BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia baik sebelum kemerdekaan atau sesudah kemerdekaan banyak organisasi-organisasi yang muncul yang dirasakan sangat berpengaruh diantaranya adalah organisasi Al-Wasliyah dan Nahdatul Ulama (NU)
Al Jam`iyatul Washliyah merupakan organisasi kemasyarakatan dengan amal ittifaknya yaitu pendidikan, dakwah dan amal sosial yang didirikan oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiah Tapanuli Medan, Sumatera Utara pada tanggal 9 Rajab 1349 H bertepatan tanggal 30 Nopember 1930 dan organisasi tersebut diberi nama ALJAM`IYATUL WASHLIYAH (Al Washliyah) oleh Ulama Besar Shyeh H. Muhammad Yunus. Sedangkan
NU (Nahdhatul Ulama) merupakan ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Kenyataan ini adalah salah satu bukti kuat bahwasanya nuansa keberagamaan yang diusung NU dengan konsep Aswajanya, lebih cocok bagi mayoritas masyarakat Muslim Indonesia dibanding ormas-ormas keagamaan lainnya.
Kedua organisasi diatas sangat menarik dikaji baik dari sisi sosial, politik, budaya dan sebagainya, karena dirasakan pada zaman sekarang banyak orang-orang al-wasliyah dan NU yang masi tabuh dengan sejarah ke-wasliyaan dan ke-NU-an.
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka pemakalah menganggap perlu untuk menggali sejarah Al-Wasliyah dan NU beserta perannya masing-masing. Untuk memudahkan pembahasan, maka pemakalah akan merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Al-Wasliyah dan Perkembangannya di Indonesia ?
2. Bagaimana Sejarah NU dan Perkembangannya di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-WASLIYAH
1. Sejarah berdirinya Al-Wasliyah
Al Jam`iyatul Washliyah merupakan organisasi kemasyarakatan dengan amal ittifaknya yaitu pendidikan, dakwah dan amal sosial yang didirikan oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiah Tapanuli Medan, Sumatera Utara pada tanggal 9 Rajab 1349 H bertepatan tanggal 30 Nopember 1930 dan organisasi tersebut diberi nama ALJAM`IYATUL WASHLIYAH (Al Washliyah) oleh Ulama Besar Shyeh H. Muhammad Yunus. Dan mejadi landasan gerakan perjuangannya adalah Quran Surat Asshof ayat 10 – 11 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu aku (Allah) tunjukkan suatu perniagaan yang melepaskan kamu dari azab yang pedih ?, berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya dan bekerjalah kamu bersungguh-sungguh (berjihad) di jalan Allah dengan harta dan dirimu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Memperhatikan salah satu seruan dan petunjuk Allah Swt sebagaimana tertulis pada ayat diatas dapat dipahami bahwa untuk mencapai kesusksesan hidup didunia dan akhirat setidak-tidaknya harus terpenuhi dua syarat, yang pertama beriman kepada Allah dan RasulNya, sedangkan yang kedua adalah berjuang secara sungguh-sungguh (berjihad) dengan menyumbangkan harta, tenaga, pikiran, pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sebagainya. Jihad yang dimaksud bukan hanya berangkat ke medan perang tetapi memperdalam pengetahuan dan mengembangkan pendidikan merupakan bagian dari jihad.
2. Al-Wasliyah dan Perkembangannya di Indonesia
Dilihat aspek pengembangan pemikiran keagamaan, Al-Washliyah pun berada di garda depan. Di zaman Belanda Al-Washliyah berhasil upaya de-mistifikasi (penghancuran berpikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya, tetap tetap berpijak pada konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan (kecerdasan emosional), Al-Washliyah berhasil membawa umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan inspirasi ajaran Qur’an dan Sunah. Dari pola pemikiran rasional tsb gerakan Al-Washliyah telah “membangunkan” kesadaran umat Islam yang sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan Al-Washliyah bisa membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan umat dan bangsa lainnya.
Bahkan peranan Al-Washliyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa, selain ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain. Terlebih dalam menyikapi isu-isu nasionaol dan internasional selalu tampil di depan sebagai pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang diperankan individu kader-kadernya.
Analisis tersebut wajar. Sebab dalam rentang usianya mendekati satu abad, Al-Washliyah telah, sedang dan akan terus mengahasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa. Dari latar belakang tersebut di atas, bila meminjam teori Hero (Tokoh) nya Thomas Carlyle bahwa pemimpin besar (The Great Man) sebagai penggerak idea akan terjadi perubahan sejarah. Bahwa idea dapat membangkitkan gerak sejarah suatu bangsa, jika ada penggeraknya yaitu pemimpin besar. Seperti halnya ajaran Islam, tidak akan berkembang tanpa kehadiran dan peranan pemimpin besarnya, nabi Muhammad. Dengan memakai pendekatan teori sejarah ini, maka gerakan Al-Washliyah tidak akan berkembang dan berpengaruh besar sampai kini jika tanpa kehadiran ideolog dan penggerak awalnya.
Karena itu mencermati dan melakukan studi atas pemikiran Para Pendiri Al-Washliyah menjadi penting dilakukan. Ini akan berguna untuk memahami dinamika perkembangan Al-Washliyah khususnya, dan dinamika umat Islam dan bangsa Indonesia.
Karena bagaimanapun juga Al-Washliyah didirikan sebagai organisasi kemasyrakatan yang yang berkiprah dibidang pendidikan, dakwah, dan amal social.
3. Tujuan Berdirinya Organisasi Al-Wasliyah
Selain itu juga tujuan asasi pendirian Al-Washliyah untuk melaksanakan tuntunan Islam dalam meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat nampaknya telah mengalami pergeseran yang cukup darastis dari kehidupan dunia kepada kehampaan hidup (dari dunia untuk dunia), karena jalan untuk meraih kedua kehidupan tersebut diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar mampu mengelola alam dan lingkungan sebagaimana salah aspek kestagnasian Al-Washliyah ini bersumber dari ketiadaan atau ketidak siapan diri dalam melakukan aksi inovatif kreatif yang mampu membangun Al-Washliyah untuk lebih baik dari sebelumnya.
Sedangkan pada aspek tabligh, tazkir, dan pengajian di tengah masyarakat yang merupakan agenda dasar Al-Washliyah juga telah melemah dalam artian aktifitas lebih cenderung dilakukan kepada orientasi lain bersifat profan hanya mendatangkan keuntungan pribadi dengan meninggalkan keutuhan dan integritas umat yang merupakan bangunan fundamen dalam menata masyarakat yang adil dan beradab dalam bingkai kepatuhan kepada Tuhan sebagai bentuk masyarakat madani yang tercerahkan pemikirannya.
Demikian juga cita luhur Al-Washliyah untuk membangun Perguruan Tinggi sebagai upaya kesempurnaan pelajaran, pendidikan dan kebudayaan juga nampaknya merupakan upaya yang belum dapat disebut berhasil walaupun sebenarnya dari dahulu sudah ada Perguruan Tinggi Al-Washliyah akan tetapi keberadaannya yang belum siap untuk bersaing dengan Perguruan Tinggi lain yang kondisi ini muncul dari minimnya tenaga ahli yang mampu mengelola dan memajukan lembaga tersebut, serta ditambah kurangnya sarana fisik yang menunjang semakin memperburuk keadaan Perguruan Tinggi Al-Washliyah hari ini, walaupun sebenarnya telah dilakukan inovasi kearah perbaikan.
Demikian juga aktifitas lain yang dirintis Al-Washliyah dalam menyatuni fakir miskin, memelihara dan mendidik anak yatim, menyampaikan seruan Islam kepada orang yang belum beragama, mendirikan dan perbaiki tempat ibadah sangat jauh dari apa yang diinginkan para pendahulu khususnya dalam menyantuni anak yatim lebih terkesan tanpa adanya manajemen memadai dalam bentuk pemberian keterampilan kepada anak-anak yang diasuh berakibat saat anak sudah meninggalkan Al-Washliyah sulit untuk berpartisipasi dalam memajukan yang semestinya sudah menjadi tanggung kolektif atau minimal sebagai beban moral masyarakat Al-Washliyah.
B. NAHDATUL ULAMA (NU)
1. Sejarah NU
NU (Nahdlatul Ulama) sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah) secara resmi berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. NU didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari (Al Maghfurlah) dkk, sebagai wadah “berlakunya” ajaran Islam yang berhaluan Ahlu Al sunnah wa Al Jama’ah yang mengikuti salah satu madzhab empat, di tengah-tengah kehidupan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Situasi kolonialisme juga merupakan faktor berdirinya organisasi ulama ini, dimana wadah ini sebagai sarana efektif untuk menunjukkan rasa nasionalisme dan patriotisme di kalangan ummat Islam, dalam rangka menghadapi penjajah Belanda. Wacana Horgronje tentang kelompok Islam religius dan Islam politik, turut serta menjadikan NU sebagai salah satu organisasi yang mampu bertahan ditengah pembatasan-pembatasan penjajah Belanda. Karena NU masih digolongkan sebagai kelompok Islam religius, dalam artian segala aktifitasnya tidak membahayakan eksistensi penjajah Belanda. Terbukti dengan diperolehnya pengesahan dari Gouvernour General van Nederlandsch-Indie pada tanggal 16 Februari 1930.
Pada dasarnya Nu juga tidak mencapuri urusan politik dan pada kongresnya pada bulan oktober 1928 di Surabaya diambil keputusan untuk menentang reformasi kaum modernis dan perubahan yang dilakukan wahabi di Hijaz. Kaum Islam reformis dalam beberapa hal bersikap seperti kaum nasionalis yang tidak mengkaitkan Agama misalnya tentang masalah perkawinan, keluarga, kedudukan wanita, dan sebagainya.
Pada muktamar tahun 1928, NU menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda, pengakuan tersebut akhirnya diterima (seperti yang telah ditulis sebelumnya). NU kemudian menetapkan tujuannya untuk mempromosikan tentang empat madzhab dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan ummat. Berkembang pesatnya NU dilakukan (salah satunya) dengan jalur kekerabatan para kyai di lingkungan pesantren di Jawa dan hingga ke daerah-daerah lain. Melalui sistem pendidikan yang berbasis pesantren NU sangat mudah masuk keruang-ruang massa. Di mana ada kemiripan dalam standar Ahlu Al Sunnah wal Al Jama’ah disitu NU bisa diterima dan berkembang.
Mitos ulama sebagai pembawa panji-panji pembela kaum tani yang miskin dan tertindas akibat kebijakan pemerintah kolonial merupakan salah satu faktor penting naiknya NU di tengah pergulatan perjuangan mereka, bahkan pamor priyayi semakin merosot. NU mulai merangsek masuk dalam wilayah-wilayah kultural. Dengan landasan yang mengusung Ahlu Al Sunnnah wa Al Jama’ah, NU menjadikan dirinya pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran kempat madzhab, meskipun pada kenyataannya madzhab Syafi’i-lah yang dianut oleh kebanyakan umat Islam di seluruh nusantara.
Selain itu, NU memberikan perhatian khusus kepada kegiatan ekonomi, bidang yang berkaitan dengan kehidupan para kyai yang terkadang adalah pemilik tanah dan pedagang. Sifat keberadaan NU merupakan upaya peneguhan kembali tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan yang mapan.
2. Tokoh penting NU
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
3. Sistem Pengambilan Keputusan Warga NU
Secara umum system yang dipakai oleh warga NU dalam mengambil keputusan dan menguji masalah-masalah adalah sebagai berikut :
a. teks-teks yang diperoleh adalah yang berkaitan dengan ajaran Islam yang sesuai dengan kepercayaan para para peninjau hokum dan masyarakat.
b. Mengikuti suatu madzhab menurut fatwanya adalah mengikuti pendapat-pendapat yang disampaikan
c. Mengikuti suatu madzhab menurut metodenya adalah mengikuti cara berfikir dan prinsip-prinsipnya untuk membuat hokum dasarnya adalah para imam madzhab tersebut.
d. Yang dimaksud pengem,bangan adalah mengambil hokum Islam dari d alilnya dengan metode usul/furu’ dabn pemahaman.
e. Yang dimaksud pernyataan adalah pendapat imam madzhab.
f. Yang dimaksud dengan ketetapan bersama adalah usaha bersama untuk membuat suatu pilihan diantara beberapa pendapat imam atau ulama.
g. Yang dimaksud penggabungan adal;ah mengikutsertakan hokum bagi kasus tertentu yang belum dijawab dengan kasus lain yang telah dijawab oleh teks hokum.
h. Yang dimaksud problem yang dipertanyakan adalah suatu permintaan untuk diadakan pembahasan atas suatu kasus apakah temah kasus saja, atau pemikir-pemikir dasar, bahkan keinginna untuk merefisi kembali tema yang telah dibahas.
i. Apakahh yang dimaksud dengan retivikasi adalah pengesahan hasil pembahasan oleh pengurus besar NU, konferensi Nsional Alim Ulama atau Kongres NU.
4. Nasakom Soekarno bersinggungan dengan NU
Bung Karno dari masa kecil sampai dewasa begitu bermacam-macam. Sejak kecil, Bung Karno telah tumbuh menjadi seorang sosok yang mewarisi wacana-wacana jawa dari pemikiran orang tuanya. Kemudian wacana itu berkembang hingga berkenalan dengan pemikiran barat terutama pemikiran salah seorang filosof jerman Karl Marx dengan marxisme-nya. Pemikiran inilah yang kelak menjadikannya sebagai pemuda yang radikal dan militan. Pada waktu dibuang di Bengkulu pun, beliau menyempatkan diri untuk belajar Islam.
Dari kronologi penemuan perbedaan ideologi ini, Bung Karno tumbuh menjadi seorang pemikir yang dianggap mampu untuk menyatukan berbagai macam perbedaan pandangan menjadi satu dengan mengambil titik temu atau mengambil hal-hal yang dianggap baik dan menyatukannya. Hal ini dikenal sebagai singkretisme. Dari pemikiannya inilah lahir sebuah ideologi baru yang disebut Bung Karno dengan Nasakom, yaitu nasionalis, agama, dan komunis. Ketiga ideologi ini disatukan oleh Bung Karno dan dijadikan sebuah konsepsi pemikiran yang digunakan untuk melawan penjajahan dan penindasan (imperalisme).
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.
Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia. Penganut faham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifes politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik. Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap faham kapitalisme di awal abad ke-19an, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dengan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangannya yang saling berbeda dalam pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu sesepuhnya. Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha menggulingkan kekuasaan pemerintahan, maka Soekarno dengan lantang, dalam salah satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan melakukan manuver politik demikian maka sudah tentu Soekarno mendapatkan dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno. Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa apabila terjadi balance of power. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. Setelah gagal melakukan coop d’etat, PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno dan PKI.
Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai. Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.
5. NU sebagai Kelompok Kepentingan
Penerapan kaidah poluler NU “Alhukmu yadurru ma’a illatihu wujudan wa’adaman”, dan kaidah-kaidah lainnya, mengesankan sikap NU yang selalu melihat masalah yang dihadapi sebagai situasi darurat dan temporer, sehingga seringkali tampaknya keluar dari relnya, terutama dalam upaya menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Itulah barangkali salah satu sebab mengapa NU sering dianggap inkosisten terhadap keputusan-keputusannya sendiri. Penyusun memahami khittah 1926 bukan berarti membatasi warga NU dalam politik, dan sama sekali tidak boleh terlibat dalam proses politik. Sikap netral NU terhadap seluruh kekuatan partai politik NU justru dapat memperluas ruang politik NU, tidak terbatasi oleh formalitas dan loyalitas pada partai politik tertentu. Menurut Mathori Abdul Jalil, “Berpolitik secara kultural jauh lebih luas jangkauannya ketimbang memagari diri dalam suatu partai politik tertentu. Apalagi yang disebut partai politik dalam konstelasi politik Orde Baru terkesan sebagai oposisi yang bagi NU dianggap tidak menguntungkan”
Kata kunci yang paling strategis untuk memahami prinsip khittah 1926 NU adalah mengembalikan organisasi itu kepada fungsi awalnya sebagai organisasi sosial keagamaan. Tidaklah sulit bagi NU untuk menyuarakan aspirasi rakyat dalam rangka kemaslahatan ummat secara luas. Ditinjau dari aspek yang mendukungnya menjadi kelompok kepentingan, yaitu :
a. Sumber Daya Fisik
NU meliki sumber daya manusia yang sangat potensial. Banyak sekali cendekiawan, ulama, kaum muda yang kritis (misal, Ulil Absar Abdalla, Saifullah Yusuf, Badriyyah Fayumi dll) yang dapat menjalankan fungsi NU sebagai kelompok kepentingan. Secara materi pun NU mumpuni, terbukti dengan eksistensi NU sampai sekarang.
b. Sumber Daya Organisasi
Kecakapan NU dalam untuk mengelola aspirasi sudah tidak diragukan lagi. Banyak sekali lembaga-lembaga di bawah naungan NU yang secara getol menyuarakan isu-isu mendasar. Sebagai contoh, permasalahan gender yang menyangkut poligami dan hak-hak perempuan. Dikalangan Muslimat NU isu tersebut sudah menjadi hal yang basi. Yang menjadi pertanyaan adalah kepekaan pemerintah terhadap isu tersebut.
c. Sumber Daya Politik
Yaitu tentang bagaimana pemahaman politik, reputasi, dan figur. Khittah 1926 adalah sebagai penegasan ruang Nu sebagai organisasi sosial keagamaan. Munculnya PKB sebagai aktualisasi politik sebagian tokoh NU merupakan suatu cara agar optimalisasi NU sebagai kelompok kapentingan maksimal. Reputasi NU sebagai wadah yang potensial dari segi kuantitas maupun kualitas tidak diragukan. 40 juta warga NU.
d. Sumber Motivasi
Menyangkut komitmen idiologi, NU sudah jelas dengan adanya landasan dasar perjuangan NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Secara garis besar ,yaitu menjaga, mengembangkan ajaran Ahlu Al Sunnah wa Al Jama’ah dalam rangka menuju kesejahteraan masyarakat indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
e. Sumber Daya tak Terlihat
NU sudah menjadi “rebutan” ketika menjelang pemilu. Bahkan kelompok-kelompok minoritas seringkali menerima “berkah” dari NU. Diakui ataupun tidak, wacana-wacana dari NU seringkali berbenturan dengan wacana umum, terbukti dengan peristiwa kontroversial Ahmadiyah. NU dengan departemennya selalu getol mengkritisi secara tidak langsung maupun langsung kinerja pemerintah dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Persoalan yang mengganggu NU saat ini adalah belum adanya pembagian kerja yang tegas antara mereka yang mengurus “bidang politik” dengan mereka yang mengurusi “bidang kultural” Ketidak tegasan pembagian peran ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dalam tatanan organisasi NU, yang seharusnya ditangani dengan cepat, sebab jika tidak, NU akan terombang-ambing dengan situasi politik yang berkembang dan melangkah secara tidak pasti dan tidak memiliki orientasi yang jelas.
Idealnya NU lebih mengakar kembali pada bidang kultural. Karena fungsi NU sebagai organisasi sosial keagamaan akan tercapai secara optimal. Disamping terjaganya mura’ah NU. Ketika NU mampu mempertegas arah menuju Islam kultur, arah politik NU tidak akan carut marut. Disatu sisi NU mampu menjadi penggerak, dan pembangun civil society , dan kepastian akan tujuan dibentuknya NU akan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1995
Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi”; jejak Langkah NU Era Reformamsi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik”, Ar Ruzz Press, Djokjakarta, 2002 hal.
Suhartono, Sejarah pergerakan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001 Hal.
A. Effendy Choirie, “PKB Politik Jalan Tengah NU; Eksperimentasi Pemikiran Islam Inklusif dan Gerakan Kebangsaan Pasca Kembali ke Khittah 1926”, Pustaka Ciganjur, 2002.
Shihab, Quraish, Islam Madzhab Indonesia, Bandung: Mizan, 2003 Hal. 89
KH. Abdul Muchith Muzadi, “ NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran; Reflekksi 65 Th. Ikut NU”,”Khalista”, Surabaya, 2006, hal. 46.
univalabuhanbatu.wordpress.com/about/
http://www.imm.or.id/content/view/168/2/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar