Daftar Blog Saya

Minggu, 27 Desember 2009

KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-KINDI DAN AL-GOZALI

KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-KINDI DAN AL-GOZALI

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Intelektual dan Peradaban Islam

Dosen Pengampu :
Prof.DR.H. Khaerul Wahidin, M.Ag







Disusun oleh:
HISYAM NUR
( 5059300032)


PASCASARJANA IAIN
SYEK NURJATI
CIREBON
2009


BAB I
PEMBAHASAN


A. Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, yang berenang tetaplah berwenang dan yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa.
Berpijak dari realitas yang ada, pembahasan ini akan mencoba terlebih dahulu menganalisis konsep-konsep yang dikembangkan oleh Dua tokoh Pendidikan Islam kemudian merekonstruksi dan menemukan mazhab-mazhab yang dianut oleh sang tokoh dan implementasinya dalam pemikiran pendidikan islam. Dua tokoh pendidikan islam yang bisa dianalisis pemikirannya adalah Al-Kindi dan Al-Ghazali.
Sesungguhnya tidak mudah untuk menggeneralisir pemikiran pendidikan islam ke dalam sebuah atau beberapa mazhab karena memang umumnya pemikir (yang dimasukkan sebagai tokoh) pendidikan islam yang nota bene filosof itu tidak secara khusus membahas mengenai pendidikan islam, tetapi lebih sebagai pemikiran filosofis mengenai komponen-komponen yang kita kenal sekarang sebagai komponen pendidikan, misalnya tujuan si terdidik ( pandangan mengenai manusia), pendidik, materi, metode, dan alat pendidikan.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pemikiran Al-Kindi ?
2. Bagaimana konsep pemikiran Al-Gozali ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. konsep pemikiran Al-Kindi
2. konsep pemikiran Al-Gozali
























BAB II
PEMBAHASAN

A. AL-KINDI
1. Riwayat Hidup Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal sebagai filosof muslim pertama keturunan arab, nama lengkapnya adalah abu yusuf ya`qup ibn ishaq ibn shabbah ibn imran ibn ismail ibn muhammad ibn al-asy`ats ibn qais al-kindi. Ia berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang dikalangan masyarakat arab dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz, al-asy`ats termasuk salah seorang sahabat nabi, yang meriwayatkan hadist bersama saad bin abi waqqas. Ikut perang siffin dibawah pimpinan ali ibn abi tholib ia memegang panji kabilah kindah.
Ia lahir di kuffah sekitar 185 H (801 M ) atau penghujung abad ke 8 M dan awal abad ke 9 M. ayahnya adalah ishaq ibn al-shabbah bekerja sebagai gubernur daulah abbasiah,pada masa pemerintahan al-mahdi ( 775 – 785 M ) dean Harun Ar-Rasiyd (786 -809 M ). Walaupun orang tuanya meninggal pada usia mudanya namun kehidupannya tergolong lumayan, namun ia tidak sombong dan manja ia lebih senang belajar seperti halnya al-quran,al-hadis,berhitung dan yang lainnya baik di Basrah maupun di Baghdad.
Kuffah dan basrah, pada abad ke 2 dan ke 3 H ( 8 dan 9 M ) merupakan dua pusat kebudayaan islam yang maju. Kuffah lebih cenderung kepada studi – studi aqliah; dan dalam lingkungan iktelektual inilah al-kindi melewatkan masa kecilnya. Dia menghafal al-quran, bahasa arab, kesusastraan, dan ilmu hitung, fiqh dan qalam.tetapi ia lebih tertarik kepada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang pada keduanya ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya. Ia seorang yang sangat cerdas,telah banyak menterjemahkan buuku filsafat, menjelaskan berbagai masalah,menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Hal ini karena ia banyak menguasai ilmu yang berkembang pada waktu di Kuffah dan Baghdad. Seperti kedokteran, filsafat, semantik, giometri, al-jabar, ilmu falq, astronomi, bahkan ia berkemampuan mengubah lagu. Jadi, tidak heran kalau al-kindi seorang ahli dari berbagai ilmu pengetahuan. Karena ia hidup pada puncak kejayaan islam pada daulah abbbasiah ( al-amin, 809 – 813 M ; al-Ma`mum, 813 – 833 M ).kemashuran al-kindi luar biasa sehingga khalifah al-Mu`tashim mengangkatnya sebagai guru pribadi putranya ahmad, yang kepadanya ia persembahkan karya – karya pentingnya. Sehingga telah menghiasi kerajaan al-Mu`tashim.
Tak lama dikuffah al-Kindi berpindah ke Bagdad, yang kala itu menjadi ibu kota kekholifaan Bani Abas dan pusat keilmuan. Disitulah al-Kindi mendapat sokongan dari tiga kholifah Bani Abbas, yakni al-Makmun,al-Mu’tasin, dan Al-Watsiq. Ketiga Kholifah itu mendukung total kelangsungan belajar mengajar serta kegiatan ilmiah, silosofis, dan kesustraan pada masa itu. Mereka ini pada umumnya lebih condong kepada rasionalisme teologis Mu’tazilah. Namun ketika Al-Mutawwakil menjabat Kholifah pada tahun 874, Al-Kindi bernasib buruk seperti para filosof dan teologi lainnya. Setelah limah tahun melewati masa sulit pada pemerintahan Al-Mutawwakil Al-Kindi wafat sekitar tahun 866.
2. Konsep Pemikiran Al-Kindi
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
3. Filsafat Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
4. Hubungan Antara Filsafat Dan Agama
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa salah satu fungsi utama filasafat adalah mencari kebenaran dengan berdasarkan nalar atau akal manusia, sedangkan agama adalah sebuah kebenaran yang berdasarkan wahyu Tuhan. Pertemuan antara keduanya sangatlah rumit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, al-Kindi melakukan pendekatan terhadap dua subjek tersebut—yakni nalar dan wahyu—dengan dua tingkatan. Pertama, didasarkan atas kesamaan tujuan antara filsafat dan agama dan yang kedua, secara epistemologis.
Dalam tingkatan pertama, sebelum ia membentangkan pandangannya, lepas dari adanya kesamaan tujuan-tujuan antara agama dan filsafat, al-Kindi mempertahankan perlunya filsafat dan dapat disesuaikannya dengan agama. Uraian George N. Atiyeh, di dalam bukunya ”Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim,” menampakkan kepiawaian al-Kindi dalam menghadapi serangan orang-orang yang fanatik dengan agama dan penentang kegiatan filosofis macam apapun juga, ia menyatakan:“Filsafat adalah suatu kebutuhan, bukan suatu kemewahan. Ia mengatakan kepada orang-orang yang fanatik tersebut, bahwa mereka harus menyatakan, berfilsafat itu perlu atau tidak perlu. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen untuk membuktikannya. Padahal dengan memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen tersebut, mereka pada dasarnya telah berfilsafat. Oleh karena itu filsafat adalah perlu dalam kedua hal itu.”
Pembelaan yang dikemukakan al-Kindi tersebut mempunyai arti yang sangat penting, tidak hanya karena dilakukan dalam menghadapi tantangan agama, tetapi juga diungkapkan kepada kita, bahwa al-Kindi tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dengannya, akan tetapi sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk memberikan tempat bagi konsep-konsep keagamaan, diatas apa yang ia anggap merupakan landasan-landasan yang lebih kokoh dan benar, penggunaan bukti-bukti yang demonstratif.
Argumen utama yang digunakannya untuk mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan suatu asumsi bahwa filsafat dan agama mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu pengetahuan tentang ke-esaan Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan, bahwa filsafat mencakup ”teologi, ilmu pengetahuan ke-esaan Tuhan, ilmu etika, dan ilmu yang berguna bagi manusia untuk menjalankan kebaikan dan mencegah keburukan” diantara cabang-cabangnya.
Lebih lanjut al-Kindi menyatakan bahwa agama melakukan hal yang sama. Substansi semua amanat kenabian yang sebenarnya hanyalah untuk mengukuhkan ke-Ilahian Tuhan yang unik, dan memerintahkan kepada kita untuk memilih dan mengejar kebajikan-kebajikan yang paling diridlai di mata Tuhan.
Dengan kata lain, al-Kindi melihat bahwa pada tingkat teoritis agama dan filsafat menggarap suatu masalah yang sama, ke-esaan Tuhan. Juga pada tingkat praktis, keduanya mempunyai tujuan-tujuan yang tidak berbeda, yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu pada kedua tingkat tersebut pemikiran al-Kindi telah memperjelas kenyataan, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara agama dan filsafat, oleh karena keduanya mengarah kepada hal yang sama. Disamping itu, dimasukkannya teologi di dalam filsafat oleh al-kindi, menghadapkan kita kepada suatu masalah. Jika tujuan utama filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
Pada tingkat lainnya, masalah yang timbul dari hubungan yang ditempatkan oleh al-Kindi, antara filsafat dengan agama adalah bersifat epistemologis.
Sekarang, jika filsafat dan agama mengarah kepada hal yang sama, maka apakah itu berarti bahwa filsafat setarap dengan agama. Kalau sampai pada penentuan soal pengetahuan yang lebih mendasar pengetahuan mana yang lebih pasti, yang rasional atau yang kenabian?
Al-Kindi tidak menentukan pendirian yang konsisten mengenai masalah ini. Di satu tulisannya, ia mempertahankan kepastian yang sama bagi pengetahuan rasional dan pengetahuan kenabian. Sedangkan di dalam tulisan-tulisannya mengenai psikologi, ia memasukkan pengetahuan kenabian di dalam pengetahuan rasional. Pada tulisannya yang lain lagi ia menyatakan bahwa pengetahuan rasional manusia lebih rendah daripada pengetahuan kenabian.
5. Konsep Filsafat Al-Kindi mengenai Etika kaitannya dengan Pendidikan
Seperti yang telah kita ketahui, al-Kindi menganggap bahwa tujuan terakhir filsafat terletak pada hubungan hubungannya dengan moralitis . sedangkan tujuan dari filosof adalah untuk mengetahui kebenaran dan kemudian berbuat sesuai dengan kebenaran tersebut. Dengan demikian kearifanj, perbuatan dan renungan sebagai aspirasi tertyinggi manusia terpadu dalam dirinya, tampa menyamakan pengetahuan dan kebijaksanaan seperti yang dilakukan oleh sokrates.
Oleh karena itu menurut al-Kindi sendiri maksud ilmu pengetahuan etika ialah untuk memperoleh kebijakan dan menghindari keburukan. Pengethauan tidak hanya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, tetapi turut membantu kemurnian jiwa yang merupakan satu-satunya sara untuk menyatukan kedua hal tersebut. Dan konsepsi kefilsafat al-Kindi juga tidak terlepas dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Melihat pemamparan pemikiran alkindi diatas ketika kita sambungkan dengan pendidikan bisa disimpulkan yang pertama dan utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika dulu dengan cara perbaikan jiwa atau nafs. Karena menurut al-Kindi sendiri tujuan terakhir filsafat terletak pada
6. Karya-karya Al-Kindi
Sebagian besar karya al-Kindi (berjumlah sekitar 270 buah) hilang,Ibn al-Nadim dan yang mengikutinya, al-Qifti, mengelompokan tulisan-tulisan al-Kindi yang kebanyakan beruupa risalah-risalah pendek, menjadi 17 kelompok : (1) Filsafat, (2) Logika, (3) Ilmu Hitung, (4) Globular, (5) Musik, (6) Astronomi, (7) Geometri, (8) Sperikal, (9) Medis, (10) Astrologi, (11) Dealektika, (12) Psikologi, (13) Politik, (14) Meteorologi, (15) Dimensi, (16) Benda-benda Pertama, (17) Spesies tertentu logam dan kimia, dan lain-lain.
Gambaran ini menunjukan betapa luasnya pengetahuan al-Kindi . beberapa karya ilmiah yang teglah diterjemahkan oleh Gerared dari Cremona ke dalam bahasa Latin. Dan karya-karya ini sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Kardona menganggap al-Kindi sebagai salah-satu dari dua belas pemikir terbesar.





B. AL-GOZALI
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M. Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada.
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu. Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
2. Pemikiran tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil. Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1. Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
2. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
1. Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2. Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

3. Karya-Karya al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih bisa kita simak.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pandangan al-Kindi tentang pendidikan ketika dikaitkan dengan ilmu etika yang pertama dan utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika dulu dengan cara perbaikan jiwa atau nafs.
Sedangkan menurut al-Gozali pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
 Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
 Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
 Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
 Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
 Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.



DAFTAR PUSTAKA

 Fakry, Masjid, Sejarah Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 2002.
 M.M Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung :Mizan, 1998.
 Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Rosda Karya, Bandung, 2002.
 Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, CV. Toha Putra Semarang, 1982.
 Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, .
 Atiyeh, George N, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Penerbit Pustaka Bandung, 1983. hlm. 21-22 Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung :Mizan, 1998. .
 C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
 Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998.
 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
 Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.

PEMIKIRAN TEOLOGI KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

PEMIKIRAN TEOLOGI KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH
MAKALAH
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari
Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Dosen : Prof.DR.H. Imran Abdullah, M.Ag
M.Ag dan DR.H. Ahmad Asmuni, MA
.







Disusun oleh:
HISYAM NUR
( 5059300032 )

PASCASARJANA STAIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Khawarij dan Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan khawarij dengan kekerasandan mengidentikan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji masalah ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Khawarij dan Mu’tazilah dalam makalah ini, yang pada intinya penulis ingin sedikit berbagi informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana kaumKhawarij dan Mu’tazilah itu?.

Berangkat dari latar belakang masalah diatas maka penulis akan merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij ?
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini agar memperoleh data tentang
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah



















BAB II
PEMBAHASAN

A. KHAWARIJ
1. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Sebutan lain diberikan kepada mereka adalah haruriyah. Asal katanya harura, yaitu suatu desa yang terletak dekat di kuffah(irak). Ditempat tersebut mereka berkumpul setelah memisahkan diri degan Aliberanggotakan 12ribu orang dan memilih Abdullah bin Wahhab Ar-Rasyidi menjadi imam pengganti Ali bin Abi Thalib. NASUTION
2. Sejarah kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)

Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
3. teologi Khawarij

B. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
1. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
2. Teologi Mu’tazilah
1. konsep Tauhid
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian) . Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih.
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut:
“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering (yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan dalam (’umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam (yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’). Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi. Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak). Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun). Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (’ahat), tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan (mustahil dipikir dan diterka), Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu, Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera). Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim (Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah) selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab ‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’), mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak memiliki sedikitpun sifat lemah (’ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri dan beranak. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a) Tidak mengakui sifat-sifat Allah
b) Mengatakan al-Qur’an makhluk.
c) Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
d) Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
e) Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
2. Al-’Adl (Keadilan)
Secara etimologi, “al-’adl”merupakan bentuk mashdar dari ‘adala – ya’dilu yang berarti berbuat adil, bisa digunakan dengan makna perbuatan (baca: berbuat adil), bisa juga digunakan dengan makna pelaku (baca: orang yang adil).
Sedangkan dari sisi terminologi, jika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah SWT adil (innahu Ta’ala ‘adl) maka maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan-Nya baik (hasan), Dia tidak melakukan suatu yang buruk (qabih), dan Dia tidak pernah melalaikan kewajiban-Nya .
Konsep keadilan Tuhan versi Mu’tazilah masih berkaitan erat dengan konsep Tanzih mereka, yaitu bahwa sangat tidak sesuai sekali dengan konsep Tanzih jika Allah SWT menghukum manusia atas dosa yang tidak pernah diinginkannya, karena yang seperti adalah zalim, dan zalim merupakan sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Tuhan), dimana Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Konsep keadilan Tuhan ini juga berlandaskan pada konsep mereka tentang prinsip kebebasan (hurriyah), usaha (ikhtiyar), dan pengingkaran mereka terhadap prinsip paksaan (jabr), dengan arti kata semua ini berlandarkan pada konsep teologis tentang Qadar.
Abu Zahrah mengutip al-Mas’udi yang menjelaskan tentang konsep keadilan ini menurut versi Mu’tazilah :
“Keadilan Tuhan maksudnya adalah bahwa Allah SWT tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia (af’al al-’ibad), melainkan mereka bebas memilih untuk melaksanakan perintah-Nya atau melanggarnya dengan qudrah (kemampuan/potensi) yang telah diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT hanya memerintahkan sesuatu yang Dia ingini (sukai), dan hanya melarang sesuatu yang Dia benci. Dia menguasai atas setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya (wala kulla hasanah amara biha), dan Dia terbebas dari semua keburukan yang dilarang-Nya (bari’ min sayyi’ah naha ‘anha) . Dia tidak membebani mereka (manusia) dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, dan tidak menginginkan bagi mereka sesuatu yang tidak sanggup mereka lakukan. Dan siapapun tidak akan mampu menahan dan melepas (melakukan) sesuatu kecuali dengan kemampuan (qudrah) yang diberikan Allah padanya, Dia pemilik qudrah tersebut, bukan mereka, Dia bisa menghilangkannya jika Dia berkehendak. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memaksa seluruh makhluk untuk taat pada-Nya, dan memaksa mereka untuk tidak berbuat maksiat pada-Nya, akan tetapi Dia tidak melakukan hal itu, karena itu akan menghilangkan makna mihnah (ujian) dan balwa (musibah).”
Dari penjelasan tersebut tidak dikatakan bahwa Mu’tazilah lebih mendahulukan wahyu dari akal, yang ada justru akal “bisa/mampu” mengetahui baik dan buruk meskipun wahyu tidak diturunkan, dan ini khusus bagi perbuatan-perbuatan non-Ibadah, sedangkan perbuatan ibadah harus melalui pendengaran (perantaraan rasul dan wahyu). Dan kata “bisa” atau “mampu” bukan berarti Mu’tazilah mengingkari keterbatasan akal dan meninggalkan wahyu. Dr. Yahya Jaya membantah hal itu dalam bukunya Teologi Agama Islam Klasik dengan menyatakan bahwa sifat kerasionalan Mu’tazilah tetap terikat kepada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (nash qath’i), dan jika tidak ada al-Qur’an atau Hadits yang mengikat (qath’i), baru mereka bebas brfikir dalam masalah agama. Dengan kata lain mereka juga memerlukan wahyu, karena akal manusia terbatas untuk mengetahui mana yang sebenarnya baik dan buruk serta bagaimana caranya beribadat kepada Allah. Antara akal dan wahyu terdapat penyesuaian dan apa yang dibawa wahyu pasti benar sesuai pemikiran rasional. Fungsi wahyu adalah untuk memperkuat yang telah diketahui akal.
Sejalan dengan itu maka yang terjadi sebenarnya adalah Mu’tazilah bukannya mendahulukan akal dari wahyu melainkan memberikan porsi yang lebih banyak kepada akal dalam memahami teks-teks wahyu dan masalah-masalah agama.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi. Sehingga tidak ada pengampunan bagi seorang pelaku dosa besar kecuali taubat, sebagaimana tidak ada halangan bagi siapapun yang melakukan kebaikan untuk mendapatkan ganjaran baik.
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Seperti yang telah terdahulu, asas ini merupakan ide Washil bin ‘Atha’ ketika menanggapi masalah pelaku dosa besar, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak juga kafir melainkan fasik. Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh Abu Zahrah melalui kutipan dari al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya). Dan Mu’tazilah memandang orang fasik pelaku dosa besar semasa hidupnya tetap bisa disebut Muslim, tanpa bermaksud untuk memuliakan dan memujinya, karena mereka masih dianggap Ahlul Qiblah, dan masih bberpeluang bertaubat, paling kurang untuk membedakannya dengan orang Dzimmi.








BAB III
KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.


DAFTAR PUSTAKA

 Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
 Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
 http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0
 Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-Ashri ‘Arabi-Indunisi (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt.
 Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
 Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
 Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
 Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
 Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
 Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
 Jaya, Yahya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang: Angkasa Raya, 2000.
 Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
 Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
 Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993.
 Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.

“JAWABAN SOAL-SOAL TEKNOLOGI INFORMATIKA DAN PENDIDIKAN”

Nama : HISYAM NUR
NIM : 505930032
Prodi : PAI B
Semester : I (Satu)
Tugas : Teknologi Inforamatika dan Pendidikan
Dosen : Drs. Ebebn Sahlan, M.Si / dr. Liza,M.Pd.i


“JAWABAN SOAL-SOAL TEKNOLOGI INFORMATIKA DAN PENDIDIKAN”


1. Pengertian Perangkat Keras dan Perangkat Lunak
a. Perangkat Keras
Perangkat keras yaitu terdiri dari semua mesin dan peralatan yang ada pada sistem kompeter, perangkat keras mencangkup kayboard, monitor, printer,kesing CPU dan perangkat keras sendiri tidak berarti apa-apa jika tidak ada perangkat lunak.
b. Perangkat Lunak
Perangkat lunak atau biasanya disebut juga program yang ada di komputer terdiri dari intruksi-intruksi elektronik yang bisa dioprasikan untuk menjalankan komputer yang meminta computer untuk mengerjakan tugas-tugas tertentu, intruksi-intruksi tersebut dibuat oleh perarangkat lunak dalam bentuk tertentu (misalnya : CD room atau CD RW kompeter, ,disket, dan flasdist) yang bias diterima atau dijalankan oleh computer. Contoh perangkat lunak sendiri adalah microsof window, dan office,dll.

2. Pengertian Multimedia
Multimedia atau disebut juga media multi fungsi, pengertian multimedia sendiri terkait dengan teknologi adalah menjadikan informasi lebih dari satu media misalnya teks, gambar, video, suara, dan animasi dalam satu bentuk komunikasi teks .telah memungkinkan internet kesisi gambar suara musik dan lain-lain tidak hanya sekedar teks tapi dapat dioperasikan secara bersamaan dalam satu waktu.

3. Pengertian Modem, RAM, Hard Disk
a. Modem
Modem adalah alat atau media yang mampu mengisi dan menerima data melalui kabel telepon yang bisa dihubungkan pada internet.
b. RAM
Ram (Random Acces Memory) adalah alat menyimpan data yang suda ada dan juga bisa menyimpan informasi hasil pemprosesan sebelum terkirim web out put atauu alat penyimpan sekunder.
c. Hard Disk
Hardisk adalah salah satu perangkat lunak yang ada dalam CPU yang fungsinya untuk menyimpan data baik data ketikan, gambar, atau musik, dan biasanya ukuran hard disk sendiri sangat fariatif ada yang 40 GB, 80 GB dan lainnya yang lebih besar dimana besar kecil memori hard disk sendiri saangat mempengaruhi bagi banyak dan sedikitnya data yang bisa disimpan.
4. Pengertian Online
Online adalah sistem konunikasi dalam satu waktu yang melibatkan beberapa jaringan dalam hal ini online bisa menggunakan computer dengan bisa internetan atau jumlah informasi yang lain yang terhubung ke jaringan untuk mengakses informasi dan layanan dari komputer lain atau gambar informasi lain jaringan itu sendiri adalah system komunikasi yang menghubungkan dua komputer lebih, internet adalah contoh jaringan yang keras.

5. pengertian Downloud
Dounloud yaitu mengambil data dari internet yang berada jauh diseberang sana baik berupa data ketikan, video, musik dan lain-lain untuk disimpan ke computer kita .banyak orang yang bisa mengakses berita, musik, dan video terbaru dan tampa untuk membeli baik Koran dan kaset. Dengan beresiko mengeluarkan banyak uang .

6. pengertian Konektivitas
Konektivitas adalah hal yang berkaitan dengan hubungan antara internet yang satu dengan internet lainnya dengan menggunakan jalur komunikasi untuk menyediakan akses konfirmasi secara optimal dan atau bagi pemakai internet. Sebagai contoh konektivitas berkata kecanggihan jasanya internet.

7. Email
Email adalah surat elektronik singkatan dari “elektronik mail” atau jaringan komputer tulis pesan atau surat yang dikirimkan melalui email kepada email yang lain.
Email harus menggunakan passwourd karena untuk menghindari pembukaan illegal atau pemalsu identitas.

8. perbandingan email, telepon, dan surat konvensional lewat pos
Perbanmdingan email dengan telepon atau surat konvensional lewat jasa pos adalah kalau emal lebih praktis, hemat dan cepat dibandingkan dengan telepon dan surat konfensional lewat pos, dan patut diingat juga ketika kita pengen mengirim email kita harus mengetahui dulu alamat email yang akan kita kirim. Email juga tidak terbatas waktu dan tempat.

9. Pengartian dan Manfaat Blog
Blog adalah singkatan dari web log mengakses atau membuat situs web, blog bisa berisi hal-hal yang bersifat pribadi atau kabar seseorang argumentasi dan lainnya bisa ditulis perorangan atau perkelompok. Adapun Manfaat blog sanagat banyak sekali diantaranya adalah :
a. Kita bisa membuat data pribadi kita baik berupa makalah, skripsi, dan karya ilmiah lainnya
b. Dapat mengakses ke seluruh isi web atau jagat raya web sistem blog bisa seluruh terselubung dengan para angggota misalnya pada sebuah perkumpulan
Jadi manfat blog untuk dunia pendidikan adalah bermanfaat dalam sesuatu perkumpulan atau kelompok belajar.



10. kelebihan dan Kelemahan IT
a. Kelebihan IT
Diatara manfaat dari IT sendiri adalah sebagai berikut :
 mempermudah komunikasi antara professor dan mahasiswa ketika KBM. Berjalan cukup menggunakan alat untuk meminta bel
 professor dapat menyampaikan / mempresentasikan isi meta kuliah lebih mudah dan berkualitas, sementara mahasiswa dapat mengembangkan mata kuliah yang diterima dengan adanya email mahasiswa bias membuat janji dengan professor mendiskusikan nilai dan intruksinya professor bias memanfaatkan perangkat lunak presentasi seperti microskop power poin.
 dapat diciptakannya pembelajaran jarak jauh/ e-learning yaitu sebuah program pendidikan secara online.
b. Kelemhan IT
Adapun di dalam IT sendiri terdapat kekurangannya diantaranya adalah sebagai berikut :
 Terdapat banayak informasi yang bisa diambil yang sanagat bervariatif yang dikawatirkan dapat merasuki pemikiran kita kalau kita tidak pandai-pandai menyaring informasi tersebut.
 Dikwatirkan adanaya pengaksesan situs porno karena didalam internet sendiri kita dapat bebas mengakses segalah macam data sesuai dengan permintaan kita

11. Alamat Blog
Alamat blog saya yaitu “Hisyamnur.blogspot.com” sedangkan alamat gmailnya (hisyamnur@gmail.com) dan yahoo(hisyamnur55@yahoo.com)

AL-GOZALI DAN MANTIK

AL-GOZALI DAN MANTIK

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu :
Prof.DR.H. Cecep Sumarna







Disusun oleh:
HISYAM NUR
( 5059300032)


PASCASARJANA IAIN
SYEK NURJATI
CIREBON
2009





BAB I
PENDAHULUAN

Dalam menghadapi kehuidupan yang semakin maju dan peradaban yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi maka benar yang di gambarkan rasul tentang zaman yan yang akan dating , disadaria atau tidak kita seperti dijajah oleh bangsa barat yang mempergunakkan cara yang tidak ada batasannya untuk menghancurkan islam ,oleh karenanya kita harus mjemikirkkan dan mulai berbenah . sudah saatnya kita Menuju keharusan ijtihad guna mengiringi gerak zaman memaksa kita untuk mengkaji semua perangkat yang mendukung sahnya sebuah ijtihad. Sebab ijtihad, yang disebut ahli ushul sebagai pengerahan segenap upaya (bazlul majhud) untuk menyimpulkan hukum syara’ dari sumber-sumber aslinya, bukan perkara mudah. Paling tidak, upaya ini memaksa kita untuk mengkaji ulang furu’ dan ushul fiqih kita, bahkan pola pikir yang mendasari produk pemikiran ini. Salah satunya adalah pembahasan tentang mantik sebagai aturan-aturan berpikir yang, diakui atau tidak, berpengaruh sangat besar dalam proses penyimpulan hukum. Berikut ini diskusi antar generasi yang terpisahkan jarak ratusan tahun, dengan Al Ghazali dan Ibn Taymiah sebagai aktor pelakunya.
Adapun mengenaikeadaan ilmu mantik didalam al-Qur’an adalah kifayah, dan dua bahasan pokok yang berkenaan dengan definisi dan sylogisme. Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis ini (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258).


BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat dan Sejarahnya Mantik
Salah satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk mengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya dengan benda-benda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal paling abstrak (basith) yang mewadahi semua wujud. Ketika ia melihat manusia, misalnya, imajinasinya mengabstraksi benda itu menjadi sebuah spiecies (nau’) yang menaungi semua manusia yang lain. Ia kemudian membandingkan konsep ini dengan konsep binatang, lalu mengabstraksinya menjadi sebuah genus (jenis) yang menaungi keduanya. Proses abstraksi ini berlanjut ketika ia membandingkannya dengan konsep tumbuhan, demikian seterusnya hingga mencapai genus tertinggi yang disebut substansi (jauhar).
Pada saat itu, akal berhenti mengabstraksi. Ahli mantik berkata bahwa pengetahuanyang dicapai manusia hanya dua macam, yakni tashawwur (pengetahuan konseptual), tanpa menetapkan hukum apa-apa atasnya, dan tashdiq (pengetahuan relasional) antara dua hal dengan menetapkan penilaian benar atau salah. Atas dasar ini, aktifitas berpikir manusia hanyalah menyusun satu persatu konsepsi universal (kulliyyat) di otaknya untuk menghasilkan konsepsi universal baru yang sesuai dengan realitas, atau menilai sesuatu dengan sesuatu lainnya. Aktifitas berpikir ini bisa keliru dan bisa juga benar. Maka dibutuhkan sebuah aturan-aturan berpikir tertentu untuk menjaga akal dari kekeliruan berpikir. Dan kumpulan aturan-aturan berpikir itu disebut mantik (logika).Sebenarnya, Aristoteles bukan orang pertama yang menyusun aturan-aturan berpikir ini, sebab sebelumnya Socrates dan Plato pernah berbicara tentang hal ini. Namun karena Aristoteles adalah orang pertama yang mengumpulkan dan menyusunnya, menetapkannya sebagai kunci ilmu pengetahuan serta menulisnya dalam sebuah karya, ia digelari sebagai “guru pertama”. Organon, bukunya tentang mantik, terdiri dari delapan bagian: Categoria (membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang proposisi), Sylogisme (tentang qiyas), Demonstrasi (tentang qiyas yang menyimpulkan keyakinan), Dialektika (ilmu debat), Sofistika (qiyas yang menyesatkan), Retorika (seni agitasi massa) dan Poetica (seni menyusun kata-kata puitis).Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al Makmun (w. 218 H), buku-buku ini menarik perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang ilmu ini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan ilmu ini dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin bin Al Khatib lalu Afdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh sebelumnya dan mengalahkan metode mereka.
B. Ghazali dan Mantik
a. pemikiran Al-Gozalio terhadap mantik
Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan perdebatan sengit di kalangan para ulama, terutama ahli kalam. Mereka sangat anti kepada mantik dan melarang manusia untuk mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa antipati ini lahir karena persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik yang melahirkan pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima kalam maka tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang bertugas menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan kebaharuan alam semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani menyatakan bahwa prinsip-prinsip ilmu kalam adalah bagian dari akidah. Menyerangnya sama dengan berusaha menghancurkan sendi-sendi akidah islamiah.
Kemudian datang Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H) yang mendamaikan keduanya. Kharisma dan argumentasinya berhasil mengakhiri perdebatan ini dan membuat ilmu mantik diterima di kalangan sunni. Meski terkenal sebagai musuh besar filsafat, bahkan berhasil membuatnya pingsan dengan Tahafut ul Falasifah-nya, Al Ghazali sangat menyayang anak kandung filsafat ini. Ia menulis beberapa karya tentangnya, antara lain Mi’yar ul-‘Ilm, Al Mankhul, Mihak un-Nazhar, beberapa lembar di mukaddimah Al Mustashfa dan secara tersirat dalam dialog dengan seorang penganut Syiah Ismailiah di Al Qisthas ul-Mustaqim. Berikut sedikit ringkasan tentang mantik ala Al Ghazali yang bisa penulis tampilkan pada kesempatan kali ini.
Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan ilmu ‘Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al Farabi, mantik bagi akal ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera. Atau ibarat penggaris untuk mengukur panjang dan lebar sesuatuyang indera manusia sering keliru dalam memastikannya.Al Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah (organon) seluruh ilmu –bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pengetahuan manusia terbagi dua, yaitu tashawur dan tashdiq. Pengetahuan tashawur terbagi dua: pertama, pengetahuan yang telah ada di otak manusia sejak awal (a priori) sehingga pengetahuan tentangnya tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Contoh, pengetahuan tentang makna ‘ada’, ‘banyak’ dan beberapa benda-benda inderawi lainnya. Kedua, pengetahuan tentang konsep-konsep samar yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk yang kedua ini diperlukan sebuah definisi (had/ta’rif) yang memperjelas makna kata tersebut. Sementara itu, pengetahuan tashdiq juga terbagi menjadi dua: relasi aksiomatik (musallamah) yang kebenarannya tidak perlu pembuktian dan relasi hipotetik (nazhariah) yang harus dibuktikan kebenarannya. Alat pembuktian itu disebut demonstrasi (sylogisme). Dengan demikian, pokok bahasan mantik tersimpul pada empat komponen, yaitu pembahasan tentang tashawwur, had (definisi), tashdiq dan sylogisme. Di atas kita telah membahas tentang makna tashawwur dan tashdiq, maka pembahasan berikutnya adalah tentang had dan sylogisme
Ahli mantik sepakat bahwa definisi menghasilkan pengetahuan hakikat sesuatu dan tanpanya pengetahuan tashawwur tidak bisa didapatkan. Untuk membuat sebuah definisi sempurna, harus diperhatikan beberapa aturan (qanun) penting berikut ini. Aturan pertama, definisi adalah jawaban untuk sebuah pertanyaan. Karena bentuk pertanyaan yang dilontarkan bermacam-macam, maka jawabannya pun bermacam-macam pula, sehingga mempengaruhi bentuk definisi. Memahami bentuk pertanyaan dengan demikian menentukan kualitas sebuah jawaban, maka pembahasan tentang bentuk-bentuk pertanyaan harus dikuasai terlebih dahulu. Pertanyaan ‘apa’ menuntut tiga hal: penjelasan kata (apa itu reformasi? Reformasi adalah pembentukan kembali), penjelasan tentang uraian sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain dengan ciri-ciri lazimnya (apa itu khamr? Khamr adalah benda cair yang berbusa), dan penjelasan hakikat serta essensi sesuatu (apa itu khamr? Khamr adalah minuman memabukkan yang dibuat dari perasan anggur). Definisi pertama disebut definisi lafzhi, sebab hanya menjelaskan makna kata. Kedua disebut rasmi, sebab hanya menjelaskan ciri eksternal (rasm) sesuatu, bukan hakikatnya. Dan yang ketiga disebut definisi hakiki, sebab ia menjelaskan hakikat dan essensi sesuatu dengan mendalam. Pertanyaan ‘mengapa’ menuntut pembuktian dengan sylogisme yang akan dijelaskan nanti. Dan pertanyaan ‘yang mana’ meminta pemilahan antara dua hal yang hampir serupa. Pertanyaan dengan ‘bagaimana’, ‘di mana’, ‘kapan’ dan bentuk-bentuk lain termasuk dalam penjelasan dari pertanyaan ‘apakah’ yakni menuntut penjelasan tentang sifat sesuatu.
Aturan kedua, seorang pembuat definisi harus bisa membedakan antara sifat essensial (dzati), aksidental (‘aridh) dan lazim dari sesuatu. Sifat essensial (dzati) adalah sifat yang masuk dalam essensi dan hakikat sesuatu, tidak mungkin sesuatu itu dipahami tanpa menyertakan sifat ini. Contoh sifat essensial adalah makna ‘warna’ yang dipahami dari kata ‘hitam’, dan makna ‘benda’ dari kata ‘pohon’, misalnya. Sifat lazim adalah sifat yang selalu menyertai benda namun pemahaman hakikat benda itu tidak tergantung padanya. Seperti bayangan yang menyertai fostur manusia ketika matahari terbit. Memahami hakikat manusia bisa dilakukan tanpa menyertai kata bayangan sedikitpun. Sifat aksidental (‘aridh) adalah sifat yang harus menyertai benda namun bisa hilang cepat atau lambat.
Untuk menyusun sebuah definisi yang logis, diperlukan sifat essensial untuk menjelaskan hakikat sesuatu. Sifat essensial terbagi menjadi umum, selanjutnya disebut genus (jins), dan khusus, selanjutnya disebut spesies (nau’). Makhluk adalah genus untuk kata manusia, binatang dan tumbuhan. Selanjutnya, manusia adalah genus untuk kata Usman, Fatimah dan lain-lain.
Aturan ketiga, dalam membuat definisi logis, pertama kali yang harus Anda lakukan adalah memasukkan semua komponen definisi, yakni genus dan differensia (fashal). Contoh, manusia adalah hewan (genus) yang berpikir (differensia). Kedua, Anda harus inventaris sifat-sifat essensial dari obyek yang hendak didefinisikan. Ketiga, jika Anda menemukan genus yang dekat, jangan pilih yang lebih jauh. Contoh, genus terdekat untuk khamar adalah minuman, maka jangan pilih kata benda cair untuk mendefinisikannya. Keempat, hindari sebisa mungkin kata-kata samar dan kiasan.
Singkatnya, sebuah definisi yang baik harus terbuka-tertutup (muththarid wa mun’akis), yakni terbuka untuk semua entitas dari sesuatu yang hendak didefinisikan (kulli fardin min afrad al mu’arraf) dan tertutup untuk selain entitas-entitas itu.
b. Pandangan Al-Gozali terhadap hukumnya mempelajari ilmu mantik.
Penegasan Al Ghazali yang menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik fardhu kifayah menyulut kritikan dari berbagai ulama hingga berabad-abad kemudian. Abu Bakar Ibn Al ‘Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, “Al Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya kembali, namun ia tidak bisa.” Abu Amr Ibn Shalah menolak pendapat Al Ghazali dan mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa harus belajar mantik. Berdiri dalam barisan penolak ini, Ibn Taymiah berkata, “Pendapat Abu Hamid (Al Ghazali) ini salah besar, baik dilihat dari segi rasional maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa manusia-manusia cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan pengetahuan mereka tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa agama tidak pernah mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.”
Ibn Taymiah juga menyalahkan penafsiran kata al mizan dalam Al Qur’an dengan mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah telah menurunkan Neraca Qur’ani jauh sebelum Aristoteles menemukan mantik. Kedua, umat Islam telah menggunakan Neraca Qur’ani ini sebelum buku-buku mantik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga sekarang, tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik dan menulis bantahan-bantahan terhadapnya. Neraca yang Allah turunkan bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taymiah, adalah neraca keseimbangan (mizan ‘adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia yang menyamakan dua hal yang mirip satu sama lain (mutamatsilain) dan memisahkan dua hal yang berbeda (mukhtalifain). Sebagai contoh, firman Allah, “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga padahal kalian belum menemui (kesulitan) seperti umat sebelum kalian?” (Qs Al Baqarah [2]: 214) dalam menyamakan antara generasi saat ini dengan generasi sebelumnya. Dan Allah berfirman, “Apakah (kalian mengira) bahwa Kami akan memperlakukan orang-orang yang beriman seperti para durjana?” (Qs Al Qalam [68]: 35) dalam membedakan antara kedua golongan yang berbeda ini.
C. ibn Taymiah Dan Mantik
Ketika sekilas kita mengamati buku “Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq” karya Dr Said Ramadhan Al Buthi, saya menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam pengantar cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, “Apakah dalam menguraikan pembahasan akidah islamiah dalam buku ini kami berpedoman kepada filsafat Yunani dan logika formal (mantik shuri)?…Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami hanya menyajikan kepada pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui akurasinya sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda.”
Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan kelebihan mantik, Dr Buthi berkata, “Kami tidak berkata bahwa filsafat Yunani dan logika Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran darinya. Di dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, daripada menolaknya sama sekali.” Ini pendirian Ibn Taymiah yang mengakui adanya hal-hal positif dalam mantik, karena itu ia tidak membantah demonstrasi yang didukung premis-premis meyakinkan, meski negatifnya lebih banyak daripada positifnya.
Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang membandingkan metode ilmiah pemikir muslim dan pemikir Barat, Dr Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang digunakan kaum muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh Al Qur’an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas ‘illat. Dan keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn Taymiah.
D. Mantik di Dalam Al Qur’an?
kifayah, dan dua bahasan pokok yang berkenaan dengan definisi dan sylogisme. Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis ini (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian merangkainya dalam bentuk burhan, ia berkata:Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)Allah mampu menerbitkan matahari (premis II)
Kesimpulan: Allah tuhanAl Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan neraca besar. Berikutnya adalah neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), “Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.” (Qs Al An’am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut:
Bulan tenggelamTuhan tidak mungkin tenggelamKesimpulan: Bulan bukan tuhanSkema terakhir dari neraca ta’adul adalah neraca kecil, yaitu terdapat dalam firman Allah, “Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah, ‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?’” Uraian logisnya sebagai berikut:
Musa As manusiaMusa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu
Neraca talazum terdapat dalam ayat, “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur.” (Qs Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya:
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur Nyatanya dunia tidak hancur.
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lainTerakhir, neraca ta’anud terdapat dalam ayat, “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (Qs Saba [34]: 24). Uraiannya adalah:Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan,Kami tidak dalam kesesatanya. Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan-Perhatikan bagaimana Al Ghazali menempatkan mantik bukan sebagai warisan tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian inheren dari Al Qur’an. Maka jangan heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan barangsiapa tidak menguasai ilmu ini pengetahuannya patut diragukan.Ibn Taymiah dan Kritik MantikAbul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah Ibn Taymiah lahir di Haran pada Rabi’ ul Awal 661 H. Pada tahun 667 H, ayahnya membawanya ke Damaskus ketika bangsa Tartar menyerbu Haran. Di kota ini, ia mempelajari hadis, fiqih, ushul, tafsir bahkan juga fiksafat dan logika. Allah menganugerahinya banyak buku, kecerdasan dalam memahami sesuatu serta hafalan kuat sehingga tidak pernah melupakan sesuatu yang pernah dihafalnya. Selain itu, ia juga seorang zuhud dan ikhlas dalam memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran. Persengketaan yang terjadi antara dirinya dan para pendengki membuahkan penahanan dirinya di benteng (qal’ah) Damaskus, dekat makam Abu Darda. Setelah beberapa hari menderita sakit dipengasingannya, pada tahun 728 H beliau meninggal dunia lalu dimakamkan di pekuburan Shufiah dengan diiringi ribuanmanusia.
Ibn Taymiah terkenal sebagai ulama yang sangat keras mempertahankan sunnah dan menentang bid’ah. Termasuk dalam hal ini adalah penentangannya terhadap mantik sebagai produk pemikiran Yunani yang bertentangan dengan tradisi para salaf saleh. Buku-bukunya tentang hal ini antara lain adalah Naqdh ul-Mantiq, Ar-Rad ‘ala Manthiqiyyin dan Nashihat Ahl il-Iman fir Radd ‘ala Mantiq il-Yunan. Dalam tulisan kali ini, saya akan memfokuskan pembahasan kritik mantik Ibn Taymiah kepada satu pengantar, yaitu pernyataan bahwa hukum mempelajari mantik adalah fardhu
BAB III
KESIMPULAN
Mantik alah satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk mengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya dengan benda-benda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal pali
abstrak (basith) yang mewadahi semua wujud.
Di dalam tokoh islam ada dua orang kontradiktif dalam memandangnilmu mantik yaitu antara Al-Gozali dengan ibnu Taimiyah.
Adapun mengenaikeadaan ilmu mantik didalam al-Qur’an adalah kifayah, dan dua bahasan pokok yang berkenaan dengan definisi dan sylogisme. Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis ini (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian merangkainya dalam bentuk burhan, ia berkata:Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)Allah mampu menerbitkan matahari (premisII), kesimpulan: Allah tuhanAl Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan neraca besar. Berikutnya adalah neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), “Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.” (Qs Al An’am [6]: 7)






DAFTAR PUSTAKA
 . H.M.Joesoef , sou'yb Logika kaidah berpikir secara tepat1997. PT Al.Husna Zikra. :Jakarta
 Sambas ,Syukriadi .Mantik kaidah berpikir islami.. 1997PT Rosda
o Karya.Bandung.
 Bakry, Hasbullah .Sistematik Filsafat. ...1981. Widjaya Pustaka: Jakarta
 Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis fi al-Iqtishad al-Islamiy min Ushulihi al-Fiqhiyyah,
 (Beirut: Dar an-Nafes, 2000), Cet. ke-4.

GENDER DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN

GENDER DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu :
DR. Iman Nafi’ah, M.Ag








Disusun oleh:
HISYAM NUR
(5059300032)


PASCASARJANA STAIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009


KATA PENGANTAR


Assalmu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur hanyalah milik Allah Rabbul Ghafur Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasi, karena dengan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang sangat sederhana ini. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw kepada keluarganya para sahabatnya dan kepada kita semua umatnya.
Dalam makalah ini kami ingin memaparkan kajian tentang “Gender Dalam Pandangan Al-Qur’an” sebagaitugas dari mata kuliah Pendekatan Studi Islam dengan dosen pengampu Bapak.DR. Ilman Nafi’ah, M.Ag .
Dan untuk selebihnya, kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan atau dalam penjelasan. Khususnya kapada Bapak Bapak.DR. Ilman Nafi’ah, M.Ag. dan juga kami berharap semoga makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi kami khususnya. Amiin yaa rabbal ‘alamin.


Cirebon, Oktober 2009




Penulis










DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………....i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan Makalah 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Pengertian Gender 2
B. Teori-teori Gender 3
C. Identitas Gender dalam Al-Qur’an 6
BAB III PENUTUP 9
Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA
























BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi informasi telah menyebarkan pengaruhnya keseluruh belahan bumi, termasuk Indonesia. Lebih dari itu, bahkan informasi itu bias diakses keruang sempit dan prifat sekalipun seperti dikamar tidur kita misalnya telivisi. Melalui media ini permisa dapat mengakses informasi apapun yang terjadi di dunia in tampa mengenal batas. Bahkan masuk ke tempat-tempat tertentu yang dulu tak perna kita vayangkan. Ia bahkan juga telah masuk ke dunia pesantren. Sebuah institusi pendidika agama yang cukup tua di Indonesia yang dulu dianggap sacral dan tertutup dengan informasi global.
Salah-satu isu dan informasi yang digulirkan oleh globalisasai adalah apa yang dikenal dengan gerakan feminisme atau gerakan jender yang cukup menyentakan dan mungkin juga mengganggu nilai-nilai tradiosi dan Agama yang mapan dan sudah menjadi bagian keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Tak pelak hal ini memaksa kita untuk memikir ulang dan memeriksa kembali teks-teks keagamaan yang menjadi pegangan dalam bertindak, bersikap dan berkarya. Sebab dari teks-teks inilah kita terbiasa mendasarkan segalah sesuatunya.
Dengan melihat latar belakang masalah diatas maka pemakalah akan mencoba merumuskan masalah yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gender ?
2. Apa teori-teori gender ?
3. Bagaimana identitas gender didalam Al-Qur’an ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Pengertian gender
2. Teori-teori gender
3. Identitas gender didalam Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah “jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.
Dalam redaksi yang lin juga dikatakan bahwa Gender adalah perbedaan sosial antar laiki-laki dan perempuan yang dititik perankan pada perilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan untuk megidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya.
Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan gender adalah sebuah kontruksi sosial. Singkat kata, gender adalah interprestasui budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Sedangkan kodrat adalah segalah sesuatu yang ada pada laki-laki dan perempuan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan manusia tidak dapat menguibah dan menolaknya.
Dari pengertian itu tampak perbedaan antara keduanya, yakni gender ditentukan oleh masyarakat, berubah dari waktu ke waktu sesuai perkembangan yang mempengaruhi nilai dan norma-norma masyarakat dan memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antar satu masyarakat dengan masyarakat lain.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

B. Teori-teori Gender
a. feminisme Liberal
Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, bersamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendeskriminasikan perempuan. Dalam mendefinisikan masalah kaum perempuan, mereka tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok persoalan.
Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan semestinya tidak terjadi penindasan antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi aliran ini masi tetap memandang perlu adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam tradisi feminisme liberal penyebab penindasan wanita dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka secara individual atau kelompok karena itu cara pemecahan untuk mengubahnya adalah menambah kesempatan-kesempatan bagi wanita, terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Landasan sosial bagi teori ini muncul selama revolusi prancis dan masa pencerahan di eropa barat.

b. feminisme Radikal
Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual, adalah bentuk dari penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi mereka, patriarki adalah dasar dari idiologi penindasan yang merupakan sisitem hirarki seksual, dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan previlige ekonomi. Menurut kelompok ini perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki bukan saja dalam hal pemenuhan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraaan, dan kepuasaan seksual kepada sesama perempuan, didalam beberapa presfektif feminisme radikal digambarkan bahwa wanita ditindas oleh sistim-sistim sosial patriarkis, yakni penindasan-penindasan yang paling mendasar, penindasan yang paling mendasar seperti eksploitasi jasmaniyah, eteroseksisme dan kelas-isme . agar wanita terbebas dari penindasan maka menutut teori ini harus diadakan perubahan pada masyarakat yang berstruktur pada patriarkis.

c. feminisme Markis
Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan aspek biologis sebagai perbedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antar kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan teradisional dan para teolog bahwa setatus perempuan lebih renda daripada laki-laki karena factor biologis dan latar belakang sejarah. Agak mirip dengan teori konflik. Kelompok ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan setruktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis.

d. Feminisme sosialis
Aliran ini melakukan sintesis antara metode histories materialis marks dan engles dengan gagasan personal ispolitikal dari kaum feminis radikal. Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan gender didalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tampa upah bagi perempuan didalam rumah tangga. Bagi feminis sosialis ketidak adilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan tetapi lebih karena penilaian dan anggapan (social kontruktion) terhadap perbedaan itu. Ketidakadilan juga bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat, melainkan karena manispestasi ketidak adilan gender yang merupakan konstruksi social. Oleh karena itu yang mereka perangi adalah konstruksi, fisi dan idiologi masyarakat serta struktur dan sistim yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Mereka juga memiliki pandangan bahw apenindasan terhadap perempuan terjadi dikelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikan posisi kaum perempuan. Atas dasar itulah mereka menolak visi markis klasik yang meletakan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tampa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis patriarkki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dikalangan feminis sosialis, baik patriarki maupun kelas, dianggap sebagai sumber penindasan utama.
Berbagai macam teori feminisme diatas menunjukan bahwa para feminis memiliki presfektif yang berbeda-beda dalam memandang kedudukan dan kondisi perempuan. Namun dari sekian banyak perbedaan itu, terdapat satu hal yang menjadi titik persamaan. Semua gerakan feminisme memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu menuntut hubungan yang adil dan setara natara laki-laki dan perempuan. Ketidak adilan yang bersumber dari perbedaan gender yang selama ini menimpa perempuan diupayakan untuk dihilangkan.

C. Identitas Gender dalam Al-Qur’an
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa identitas gender adalah kekhususan yang melekat pada anak berdasarkan alat kelaminnya seperti anak yang memiliki penis kemudian diberi pakaian dengan motiv dan bentuk sebagaimana layaknya laki-laki, demikian juga yang memiliki vagina. Namuan yang dimaksud disini adalah nama-nama atau symbol-simbol yang sering digunakan Al-Qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang. Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui simbol yang dikenal dengan istilah sighot mudzakar dan muannas. Adapaun istilah-istilah yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :

Ar-Rajul
Secara etimologis, kata ini mengandung beberapa arti mengikat, berjalan kaki, telapak kaki, tumbuh-tumguhan dan laki-laki. Kata ini biasanya digunakan untuk menunjuk laki-laki yang sudah dewasa (sudah akil balig). Dalam penggunaannya, kata ini tidak hanya mengacu pada jenis kelamin biologis tetapi juga laki-laki yang memenuhi kwalifikasi budaya tertentu seperti kejantanan. Oleh karena itu, perempuan yang memiliki sifat-sifat kejantanan disebut rajlah, kata ar-Rajul tidak digunakan untuk spesies selain manusia.
Dalam Al-Qur’an, kata ini disebut 55 kali dengan pengertian yang berbeda-beda yakni: (1) gender laki-laki dalam Qur’an surat Al-Baqoroh (2:282). Termasuk dalam pengertian ini adalah Qur’an Surat An-Nisa (4:234) yang biasanya digunakan utuk menolak kepemimpinan perempuan diruang publik. (2) orang, baik laki-laki maupun perempuan Qur’an Surat Al-A’raf (7:46), (3) Nabi atau Rasul dalam Q.S. Al-Ambiyah (21:7), (4) Tokoh masyarakat dalam Q.S. Yasin (36:20) (5) Budak dalam Q.S. Azzumar (39:29).

Lawan kata dari Ar-Rajul adalah An-Nisa yang berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa, oleh karena itu, kata ini biasanya diterjemahkan dengan istri atau perempuan yang sudah berkeluarga seperti perempuan yang sudah kawin (Q.S. An-Nisa, 4:24). Perempuan janda Nabi (Q.S. AnNisa, 22) perempuan mantan istri ayah (Q.S An-Nisa 4:22) perempuan yang ditalak (Q.S. Al-Baqoroh :231) dan istri yang didihar (Q.S. Al-Mujadalah :58:2+3) dengan lkatan sebagaimana imro’ah kata An-Nisa tidak pernah digunakan untuk perempuan dibawah umur. Bahkan kedua kata ini lebih banyak digunakan dalam kaitan tugas reproduksi. Dalam Al-Qur’an kata ini disebut sebayak 59 kali dalam pengertian sebagai berikut : (1) Gender perempuan (Q.S. An-Nisa 4:32), (2)
Istri (Q,S, Al-Baqoroh : 222).

Ad-Dzakar

Kata ini berarti mengisi atau menuangkan, menyebutkan, mengingat, mempelajari, menyebutkan, laki-laki atau jantan. Kata ini lebih berkonotasi biologis seks yang biasa digunakan untuk selain manusia. Lawan katanya adalah al-Untsa dalam Al-Qur’an, kata ini disebutkan sebanyak 18 kali yang kebanyakan menunjuk laki-laki dilihat dari biologis. Hal ini seperti dalam Qur’an Surat Ali-Imran, 3 :36. memang ada ungkapan yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender yang tidak menggunakan rajul dan imra’ah tapi ad-dzakar dan al-untsa seperti ayat tentang waris (Q.S. An-Nisa 4:11) namun ayat ini hendak menegaskan bahwa jenis kelamin apapun, berhak mendapatkan berbagai hak asasinya, termasuk soal warisan dan hak-hak kebendaan lainnya. Apalagi, ayat ini turun sebagai koreksi atas tradisi jahiliyah yang tidak mengenal warisan untuk perempuan. Sebenarnya, subtansi ayat tersebut terletak pada awal ayat “yussikumullahu fi awladikum…….” Dimana kata “aulad” mengandung pengertian laki-laki dan perempuan baik sedikit atau banyak. Penyebutan ad-dzakar dan al-untsa hanya sebagai muqoyyad. Untuk menguatkan argument tersebut bias dibandingkan dengan qur’an surat An-Nisa ayat 176 Ini sebagi petunjuk bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mesti melahirkan perbedaan gender. Kata untsa berarti lembek (tidak keras) lemas dan halus. Kata ini disebut sebanyak 30 kali semuanya menunjuk pada jenis kelamin perempuan.

Al-Maru
Kata ini berasal dari mara’ah yang berarti baik atau bermanfaat. Dari kata ini lahir kata al-maru yang berarti laki-laki dan al-mar’ah berarti perempuan dalam Al-Qur’an, kata al-mar’u terulang sebanyak 11 kali yang digunakan untuk pengertian manusia.,, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana kata ar-rajul dan an-nisa, kata ini juga menunjuk pada pengertian amnesia dewasa, suda memiliki kecakapan bertindak atau yang sudah berumah tangga seperti dalam Qur’an surat Abbasa (80:34) dan At-Tur (52:21).
Dari uraian diatas jelas bahwa kata ar-rajul tidak identik dengan ad-dzakar. Semua katagori ar-rajul, termasuk katagori ad-dzakar dan tidak sebaliknya. Demikian juga kata al-mar’u atau imra’ah dan an-nisa tidak identik dengan al-untsa . seseorang laki-laki disebut ar-rajul atau perempuan disebuatan An-Nisa manakalah memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu seperti berumur dewasa, telah berumah tangga, atau telah mempunyai peran tertentu didalam masyarakat.
Dari keterangan diatas kiranya jelas bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mesti berimplikasi pada perbedaan gender. perbedaan kualitas antara laki-laki dan perempuan lebih banyak ditenukan seperti ayat diatas oleh usaha yang dilakukan. Oleh karena itu prisip-prinsip kesetaraan gender dalam A-Qur’an tidak dilihat dari jenis kelaminnya, tapi kedudukannya sebagai sama-sama sebagai hambah Allah dan Khalifah-Nya yang sama-sama berpotensi meraih atau gagal berprestasi.








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Adapun mengenai teori-teori untuk mengetahui feminisme atau gender sendiri ada empat yaitu :
 Teori feminisme Liberalfeminisme
 Teori feminisme Radikalfeminisme
 Teori feminisme Markis
 Teori feminisme sosialis.
Identitas Gender dalam Al-Qur’an yang dimaksud disini adalah nama-nama atau symbol-simbol yang sering digunakan Al-Qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang. Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui simbol yang dikenal dengan istilah sighot mudzakar dan muannas. Adapaun istilah-istilah yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :
 Ad-Dzakar
 Al-Maru
 Ar-Rajul
Dan jelasnya itu prisip-prinsip kesetaraan gender dalam A-Qur’an tidak dilihat dari jenis kelaminnya, tapi kedudukannya sebagai sama-sama sebagai hambah Allah dan Khalifah-Nya yang sama-sama berpotensi meraih atau gagal berprestasi.





DAFATAR PUSTAKA


 Waryono Abdul Gafur, Tafsir Sosial, Yogyakarat :eLSAQ Press, 2005. Hal.109
 Ahmad Taufiq, Presfektif Gender Kia Pesantren,Kediri: STAIN Kediri Press, 2009 Hal.54
 www.faridakhwan.com

DASAR-DASAR PENGETAHUAN DALAM FILSAFAT ILMU

DASAR-DASAR PENGETAHUAN DALAM FILSAFAT ILMU

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu :
Prof.DR.H. Cecep Sumarna







Disusun oleh:
HISYAM NUR
( 5059300032)


PASCASARJANA IAIN
SYEK NURJATI
CIREBON
2009


BAB I KATA PENGANTAR


Assalmu’alaikum Wr.Wb.
Untaian Puji syukur hanyalah milik Allah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasi, karena dengan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang sangat sederhana ini. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw kepada keluarganya para sahabatnya dan kepada kita semua umatnya.amin
Dalam makalah ini kami ingin memaparkan kajian tentang “Dasar-dasar Pengetahuan dalam Filsafat Ilmu”sebagai tugas dari mata kuliah filsafat ilmu dengan Dosen pengampu Bapak.Prof.DR.H. Cecep sumarna, M.Ag
Tidak ada gading yang tak retak, pemakalah juga menyadari bahwa isi makalah ini jauh dari kesempurnaan, saran dan kritik pemakalah sangat harapkan untuk proses perbaikan dan penyempurnaan dalam menyusun makalah selanjutnya. Dan juga kami berharap semoga makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi kami khususnya. Amiin yaa rabbal ‘alamin.

Cirebon, Oktober 2009




Penulis









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………....i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Ilmu dan Filsafat 3
B. Pengartian dan Dasar-dasar Pengetahuan 4
C. Sumber Pengetahuan 6
D. Berpikir Ilmiah untuk memperoleh pengetahuan 7
BAB III PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
DAFTAR PUSTAKA
















PEMBAHASAN


A. Latar Belakang
...Bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, ”bagaimana caranya agar saya mendapat pengetahuan yang benar?. ”mudah saja”, jawab filsuf itu,” ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kapastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui apa yang telah kita ketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas ini.
Akal adalah potensi rohaniah yang memiliki berbagai kesanggupan seperti kemampuan berfikir, menyadari, menghayati, mengerti dan memahami. Jadi pemikiran kesadaran, penghayatan, pengertian dan pemahaman semuanya merupakan istilah yang berarti bahwa kegiatan akal itu berpusat atau bersumber dari kesanggupan jiwa yang disebut dengan intelegensi (sifat kecerdasan jiwa.
Berpikir di maksudkan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui dengan kata lain bahwa kebenaranlah yang menjadi tujuan utamanya, dari proses berpikirnya yang mengatakan pengorganisasian dan pembudian pengalaman-pengalamannya secara empiris dan eksperimen di maksudkan dapat mencapai pengetahuan, tetapi apakah pengetahuan yang diperoleh adalah benar dan apa yang dimaksud kebenaran dalam ilmu pengetahuan?
Kebenaran adalah adanya korespondensi, koherensi dan konsistensi antara subjek dan objek secara pragmatis, jadi ada dua kebenaran yang ingin di capai yaitu mutlak dan relative. Dikatakan relative karena kebenaran ini merupakan hasil pemikiran manusia dalam teori pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri bukanlah sesuatu yang sudah selesai terpikirkan, tetapi sesuatu hal yang tidak pernah mutlak sebab ia masih selalu membuka diri untuk pemikiran kembali atau peninjauan ulang.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Ilmu dan Filsafat ?
2. Apa Pengartian dan Dasar-dasar Pengetahuan ?
3. Bagaimana Sumber Pengetahuan ?
4. Apa sarana Berpikir Ilmiah untuk memperoleh pengetahuan ?





















BAB II
PEMBAHASAN


A. Ilmu dan Filsafat
Ilmu merupakan pengetahuan yang digumuli sejak di bangku sekolah sampai pada pendidikan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri; Apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu?, Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar?
Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya, misalnya Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Selain itu membongkar tempat berpijak secara fundamental, inilah karakteristik yang keua dari berpikir filsafat yaitu mendasar.

Apakah yang sebenarnya ditelaah filsafat?
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia, mempersoalkan hal-hal yang pokok; terjawab masalah yang satu, diapun mulai merambah pertanyaan lainnya. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut dengan salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika) dan apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang ini kemudian berkembang luas hingga saat ini yang melahirkan berbagai cabang kajian filsafat yang kita jumpai seperti filsafat politik, pendidikan dan agama.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti; Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi denga daya tangkap indera manusia yang membuahkan pengetahuan?.
Untuk membedakan janis pengetahuan yang satu dari pengetahuan yang lain, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui ketiga pertanyaan itu maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia.

B. Pengartian dan Dasar-dasar Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Mendefinisikan pengetahuan merupakan kajian panjang sehingga terjadi pergulatan sejarah pemikiran filsafati dalam menemukan pengertian pengetahuan. Hal ini wajar karena “keistimewaan” filsafat adalah perselisihan, pergumulan pemikirannya itu berlangsung terus selamanya. Suatu produk pemikiran filsafat selalu ada yang menguatkan, mengkritik, melemahkan bahkan akan ada yang merobohkan pemikiran itu. Kelakpun akan dijumpai yang satu menegaskan sedang yang lain mengingkari. Begitulah seterusnya akan selalu berada dalam bingkai dialektika.
Sedangkan Ilmu merupakan pengetahuan yang terorganisasi dan diperoleh melalui proses keilmuan. Sedangkan proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematsi tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini biasanya atau pada umunya berupa metode ilmiyah. Dari proses metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science atau tepatnya Ilmu pengetahuan memilki arti spesifik bila digandengkan dengan ilmu pengetahuan yaitu sebagai kajian keilmuan yang tersistematis sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif ( dapat dibuktikan secara empiris ) dan prediktif ( menduga hasil empiris yang bisa diperiksa sehingga bisa jadi hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita empiris).

Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu.
Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan nama “innete idea”. Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aristatoles dan para penganut Empirisme-Realisme menyangggah yang disampaikan oleh kaum Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan pemahaman yang universal bukan hasil bawaan tetapi diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiric manusia. Aristatoles berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul dirumuskan akal melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan dengan empiric-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul dan bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal bakal lahirnya positivisme modern dalam kajian keilmuan.
2. Dasar-dasar Pengetahuan
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Penalaran mempunyai ciri, yaitu: merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu dan sifat analitik dari proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut aalah logika penalaran yang bersangkutan, artinya kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan langkah-langka tertentu. Tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan pada penalaran seperti perasaan dan intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik secara nalar maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua, pengetahuan yang didapat tidak dari kegiatan aktif menusia melainkan ditawarkan atau diberikan seperti ajaran agama. Untuk melakukan kagiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta (paham empirisme). Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan penalaran deduktif (terkait dengan rasionalisme) dan induktif (terkait dengan empirisme).
. Penalaran merupakan proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Penarikan kesimpulan dianggap benar jika penarikan kseimpulan dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika.

C. Sumber Pengetahuan
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. pertama, mendasarkan diri pada rasional dan mendasarkan diri pada fakta. Disamping itu adanya intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu, seperti ”orang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba menemukan jawabannya.
Salah satu pembahasan dalam epistimoogi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transenden. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama meninggalkan yang essensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi)”. Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi adalah termanifestaasikan dalam diri para nabi dan rasul. Sehingga para agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia
D. Sarana Berpikir Ilmiah Untuk memperoleh Pengetahuan
Adapun sarana berpikir ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Bahasa
Bahasa memegang peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan kehidupan manusia, kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan mengganggapnya sebagai suatu hal yang biasa seperti bernafas dan berjalan. Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia tanpa bahasa maka tak ada komunikasi, tanpa komunikasi apakah manusia layak disebut dengan mahluk social?
Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa seperti berpikir sistemastis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan dengan kata lain tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sitematis dan teratur.

a. Pengertian Bahasa dan Fungsinya
Banyak Ahli Bahasa yang telah memberi uraian tentang pengertian bahasa, sudah barang tentu setiap ahli berbeda-beda cara menyampaikannnya. Bloch and Trager menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok social sebagai alat untuk berkomunikasi, sementara Joseph Broam mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitirer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok social sebagai alat bergaul satu sama lain.
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, Pengertian Bahasa ada tiga yaitu:
a) Sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran
b) Perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa
c) Percakapan (perkataan yang baik, sopan santun, tingkah laku yang baik).
Jadi bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu dalam suatu kelompok social tertentu.
Para pakar juga berselisih paham dalam hal fungsi bahasa. Aliran filsafat bahasa dan psikolingustik melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi sedangkan aliran sosiolingustik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk perubahan masyarakat.
Walupun tampak perbedaan, pendapat ini saling melengkapi, yang secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah:
1. Koordinator kegiatan masyarakat
2. Penetapan pikiran dan pengungkapan
3. Penyampaian pikiran dan perasaan
4. Penyenangan jiwa
5. Pengurangan kegoncangan jiwa
b. Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah
Untuk dapat berpikir ilmiah, seseorang selayaknya menguasai kriteria maupun langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah, dengan menguasai hal tersebut tujuan yang akan dicapai akan terwujud.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif, dengan kata lain kegiatan berpikir ilmiah ini sangat berkaitan erat dengan bahasa, menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum tentu mendapatkan kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan benar.
Ketika bahasa disifatkan dengan ilmiah, fungisnya untuk komunikasi disifatkan dengan ilmiah juga, yakni komunikasi ilmiah, komunikasi ilmiah ini merupakan proses penyampaian informasi berupa pengetahuan.
2. Statistika
Disadari atau tidak, statistika telah banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, pertanyaan-pertanyaan seperti; Tiap bulan habis ± Rp. 50.000,- untuk keperluan rumah tangga, ada 60% penduduk yang memerlukan perumahan permanen, 10% anak-anak SD mengalami putus sekolah tiap tahun dan sebagainya. Dunia penelitian atau riset, dimanapun dilakukan bukan saja telah mendapat manfaat yang baik dari statistika tetapi sering harus menggunakannya, untuk mengetahui apakah cara yang baru ditemukan lebih baik dari pada cara yang lama, melalui riset yang dilakukan di laboratorium atau penelitian yang dilakukan di lapangan.
Dalam kamus ilmiah populer, kata statistika berarti table, grafik, daftar informasi, angka-angka. Sedangkan statistika berarti ilmu pengumpulan, analisis-analisis dan klasifikasi data, angka sebagai dasar untuk induksi.
Banyak persoalan Apakah itu hasil penelitian riset atapun pengamatan, baik yang dilakukan khusus ataupun berbentuk laporan dinyatakan atau dicatat dalam bentuk bilangan atau angka-angka kumpulan angka-angka itu sering disusun diatur disajikan dalam bentuk table atau daftar sering pula disertai dengan gambar-gambar yang biasa disebut diagram atau grafik supaya lebih dapat menjelaskan lagi tentang persoalan yang sedang dipelajari.
Jadi ringkasnya bisa kita katakan bahwa statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan data, pengelolaan dan penarikan kesimpulannya berdasarkan kumpulan data dan analisa yang dilakukan.
Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah, sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karasteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.
3. Logika
Logika adalah sarana berpikir sistematis, valit dan dapat dipertanggung jawabkan, karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari pada satu.
Kata Logika dapat diartikan sebagai penalaran karena penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu.
Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dan dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara benar.
Terdapat dua cara penarikan kesimpulan yakni; Logika Induktif dan Logika Deduktif logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien tepat dan teratur mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan makalah diatas, penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya, misalnya Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Selain itu membongkar tempat berpijak secara fundamental, inilah karakteristik yang keua dari berpikir filsafat yaitu mendasar.
2. Pengetahuan dalam bahasa Inggris barasal dari kata “Knowledge” yang berarti pengetahuan. Pengetahuan manusia yang maju mengenai hal-hal yang empiric disebut ilmu ( science ).
3. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
4. Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi) Sarana Berpikir Ilmiah Untuk memperoleh Pengetahuan
5. Sarana-sarana yang dipakai untuk berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika, statistika dan logika
6. Proses berfikir ilmiah adalah merupakan sekumpulan Langkah-langkah berpikir yang bersifat objektif, rasional, sistematis dan generalisasi


DAFTAR PUSTAKA

 Husen Al-Habsy, Kamus Al-Kautsar Lengkap, Bangil : Yayasan Pesantren Islam (YAPPI), 1987
 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (dari Hakikat menuju Nilai), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006
 M. Amin Abdullah, Studi Agama ; Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Palajar, 1999
 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. I, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004
 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia…Op.
 Drs. Mundiri, Logika, Rajawali Press, Jakarta: t.th
 Jujun S. Sumantri.2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.