:93) Tidak dapat dipisahkannya antara Arjuna dan para punakawan terutama semar ini melembangkan konsep Jawa tentang manunggaling kawula-gusti . Bahwa seorang raja (gusti) dengan mengikuti hukum harus pasrah atau menyerahkan diri pada ajaran tersebut. Dengan cara ini raja dapat mengajar rakyatnya (kawula) dengan memberi contoh menurut hukum yang berlaku.
Selo Soemardjan, yang dikutip oleh Tuti Sumukti (2005: 93-94) menerjemahkan mengenai salah satu cerita dalam lakon wayang yang berjudul Wahyu Tejamaya :
Meskipun raja memegang kekuasaan tertinggi atas rakyatnya, dia harus selalu ingat bahwa dia satu-satunya penghubung, yang sangat berpengaruh diantara kerajaannnya dan dunia (kekuatan) gaib. Dia tidak dapat lepas dari salah satu dari mereka, dan tidak bisa berselisih dengan mereka juga. Nama yang dipakai oleh Sultan Yogyakarta yang pertama mencerminkan kewajiban yang disadari karena kedudukannya yang penting itu. Sebagai pangeran , dia diberi gelar “ Mangkubumi ”, yang artinya memangku dunia ini. Tetapi sebagai sultan atau raja, dia memakai gelar Hamengkubuwono , orang yang melindungi alam semesta. Nama ini memberi tanda kewajiban raja yang utama, yaitu menyatukan kerajaannya dengan alam semesta dengan perantaraan dirinya. Dengan tekanan pada kewajiban utama ini, pertimbangan terpenting kenegaraan ada pada tercapainya persatuan antara kawula atau rakyat dan rajanya yang disebut manunggaling kawula-gusti . Dalam aspek mistiknya, konsep ini bermakna persatuan antara alam gaib dan manusia dan juga persatuan antara manusia dan penciptanya. Konsep persatuan yang harus dicapai dan merupakan kewajiban utama raja ini, disertai dengan adanya nilai-nilai sosial yang diikuti para kawula . Tujuan utama dalam hidup para kawula adalah tercapainya persatuan tersebut diatas. Pada tingkat perseorangan, sesorang dapat bersatu dengan kekuatan alam gaib dengan menyerahkan diri atau pasrah pada ajaran seorang guru, tetapi untuk pemerintahan (kerajaan) dan masyarakat seluruhnya, satu-satunya perantara adalah raja.
Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia seharusnya dapat memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum. Hukum-hukum negara yang baik belum tentu berakibat baik, jika yang dari atas itu tidak disesuaikan dengan kepentingan dan kondisi rakyat, seperti dalam ajaran manunggaling kawula-gusti .
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa pemimpin. Badan, karakter dan kualitasnya adalah tingkat tinggi, tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar mudah menangis ketika melihat penderitaan manusia yang di abdi nya, itulah sebabnya wayang semar matanya selalu berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada menangisi dirinya sendiri. Semar sudah tidak peduli dan tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orang lain. Semar sebagai keturunan dewa seharusnya menguasai ‘dunia atas' dan menguasi segalanya, tetapi ia memilih hanya menjadi abdi, tidak kaya dan tidak berkuasa.
Cerminan seorang pemimpin yang baik melihat yang dipimpinnya tidak dari atas singgasana yang terpisah, tetapi melihat dari sudut pandang rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin sejati itu menurut filsafat semar adalah bersifat paradoks. Seorang pemimpin adalah seorang majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat dengan kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan yang salah. Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber dari Hastabrata dan dimitoskan dalam diri semar.
2. Pengaruh Konsep Kepemimpinan Semar dalam Kehidupan Masyarakat
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di Jawa.
Figure punakawan khususnya semar dapat dijadikan sebagai figur pemimpin yang sejati dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pengertian punakawan. Punakawan secara lahiriah adalah sebagai symbol atau suatu pola terstruktur dari ‘pembantu pimpinan' yang sangat ideal. Kata punakawan menurut pedalangan berasal dari kata pono , yang artinya cerdik, cermat dalam pengamatan dan kata kawan = teman. Punakawan berarti teman atau pamong yang sangat cerdik, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan yang luas dan pengamatan yang tajam serta cermat. Punakawan itu adalah abdi (bukan pelayan). Abdi itu hendaknya memiliki watak bijaksana, dapat dipercaya, jujur, panjang nalar dan tenang serta berani menghadapi segala situasi dan perasaan, baik yang sederhana maupun yang rumit.
Kehadiran semar dalam kehidupan nyata ini sering ditunggu-tunggu mengingat kondisi negara saat ini yang semakin kacau, kesengsaran dan penindasan oleh kaum kuat terhadap yang lemah semakin merajalela, moral dan etika tidak lagi diindahkan, para pemimpin yang hanya memikirkan kekayaan pribadi tanpa peduli dengan keadaan rakyatnya yang semakin tertindas dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Sebagai simbol kearifan dalam dunia wayang, semar adalah dewa yang menyamar sebagai orang kecil untuk mengembalikan perdamaian saat Negara dalam keadaan gawat. Nampaknya hal ini menjadikan banyak masyarakat atau segelintir orang yang masih peduli dengan kelangsungan hidup negara ini mendambakan sosok semar yang menjelma dalam kehidupan real saat ini, yang mampu menyelamatkan bangsa dari berbagai krisis multidimensi yang sedang melanda bangsa Indonesia. Terlebih lagi dalam agama Islam juga diajarkan bahwa akan ada seorang Al-Mahdi yang diturunkan Tuhan sebagai sang pembebas.
BAB III
KESIMPULAN
Figur pewayangan yang selalu dijadikan panutan, semar yang memiliki kelebihan-kelebihan tokoh punakawan yang menjadi dewa penyelamat bagi kekacauan sebuah Negara. Penjelmaan dari seorang Batara yang mau menjadi abdi atau pembantu dari para Raja dan Ksatria.
Pertunjukan wayang kulit telah menjadi salah satu wahana terpenting untuk menyampaikan berita dan ajaran yang bersifat kebudayaan kepada masyarakat Jawa khususnya. Melalui cara ini mereka belajar membedakan nilai-nilai positif dan negatif. Dalam cerita wayang, sosok semar mencerminkan tingkah laku yang terpuji dalam menyelesaikan msalah lingkungan yang mencakup pertimbangan kebudayaan. Perbuatan semar yang dalam pembahasan ini mengenai bagaimana seorang pemimpin seharusnya bertindak menunjukkan adanya bimbingan berdasarkan konsep-konsep dan kepercayaan orang Jawa, yang membawa kearah dan tujuan yang rasional. Putusan semar dapat diterima oleh semua pihak.
Di jaman yang menurut Ronggowarsito adalah jaman edan ini, terasa relevan kini, ketika perilaku menyimpang menjadi jalan legal untuk memperoleh kekuasaan dan meraih kekayaan, sementara banyak rakyat kecil yang merasa tertindas dengan keadaan yang semakin tidak menentu, harga-harga barang kebutuhan menjadi mahal sementara perbaikan nasib yang dijanjikan para pemimpin tak kunjung terwujud. Dunia pewayangan melukiskan situasi tersebut sebagai penanda akan hadirnya semar, seorang dewa yang bertugas sebagai penyelamat jaman.
Semar memang ada dalam dunia mitologi, tapi yang penting bagaimana mitos itu menjadi kesadaran budaya dan politik sebagai referensi seluruh dinamika kehidupan sebuah bangsa. Meskipun Negara ini seolah membutuhkan kehadiran seorang semar yang bisa menyelamatkan negara dari keterpurukan yang berkepanjangan, akan tetapi para pemimpin dan rakyat tidak hanya berpangku tangan dan berdiam diri saja menanti kehadiran semar dalam kehidupan nyata tapi hendaknya berusaha memperbaiki diri dengan kembali kepada ajaran agama dan hukum serta norma yang berlaku di masyarakat dengan diawali dari diri pribadi masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 2000. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa .
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Jarmono, Drs. 1983. Kepemimpinan Sebagai Ilmu dan Seni . Yogyakarta : Liberty .
Katodirdjo, Sartono, dkk. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi . Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Kattsoff, Louis. O. 1996. Pengantar Filsafat . Yogyakarta : Tiara Wacana.
Mulder, Niels. 1996. Pribadi Dan Masyarakat Di Jawa. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Mulkhan, Abdul Munir. 2005. Menunggu Semar Di Zaman Edan . Dalam Kompas,
19 Maret 2005. Jakarta .
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : Gramedia.
Sumukti, Tuti. 2005. Semar: Dunia Batin Orang Jawa . Yogyakarta : Galang Press.
www.gusdur.net
www.jawapalace.org
www.kcm.com
www.seasite.niu.edu/Indonesian/wayang
www.wikipedia.org/wiki/Semar
http://jurnalmahasiswa.filsafat.ugm.ac.id/nus-12.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar