Daftar Blog Saya

Jumat, 22 Januari 2010

AKAL DAN WAHYU DALAM PRESFEKTIF TEOLOGI DAN TASAWUF

AKAL DAN WAHYU DALAM PRESFEKTIF TEOLOGI DAN TASAWUF
A. Akal dan Wahyu menurut Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah
1. Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah aliran teologi yang bersifat tradisional dan liberal, dan dikenal juga dengan nama “Kaum Rasionalisme Islam”. Bagi Mu’tazilah akal maupun mengetahui keempat persoalan pokok di atas, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu wajib, mengerjakan yang baik dan menjahui yang jahat adalah wajib.
Tokoh Mu’tazilah yang lain seperti al-Nazaam juga mengatakan sedemikian sebelum wahyu datang akal wajib mengetahui Allah, mengetahui yang baik dan yang jahat. Golongan al-Murdar yang dipelopori oleh Isa ibn Sabih lebih jauh lagi menurut mereka akal wajib mengetahui Allah, mengetahui hukum-hukum dan sifat Tuhan, walaupun wahyu belum dating orang yang tidak berterima kasih kepada Tuhan mendapat hukuman kekal dalam neraka.
Dengan demikian, bagi kaum Mu’tazilah daya akal kuat tetapi fungsi wahyu penting yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal. Memang akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat. Tetapi tidak semua yang baik itu baik dan yang jahat itu jahat seperti apa yang diketahui oleh akal. Jadi hanya sebagian saja yang diketahui oleh akal.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bagi kaum Mu’tazilah akal cukup mampu mengetahui keempat persoalan pokok tersebut, akan tetapi persoalan baik dan jahat yang dapat diketahui akal secara garis besarnya saja. Sedangkan secara terperinci ditetapkan oleh wahyu. Oleh sebab itu, bagi kaum Mu’tazilah fungsi wahyu lebih banyak bersifat konfirmasi daripada informasi.
2. Asy’ariyah
Asy’ariyah system teologinya bersifat tradisional, kaum ini memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu. Bagi mereka akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja, sedangkan mengetahui baik dan jahat dan kewajiban-kewajiban manusia dapat diketahui melalui wahyu. Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syariat tidak ada, kata al-Ghazali, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-Nya atas nikmat yang diturunkan-Nya kepada manusia
Pendapat al-Baqhdadi tentang upah ini bertentangan dengan konsep kaum Mu’tazilah, bagi Mu’tazilah, Allah wajib memberi pahala atas perbuatan yang dianggap jahat oleh akal karena pada perbuatan itu sendiri terdapat sifat kebaikan dan kejahatan.
Tidak ada kewajiban sebelum datangnya syariat dan akal tidak dapat menentukan kewajiban sebelum datangnya syariat Dengan demikian persoalan baik dan buruk tidak dapat diketahui oleh akal.
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh tokoh Asy’ariyah satu pendapat tentang kemampuan akal manusia, bagi mereka akal hanya dapat mengetahui wujud Tuhan, dalam tiga pokok lainnya dapat diketahui manusia dengan adanya wahyu. Oleh sebab itu, wahyu lebih banyak bersifat informasi daripada konfirmasi, karena akal manusia menurut system teologi Asy’ariyah lemah. Tetapi pengiriman rasul bagi aliran ini jaiz. Sesuai dengan konsep Kehendak Mutlak Tuhan tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk mengutus rasul.
3. Maturidiyah
Maturidiyah dan Asy’ariyah disebut juga dengan golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah, tetapi dalam system teologinya terdapat perbedaan pendapat dalam menempatkan kedudukan akal dan wahyu.. sementara itu Maturidiyah terpecah pula menjadi dua golongan, masing-masingnya mempunyai persepsi yang berbeda dalam menempatkan kedudukan wahyu dan akal untuk menjawab keempat persoalan terdahulu.
Maturidiyah samarkand dengan tokohnya Abu Mansur al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara dengan tokohnya al-Bazdawi. Maturidiyah Samarkand berpendapat hanya satu yang tidak dapat diketahui akal yaitu butir empat. Untuk itu, diperlukan wahyu. Ketiga butir lainnya dapat diketahui akal.
Dalam hal yang demikian Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah yang mengatakan akal manusia mampu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang jahat. Namun, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat bagi Mu’tazilah dapat diketahui akal tetapi bagi Maturidiyah Samarkand diketahui dengan wahyu. Sebagaimana penjelasan al-Bazdawi, “Percaya kepada Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam paham Mu’tazilah Al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sepaham dengan Mu’tazilah. Demikian jugalah umumnya Ulama Samarkand dan sebahagian dari alim ulama Irak.
Menyangkut masalah pengetahuan tentang keburukan menurut Maturidiyah Samarkand ini ialah : bagi seluruh (al-Asyya’) itu terhadap keburukan yang sebenarnya (zati). Sementara itu akal mampu mengetahui sebahagian dari keburukan perbuatan itu. Maturidi membagi sesuatu (al-assya’) itu kepada tiga bagian.
 Pertama : Sesuatu yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal
 Kedua : Sesuatu yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya untuk diketahui oleh akal.
Bagian terakhir ini tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk syariat. Argument al-Maturidi tentang akal ini adalah akal mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak lurus adalah buruk. Oleh karena itu, akal memang mulia terhadap orang yang adil serta lurus, dan memandang rendah terhadap orang yang bersikap tak adil dan tak lurus. Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan itu dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal (fa yajib al-amr wa al-nahy bi ma’rifah al-aql).
Diisyaratkan dari kutipan di atas yang diwajibkan akal adalah adanya perintah dan larangan bukan mengerjakan yang baik dan buruk. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagi Maturidiyah Samarkand akal manusia mampu mengetahui tiga butir persoalan pokok tersebut. Tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menjauhi yang jahat diketahi dengan wahyu. Kalau dibandingkan dengan Asy’ariyah, daya akal bagi Maturidiyah Samarkand lebih tinggi, baginya tiga yang diketahui akal, tetapi bagi Asy’ariyah hanya satu. Adapun maturidiyah Bukhara, baginya hanya dua saja yang dapat diketahui akal, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan. Akibat dari pendapat ini ialah mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini memang merupakan pendapat golongan Bukhara, alim ulama Bukhara kata Abu Uzbah sebelum adanya rasul-rasul, percaya kepada Tuhan bukanlah merupakan dosa. Karena kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk hanya diketahui sesudah adanya rasul. Fungsi akal bagi Maturidiyah Bukhara adalah untuk pengetahuan, dan kewajiban diterima manusia dari wahyu.
Dibandingkan dengan Maturidiyah Samarkand, daya akal bagi Maturidiyah Bukhara ini lebih kecil, karena Maturidiyah Samarkand, akal baginya mampu mengetahui tiga persoalan pokok bagi Maturidiyah Bukhara hanya dua saja, tetapi kalau dibanginakan dengan Asy’ariyah, daya akal tinggi yaitu dua banding satu.
Hasil analisa perbandingan antara Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara, maka ternyata Maturidiyah Samarkand lebih dekat system teologinya dengan Ma’tazilah, dan Maturidiyah Bukhara lebih mendekati pemikiran Asy’ariyah.
Sebagai gambarnya dapat dilihat dari diagram yang telah digambarkan Prof. Harun Nasution berikut ini :


Dalam bentuk table dapat dilihat perbandingan fungsi akal dan wahyu antara aliran di atas sebagai berikut :
Aliran Teologi Mengetahui Tuhan Kewajiban mengetahui Tuhan Mengetahui Baik dan Buruk Kewajiban Mengerjakan Baik dan menjauhi yang jahat
Mu’tazilah Akal Akal Akal Akal
Asy’ariyah Akal Wahyu Wahyu Wahyu
Maturidiyah Samarkand Akal Akal Akal Wahyu
Maturidiyah Bukhara Akal Wahyu Akal Wahyu


B. Akal dan Wahyu menurut Robiatul Adawiyah, Al-Hallaj, dan Ibnu Al-‘Arabi
1. Rabiatu adawiah
Rabiatu adawiah sebagai seorang yang hidup saleh dan zahid sepanjang harinya ia berpuasa dan mengerjakan shalat sunat sebanyak 1000 rakaat. Al-Manawi menulis di dalam bukunya “Al-Kawakibu al-Durriyah” mengatakan bahwa Rabiatul Adawiyah mengerjakan shalat sunat sebanyak 1000 rakaat dalam sehari semalam. Orang bertanya: apa yang kau inginkan dengan shalatmu itu? Katanya: Aku tidak menginginkan pahala, tetapi kukerjakan agar Rasulullah bergembira pada hari kiamat nanti berkata kepada para nabi bahwa aku adalah seorang wanita dari umatnya, lihatlah ibadahnya.” Sebagai seorang yang zahid (yang tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) ia tidak pernah meminta tolong kepada orang lain ketika ia ditanya mengapa ia bersikap demikian ia menjawab: aku malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi kepada orang yang bukan pemilik sesuatu itu. Allah telah memberikan rezeki kepadaku dan kepada orang kaya. Apakah Dia yang memberi rezeki kepada orang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang miskin? Sekiranya Dia yang menghendaki bagiku maka aku harus menyadari posisiku sebagai hamba-Nya dan haruslah menerimanya dengan hati yang lapang”. Zuhud yang tadinya telah dirintis oleh Hasan al-Basri yaitu takut (khauf) kepada kemurkaan Allah dan mengharap kepada keampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabiatul Adawiyah kepada zuhud karena cinta (hubb). Cinta yang murni lebih tinggi dari takut dan pengharapan, karena cinta tidak mengharap apa-apa dari yang dicintai. Karena itu dalam syi’ir-syi’ir yang masyhur, ia berkata tentang tujuan zuhudnya yaitu kepada Allah, karena Allah bukan kepada Allah karena mengharap. Rabiatul Adawiyah menganggap soal surga atau soal neraka adalah nomor dua atau bukan sama sekali, sebab cinta itu sendiri merupakan suatu ni’mat yang paling besar dan tidak ada tolok bandingannya. Dalam syi’irnya ia berbicara karena apa ia cinta kepada Allah katanya yang Artinya: “aku mencintai-Mu dengan dua (macam) cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Dan cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu menyingkap tabir hingga Kau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu, pukian bukanlah bagiku tapi bagi-Mu lah pujian untuk semuanya”.
Dalam syi’ir di atas cinta menurut Rabiatul Adawiyah ada dua tingkatan; pertama cinta karena rindu kepada Allah karena Allah telah menganugerahkannya hidup sehingga dapat menyebut nama Allah. Karena itulah tidak ada lagi yang lain jadi buah kenangannya dan buah tuturnya melainkan Allah. Kedua cinta dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu cinta karena Allah berhak dan bersedia menerimanya ialah cinta karena menyaksikan keindahan (jamal) dan kebesaran (jalal) yang kian hari kian terbuka baginya hijab, pembatas yang memisahkan dirinya dengan Tuhannya. Itulah tujuan cinta yaitu melihat Allah (musyahadah) dengan hatinya. Kalau hati telah dipenuhi dengan rasa cinta, cinta yang membara dari yang mencintai kepada yang dicintai, ia tidak mengharapkan apa-apa dari yang dicintai selain dari merindukan yang dicintai. Dalam sebuah munajatnya Rabiah Adawiyah berkata: Tuhanku jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengharap surga jauhkanlah aku dari padanya, tetapi jika Kau kupuja semata-mata karena Kau, janganlah Kau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal dari padaku”. Satu-satunya yang diharapkan oleh orang yang mencintai ialah bertemu dengan orang yang dicintai. Di waktu tiba malam hari ia berkata: “Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan orang telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap kekasih telah menyendiri dengan kekasihnya, dan inilah aku di hadirat-Mu”. Sewaktu fajar telah menyingsing ia berkata: “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri, aku gelisah apakah amalanku Kau terima hingga aku merasa bahagia ataukah Kau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemuliaan-Mu, inilah yang kulakukan selama aku Kau berikan hayat. Sekiranya Kau usir dari depan pintu-Mu aku tidak akan pergi Cinta pada-mu telah merasuk lubuk hatiku”. Puncak cintanya kepada Allah digambarkannya dalam ucapannya: wahai kekasih hati, hanya Kau-lah yang kucintai, beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiat-Mu”. Gubuk tempat tinggal Rabiatul Adawiyah tidak dijumpai lampu dan makanan untuk besok hari. Tetapi setiap malam ia bangun mengerjakan shalat, cahaya selalu mengelilinginya, demikian juga makanan selalu datang di waktu lapar.
Sedangkan Rabiatul addawiyah dalam memahami wahyu dan akal, rabi’ah lebih mengedepankan wahyu daripada akal karena ketika seseorang sedang dimabok cinta kepada Tuhan-Nya, maka akal orang tersebut tidak akan berfungsi lagi, karena saking besarnya rasa cintanya.
2. Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah al-Hisyam ibn Mansur ibn Muhammad al-Baidhowi al-Hallaj, dilahirkan pada tahun 224/ 858 M di kota al-Tur yang bercorak arab yang berkawasan al-Baida Iran tenggara, ia bukan orang Arab melainkan orang persi, kakeknya adalah Zoroaster dan ayahnya memeluk agama Islam, dan pengguru kapas sehingga diberi julukan al-Hallaj.
Konsep tasawuf yang terkenal dari al-Hallaj adalah konsep al-Hulul. Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya, setelah sifat kemanusiaan yang ada ditubuhnya itu dilenyapkan, dan bila mana orang insan telah suci akan naiklah tingkat spiritual hidupnya dari satu maqom ke maqom yang lain yang lebih tinggi, seperti muslim, ke mukmin dan solohin dan akhirnya ia ke muqqoribin.
Lebih jauh lagi al-Hallaj berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat dasar yaitu sifat Ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut), demikian pula manusia sifat dasar yang dimiliki oleh Tuhan, dengan demikian persatuan antara Tuhan dengan Manusia dapat terjadi.
Sedangkan pemikiran al-Hallaj tentang akal dan wahyu. Ia berpendapat bahwa manusia dengan akal dan wahyu Allah bisa berada di tinglkat Ma’rifat billah seperti konsep tasawufnya yaitu al-Hulul.
3. Ibnu Al’arabi
Ibnu al’Arabi Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad Ibnu ’Arabi al Tha’i al Hatimi. Nama ini dibubuhkan oleh Ibnu ’Arabi dalam Fihrist (katalog karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Sadruddin al Qunawi memanggilnya Abu’Abdullah. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia sebagai Ibnu ‘Arabi. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat, sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lainnya yang terkenal, yakni Abu Bakr Muhammad Ibn ’Arabi (1076-1148), kepala hakim (Qadi) Sevilla ; kelak Ibnu ’Arabi belajar pada sepupu dari tokoh ini.
Dari nama lengkap tersebut kemudian oleh orang-orang setelahnya terutama yang mengaguminya Ia diberi gelar, antara lain : Muhyi-Din (Penghidup Agama) dan Syaikh al Akbar (Doktor Maximus). Lalu banyak penulis yang menggabungkan dua gelar itu menjadi : Syaikh al Akbar Muhyidin Ibnu al’Arabi. Dalam banyak penulisan, tokoh ini seringkali hanya disingkat dengan Ibn al’Arabi (dengan Al), Ibnu’Arabi (tanpa al) ataupun Ibn’Arabi saja.
Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 m, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy.3 Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki, kelahirannya jelas merupakan kebahagiaan besar Apa yang menarik dari seorang Ibn Arabi? Ia seorang filosof yang gandrung tasawuf dan sebaliknya. Pikirannya seputar ketuhanan, alam, akal, wahyu banyak yang setuju dan banyak pula yang tidak. Ia dikenal konsep wihdatul wujud. Lahir di tengah keluarga sufi, lalu besari dan berkarya sampai 2000 buku, pemikiran tokoh kelahiran al-Andalusia Spanyol ini patut digali.
Ia bersentuhan dengan filsafat Yunani dan langsung bertemu dengan Ibn Rusyd (Averoes), seorang filosof kalangan Islam yang lahir di Eropa. Pemikiran wihdatul wujud (keesaan tuhan) adanya yang satu adalah esensi mutlak Allah SWT. Meminjam istilah Aristoteles, causa prima atau sebab pertama. Selain itu, pemikiran tentang insanul kamil. Yaitu tentang insan yang sempurna yang mengacu kepada tingkah laku manusia. Ini dekat dengan filsafat kenabian. Dimana setiap orang bisa mengejar jadi insanul kamil dan mencapai kenabian dengan langkah-langkah yang sungguh-sungguh.
Buku ini memaparkan sisi sufi yang ada dalam filsafat Ibn Arabi. Juga membandingkan komentar pro kontra sepanjang sejarah. Karena memang kehadiran tokoh satu ini memang mengejutkan dan menghentakkan fundamental regilis terutama mereka yang melandaskan agamanya dengan pilar syariat yang kaku dan formalistik.
Ibn Arabi mendobraknya dengan pendapat yang jauh melintas batas logika dan dekat dengan jiwa. Membuat awam menyatakan sesat atas pemikiran yang ekstrim seperti itu. Dalam aliran pemikiran, corak pemikiran Ibn Arabi ini sangat seksi untuk dibaca, dipelajari dan diungkapkan kembali. Karena ia seorang Sufi-Filosof yang mendekatkan jiwa dan logika. Tidak sekedar satu di antaranya.
Al-Farabi juga berpandangan bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif. Perlu kita ketahui, dikalangan filosof Islam akal aktif tersebut ditafsirkan sebagai malaikat Jibril as atau ruhul qudus dalam agama Islam.
Pandangan-pandangan tersebut menjelaskan tentang wilayah dan batasan akal terhadap wahyu, dimana akal menentukan dan mendefenisikan hal-hal universal yang berhubungan dengan pandangan dunia agama, dan adapun hal-hal yang bersifat terperinci dan pengamalannya ditentukan oleh agama itu sendiri. Tujuan agama dan kemestian manusia untuk beragama serta penentuan agama yang benar dibebankan pada kemampuan akal. Akal tidak memahami masalah-masalah seperti dari mana manusia datang, tujuan hakiki kehadiran dia, cara dia berterima kasih kepada Pencipta, kemana manusia setelah meninggal, dan bagaimana bertemu Tuhannya, tetapi akal manusia memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh agama (dalam pengertian khusus) dan bukan tanggung jawab serta diluar kemampuan akal pikiran manusia.
Oleh karena itu, secara umum manusia menyaksikan bahwa masalah-masalah tersebut merupakan batasan dan wilayah agama, dan hanya agama yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Secara rinci, akal tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, untuk memperoleh jawaban secara mendetail dan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada cara lain selain merujuk kepada agama dan syariat suci Tuhan.

khawarij dan mu'tazilah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Khawarij dan Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan khawarij dengan kekerasandan mengidentikan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji masalah ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Khawarij dan Mu’tazilah dalam makalah ini, yang pada intinya penulis ingin sedikit berbagi informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana kaumKhawarij dan Mu’tazilah itu?.

Berangkat dari latar belakang masalah diatas maka penulis akan merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij ?
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini agar memperoleh data tentang
1. Apa dan bagaimana teologi Khawarij
2. Apa dan bagaimana teologi Mu’tazilah



















BAB II
PEMBAHASAN

A. KHAWARIJ
1. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Sebutan lain diberikan kepada mereka adalah haruriyah. Asal katanya harura, yaitu suatu desa yang terletak dekat di kuffah(irak). Ditempat tersebut mereka berkumpul setelah memisahkan diri degan Aliberanggotakan 12ribu orang dan memilih Abdullah bin Wahhab Ar-Rasyidi menjadi imam pengganti Ali bin Abi Thalib. NASUTION
2. Sejarah kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)

Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
3. teologi Khawarij

B. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
1. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
2. Teologi Mu’tazilah
1. konsep Tauhid

Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian) . Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih.
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut:
“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering (yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan dalam (’umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam (yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’). Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi. Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak). Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun). Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (’ahat), tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan (mustahil dipikir dan diterka), Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu, Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera). Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim (Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah) selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab ‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’), mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak memiliki sedikitpun sifat lemah (’ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri dan beranak. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a) Tidak mengakui sifat-sifat Allah
b) Mengatakan al-Qur’an makhluk.
c) Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
d) Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
e) Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
2. Al-’Adl (Keadilan)
Secara etimologi, “al-’adl”merupakan bentuk mashdar dari ‘adala – ya’dilu yang berarti berbuat adil, bisa digunakan dengan makna perbuatan (baca: berbuat adil), bisa juga digunakan dengan makna pelaku (baca: orang yang adil).
Sedangkan dari sisi terminologi, jika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah SWT adil (innahu Ta’ala ‘adl) maka maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan-Nya baik (hasan), Dia tidak melakukan suatu yang buruk (qabih), dan Dia tidak pernah melalaikan kewajiban-Nya .
Konsep keadilan Tuhan versi Mu’tazilah masih berkaitan erat dengan konsep Tanzih mereka, yaitu bahwa sangat tidak sesuai sekali dengan konsep Tanzih jika Allah SWT menghukum manusia atas dosa yang tidak pernah diinginkannya, karena yang seperti adalah zalim, dan zalim merupakan sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Tuhan), dimana Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Konsep keadilan Tuhan ini juga berlandaskan pada konsep mereka tentang prinsip kebebasan (hurriyah), usaha (ikhtiyar), dan pengingkaran mereka terhadap prinsip paksaan (jabr), dengan arti kata semua ini berlandarkan pada konsep teologis tentang Qadar.
Abu Zahrah mengutip al-Mas’udi yang menjelaskan tentang konsep keadilan ini menurut versi Mu’tazilah :
“Keadilan Tuhan maksudnya adalah bahwa Allah SWT tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia (af’al al-’ibad), melainkan mereka bebas memilih untuk melaksanakan perintah-Nya atau melanggarnya dengan qudrah (kemampuan/potensi) yang telah diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT hanya memerintahkan sesuatu yang Dia ingini (sukai), dan hanya melarang sesuatu yang Dia benci. Dia menguasai atas setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya (wala kulla hasanah amara biha), dan Dia terbebas dari semua keburukan yang dilarang-Nya (bari’ min sayyi’ah naha ‘anha) . Dia tidak membebani mereka (manusia) dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, dan tidak menginginkan bagi mereka sesuatu yang tidak sanggup mereka lakukan. Dan siapapun tidak akan mampu menahan dan melepas (melakukan) sesuatu kecuali dengan kemampuan (qudrah) yang diberikan Allah padanya, Dia pemilik qudrah tersebut, bukan mereka, Dia bisa menghilangkannya jika Dia berkehendak. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memaksa seluruh makhluk untuk taat pada-Nya, dan memaksa mereka untuk tidak berbuat maksiat pada-Nya, akan tetapi Dia tidak melakukan hal itu, karena itu akan menghilangkan makna mihnah (ujian) dan balwa (musibah).”
Dari penjelasan tersebut tidak dikatakan bahwa Mu’tazilah lebih mendahulukan wahyu dari akal, yang ada justru akal “bisa/mampu” mengetahui baik dan buruk meskipun wahyu tidak diturunkan, dan ini khusus bagi perbuatan-perbuatan non-Ibadah, sedangkan perbuatan ibadah harus melalui pendengaran (perantaraan rasul dan wahyu). Dan kata “bisa” atau “mampu” bukan berarti Mu’tazilah mengingkari keterbatasan akal dan meninggalkan wahyu. Dr. Yahya Jaya membantah hal itu dalam bukunya Teologi Agama Islam Klasik dengan menyatakan bahwa sifat kerasionalan Mu’tazilah tetap terikat kepada al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (nash qath’i), dan jika tidak ada al-Qur’an atau Hadits yang mengikat (qath’i), baru mereka bebas brfikir dalam masalah agama. Dengan kata lain mereka juga memerlukan wahyu, karena akal manusia terbatas untuk mengetahui mana yang sebenarnya baik dan buruk serta bagaimana caranya beribadat kepada Allah. Antara akal dan wahyu terdapat penyesuaian dan apa yang dibawa wahyu pasti benar sesuai pemikiran rasional. Fungsi wahyu adalah untuk memperkuat yang telah diketahui akal.
Sejalan dengan itu maka yang terjadi sebenarnya adalah Mu’tazilah bukannya mendahulukan akal dari wahyu melainkan memberikan porsi yang lebih banyak kepada akal dalam memahami teks-teks wahyu dan masalah-masalah agama.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi. Sehingga tidak ada pengampunan bagi seorang pelaku dosa besar kecuali taubat, sebagaimana tidak ada halangan bagi siapapun yang melakukan kebaikan untuk mendapatkan ganjaran baik.
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Seperti yang telah terdahulu, asas ini merupakan ide Washil bin ‘Atha’ ketika menanggapi masalah pelaku dosa besar, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak juga kafir melainkan fasik. Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh Abu Zahrah melalui kutipan dari al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya). Dan Mu’tazilah memandang orang fasik pelaku dosa besar semasa hidupnya tetap bisa disebut Muslim, tanpa bermaksud untuk memuliakan dan memujinya, karena mereka masih dianggap Ahlul Qiblah, dan masih bberpeluang bertaubat, paling kurang untuk membedakannya dengan orang Dzimmi.








BAB III
KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.

Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.


DAFTAR PUSTAKA

 Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
 Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
 http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0
 Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-Ashri ‘Arabi-Indunisi (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt.
 Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
 Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
 Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
 Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
 Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
 Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
 Jaya, Yahya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang: Angkasa Raya, 2000.
 Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
 Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
 Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993.
 Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.

pendidikan islam klasik

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada beberapa terminologi yang tampaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu, sebelum menguraikan makalah ini lebih lanjut. Menguraikan term-term itu dianggap perlu karena diasumsikan akan memberikan kesamaan pandangan dalam menginterpretasi dan mengeksplanasi makalah ini. Pertama, sistem pendidikan.Kedua, metode pendidikan Islam. Ketiga, kurikulum. Keempat, masa klasik.
Terminologi masa klasik ini memberi membuka peluang untuk diperdebatkan : sejak dan hingga kapan(?). Apakah dalam kacamata dunia muslim atau penulis barat. Sebab, para penulis Barat mengidentikkan abad ke-7 hingga abad ke-12/13 M. sebagai zaman kegelapan (dark age); sementara para penulis musllim mengidentikkannya dengan masa keemasan (al-‘ashr al-dzahabi). Untuk memperoleh kejelasan batasan waktu, penulis membatasi masa klasik dalam kacamata penulis muslim, seperti batasan yang dilakukan Harun Nasution. Ia mengklasifikasi sejarah Islam pada tiga masa: [a] periode klasik dimulai tahun 650 hingga 1250 M., sejak Islam lahir hingga kehancuran Baghdad [b] periode pertengahan sejak tahun 1250 hingga 1800 M., sejak Bghdad hancur hingga munculnya ide-ide pembaharuan di Mesir dan [c] periode modern, mulai tahun 1800 M. hingga sekarang. Dengan demikian, masa klasik dalam pembahasan makalah in dibatasi sejak masa Rasulullah hingga Baghdad dihancurkan oleh Hulago Khan, tepatnya tanggal 10 Pebruari 1258 M. Untuk memudahkan dalam uraian, makalah ini akan menjadi beberapa periode, yaitu periode Rasulullah, Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Umayyah, dan Dinasti ‘Abbasiyah.
B. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang masalah diatas maka pemakalaha akan mencoba merumuskan rumusan makalahnya yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana pendidikan Islam Masa Rasulullah ?
2. Bagaimana pendidikan Islam Masa Khulafa al-Rasyidin ?
3. Bagaimana pendidikan Islam Masa Dinasti Umayyah ?
4. Bagaimana pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah ?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Pendidikan Islam Masa Rasulullah
2. Pendidikan Islam Masa Khulafa al-Rasyidin
3. Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayyah
4. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah
BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH

A. Pendidikan Islam Masa Rasulullah [611-632 M./12 SH.-11 H.]
Pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak Nabi diutus sebagai rasul hingga hijrah ke Madinah—kurang lebih sejak tahun 611-622 M. atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari–, sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi. Nabi melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, disamping dengan berpidato dan ceramah ditempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat al-Qur’an sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya (baca: sunnah dan hadist).
Sebelum kelahiran Islam, masa jahiliyah, “institusi” pendidikan kuttab telah berdiri. Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan menulis kepada masyarakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada masyarakat Himyariyin. Adapun orang yang pertama kali belajar membaca dan menulis diantara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibn Umayah dan Abu Qais ibn ‘Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn ‘Abd al-Malik. Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis. Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami ketika Nabi menyiarkan ajaran Islam (kurang lebih tahun 610-an M.), di masyarakat Quraisy, baru ada 17 laki-laki yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.
Secara umum, materi al-Quran dan petuah-petuah Rasul itu menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada Allah, para rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal ibadah, yaitu shalat. Zakat sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada masa itu lebih difahami dengan sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia bertingkah laku dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun materi-materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya.
Pada periode di Madinah, tahun 622-632 M. atau tahun 1-11 H., usaha pendidikan Nabi yang pertama adalah membangun ‘institusi’ masjid. Melalui pendidikan masjid ini, Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia memperkuat persatuan di antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa permusuhan, terutama antar penduduk Anshar dan penduduk Muhajirin. Pada periode ini, ayat-ayat al-Quran yang diterima sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi al-Quran.
Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada penguatan basis mental yang telah dilakukan pada periode Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna wudlu, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pendidikan oleh rasul tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana, perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.
Metode yang dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab dengan perasaan yang halus dan didukung bukti-bukti rasional dan ilmiah. Batasan rasional dan ilmiah di sini dipahami menurut kemampuan pikiran orang yang diajak dialog. Metode pendidikan yang dipakai pada materi ibadah biasanya menggunakan metode peneladanan, yakni Nabi memberikan contoh dan petunjuk serta amalan yang jelas sehingga masyarakat mudah untuk menirunya. Sedangkan pada bidang akhlak, Nabi membacakan ayat-ayat al-Quran yang berisi kisah-kisah umat terdahulu yang kemudian dijabarkan makna dari kisah-kisah itu. Sungguhpun demikian, pada materi akhlak ini, Nabi lebih menitikberatkan pada metode peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan dan keagungan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tindakannya.

B. Pendidikan Islam Masa Khulafa al-Rasyidin [632-661 M./12-41 H.]
Sistem pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga, pada masa Abu Bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Quran merupakan fardlu kifayah.
Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.
Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran dilakukan secara seorang demi seorang–mungkin dalam tradisi pesantren, metode itu biasa disebut sorogan, sedangkan pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama.
Pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak hanya di Madinah, tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti kota Makkah dan Madinah [Hijaz], kota Bashrah dan Kufah [Irak], kota Damsyik dan Palestina [Syam], dan kota Fistat [Mesir]. Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan Islam berkembang secara cepat.
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah al-Rasyidin sebelum masa Umar ibn Khattab (w. 32 H. /644 M.), unruk kuttab, adalah [a] belajar membaca dan menulis, [b] membaca al-Qur’an dan menghafalnya, [c] belajar pokok–pokok agama Islam, seperti cara wudhu’, shalat, puasa, dan sebagainya. Ketika Umar ibn Khattab diangkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan [a] berenang, [b] mengendarai onta, [c] memanah, [d] membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa. Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari [a] al-Qur’an dan tafsirnya, [b] hadits dan mengumpulkannya, [c] dan fiqh (tasyri). Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini di mungkinkan mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam pengembangan wawasan keislaman yang lebih di fokuskan pada pemahaman al-Quran dan Hadits secara literal.

C. Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayyah [41-132 H. / 661-750 M.]
Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan pada perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir-hampir tak ditemukan. Jadi, sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah.
Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam masa ini, yakni dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah bani Umayyah–yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang berbuat dosa besar–,wacana kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigma berfikir secara mandiri.
Oleh karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan maka didunia pendidikan, terutama didunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-masing. Sastra Arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah), dan seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki oleh kalangan sastrawan dan ulama-ulama terkemuka. Menurut Muhammad ‘Athiyah al-abrasyi,
“Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan;seseorang yang masuk dimana khalifah hadir, mestilah berpakaian necis, bersih dan rapi, duduk ditempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak dan tidak meludah dan tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanyai. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus belajar menjadi pendengar yang baik, sebagaiman ia harus belajar bertukar kata dengan sopan dan memberi kesempatan kepada si pembicara menjelaskan pembicaraannya, serta menghindari penggunaan kata-kata yang kasar dan gelak-tertawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini, disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan”.
Pada zaman ini, juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan seni bangunan. Pada umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid, cucu dari Muawiyah.
Selain beberapa materi di atas, pada masa ini juga tampaknya masih melanggengkan ilmu-ilmu yang diletakkan pada masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir. Ilmu ini semakin menjadi niscaya dan memiliki makna yang strategis. Di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyak orang yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa al-Quran dan pemaknaan al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran al-Quran juga disebabkan oleh karena faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah Israiliyat dan Nasraniyat.
Bersamaan dengan itu, kemajuan yang diraih dalam dunia pendidikan pada saat itu adalah dikembangkannya ilmu nahwu yang digunakan untuk memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan bahasa. Sungguhpun terjadi perbedaan mengenai penyusun ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmu ini menjadi ciri kemajuan tersendiri pada masa ini.
Selain disiplin ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits pada masa ini juga mendapat perhatian secara serius. Periwayatan hadits sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101 H./717-720 M., pernah mengirim surat pada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits-hadits. Akan tetapi, hingga dengan masa akhir kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah Umar ibn al-Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.
Di bidang hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu aliran ahli al-ra’y dan aliran ahl al-hadits. Kelompok aliran pertama mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi (baca: qiyas) bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya. Aliran ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78 H./697 M.), Alqamah ibn Qais (w. 62 H./681 M.), Masruq al-Ajda’ (w. 63 H./682 M.), al-Aswad ibn Yazid (w. 95 H./913 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrahim al-Nakhai (w. 95 H./913 M.), dan Amr ibn Syurahbil al-Sya’by (w. 104 H./722 M.). Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman (w. 120 H./737 M.), yang kemudian menjadi guru Abu Hanifah.
Aliran kedua, ahl al-hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Quran atau hadits yang menerangkannya. Di antara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H./741 M.), dan Nafi’ Maula Abdullah ibn Umar (w. 117 H./735 M.) yang keduanya merupakan guru imam Malik ibn Anas (w. 117 H./735 M.).
Pada masa ini dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid-mujtahid fiqh. Ketika akhir masa Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni Imam Abu Hanifah di Irak (lahir 80 H./699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah (lahir 96 H./714 M.), sedangkan Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasiyah.
Di antara jasa dinasti Umayah dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung, adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu dalam tahap perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan beberapa macam ilmu, di antaranya syair, sastra, kisah-kisah bangsa dulu, dan teologi dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian, periode antara permulaan abad kedua hijriah sampai akhir abad ketiga hijriah merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang.
D. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah [132-656 H./750-1258 M.]
Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum, bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan seutuhnya, terutama, ketika dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan madrasah al-mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara melakukan kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah itu, bahkan juga melakukan investigasi metode pengajarannya. Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan negara (state) menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan di kalangan masyarakat luas.
Sekedar untuk menetralisasi perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih ditujukan pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab. Sebab, sistem pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan madzhab fiqh, teologi, atau kepentingan politis. Bahkan, dalam tradisi pendidikan klasik, madrasah itu dibangun atas dasar wakaf seseorang yang dalam kebiasaannya memang menargetkan tujuannya masing-masing.
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha, dalam tesisnya menyebutkan tujuh ‘lembaga’ pendidikan yang telah berdiri pada masa Abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 Hijriyah. Ketujuh lembaga itu adalah [a] lembaga pendidikan dasar [al-kuttab], [b] lembaga pendidikan masjid [al-masjid], [c] kedai pedagang kitab [?], [al-hawanit al-waraqin], [d] tempat tinggal para sarjana [manazil al-‘ulama], [e] sanggar seni dan sastra [al-shalunat al-adabiyah], [f] perpustakaan [dawr al-kutub wa dawr al-‘ilm], dan [g] lembaga pendidikan sekolah [al-madrasah]. Semua ‘institusi’ itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar, serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan, seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-‘ulum di Kairo.
Pada tingkat pertama, yakni tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang diajarkannya meliputi [a] membaca al-quran dan menghafalnya, [b] pokok-pokok agama Islam, seperti wudlu, shalat, dan puasa, [c] menulis, [d] kisah orang-orang yang besar, [e] membaca dan menghafal syair-syair, [f] berhitung, dan [g] pokok-pokok nahwu dan shorof alakadarnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah terkadang berbeda. seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan al-Quran dan rasm (tulisan)nya. Di Andalusia, diajarkan al-Quran dan menulis serta syair, pokok-pokok nahw dan sharf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan al-Quran, hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan al-Quran.
Waktu belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari Sabtu sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jum’at, hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai setelah Zhuhur hingga akhir siang [Ashar]. Pada tingkat rendah ini, tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai.
Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan. Artinya, guru mengulang-gulang bacaan al-Quran didepan murid dan murid mengikutinya yang kemudian diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan, hafalan ini tidak terbatas pada materi-materi al-Quran atau hadits, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain. Tak terkecuali untuk pelajaran syair, guru mengungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid mampu menghafalkannya dengan cepat.
Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut. [a] al-Quran, [b] bahasa Arab dan kesusasteraan, [c] fiqh, [d] tafsir, [e] hadits, [f] nahw / sharf / balaghah, [g] ilmu-ilmu eksakta, [h] mantiq, [i] falak, [j] tarikh, [k] ilmu-ilmu kealaman, [l] kedokteran, [m] musik. Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang pendidikan menengah dibeberapa daerah juga berbeda.
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang keagamaan [al-manhaj al-diniy al-adabiy] yang diterapkan pada materi-materi berikut: [a] Fiqh [‘ilm al-fiqh], [b] tata bahasa [‘ilm al-Nahw], [c] teologi [‘ilm al-kalam], [d], menulis [al-kitabah], [e] Lagu [‘arudh], [f] sejarah [‘ilm al-akhbar terutama tarikh]. Kedua metode pengajaran bidang intelektual [alm manhaj al’ilmiy al-adabiy] yang meliputi olahraga [al-riyadhah], ilmu-ilmu eksakta [al-thabi’iyah], filsafat [al-falasafah], kedokteran [thibb], dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain
Jenjang pendidikan tingkat tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: [a] Tafsir al-Quran, [b] Hadits, [c] Fiqh dan Ushul al-Fiqh, [d] Nahw / Sharf, [e] Balaghah, [f] bahasa dan satra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah [filsafat]. Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut: [a] manthiq, [b] ilmu-ilmu alam dan kimia, [c] musik, [d] ilmu-ilmu eksakta, [e] ilmu ukur, [f] falak, [g] ilmu-ilmu teologi, [h] ilmu hewan, [i] ilmu-ilmu nabati, dan [j] ilmu kedokteran. Semua mata pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasarkan bakat dan kecenderungan masing-masing sesudah praktek mengajar beberapa tahun. Hal ini dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya Thabaqat athibba, bahwa setelah Ibn Sina menamatkan pendidikan tingkat menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisika) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina mendapat kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al- Amir, seperti buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia selesai studi disana dalam usia 18 tahun. Hal ini seperti berlaku juga kepada orang lain.
Metode yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah. Guru duduk diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan materi kepada semua mahasiswa yang hadir. Jumlah mahasiswa yang mengikuti tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru itu ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual maka para mahasiswanya banyak. Akan tetapi, jika sebaliknya niscaya sepi dari para mahasiswa, bahkan mungkin jadi halaqah-nya ditutup.
Menurut Charles Michael Stanton, sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyususn ta’liqah. Ta’liqah ini memuat silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta’liqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Akan tetapi, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan ta’liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ta’liqah nya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya.
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang tingkat tinggi ini meliputi metode-metode sebagai berikut. Pertama, metode ceramah [al-muhadlarah]. Dalam metode ini, guru menyampaikan materi kepada semua mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya. Pada metode ini, terbagi menjadi dua cara, metode dikte [al-imla] dan metode pengajuan kepada guru [al-qiraat ‘ala al syaikh aw al-‘ardl]. Kedua, metode diskusi [al-munadzarah]. Metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mu’tazilah menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode koresponden jarak jauh [al-ta’lim bi al-murasilah]. Metode ini merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah. Metode in dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara berkelompok dengan cara mendatangi guru dirumahnya—yang biasanya jarak jauh—untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yang didatangi biasanya adalah guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.
Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus ujian dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah. Ijazah terkadang dalam bentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah ini tidak diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Uraian diatas sesungguhnya telah memperlihatkan bahwa pendidikan Islam pada masa klasik memiliki karakteristik masing-masing. Karakteristik itu agaknya dipengaruhi oleh tujuan pendidikan pada masanya. Pada masa Nabi hingga Bani Umayyah, misalnya, terlihat adanya tujuan pendidikan untuk kepentingan keagamaan, sehingga materi pendidikannya pun adalah berkisar pada masalah-masalah keagamaan an sich. Sedangkan pada masa Abbasiyah yang wilayah kekuasaan Islam semakin jauh dan problematika serta perkembangan peradabannya yang cukup tinggi, tujuan pendidikannya tidak hanya sekedar untuk kepentingan keagamaan semata, tetapi juga tampaknya memiliki kepentingan lain, seperti kepentingan ekonomi dan kepentingan kelompoknya.
Pergeseran dibidang metode disebabkan oleh karena bermacam-macamnya disiplin ilmu pengetahuan yagn menuntut metodologi pengajaran yang lebih efektif. Tentu saja, materi-materi keagamaan akan menggunakan metode yang berbeda dengan materi-materi eksakta. Pada masa awal, karena materi yang dikenal relatif sedikit maka metodenya pun lebih terbatas jika dibandingkan dengan pendidikan pada masa Abbasiyah.
Secara umum, sistem pengelolaan pendidikan pada masa klasik tampaknya lebih ditentukan oleh kekuatan ulama [orang yang memiliki komitmen intelektual] daripada kekuatan negara [orang yang memiliki kekuasaan]. Baik pada masa Nabi maupun hingga pada masa Abbasiyah, para tokoh agama memiliki otoritas untuk menentukan sistem pendidikannya. Hal ini berlainan ketika sistem pendidikan yang digunakan adalah sistem madrasah. Pada madrasah, biasanya yang mempunyai otoritas kekuasaan dalam pengelolaan pendidikan adalah penguasa atau orang yang memberikan harta wakafnya. Wa Allah A’lam bi al-Shawab.














DAFTAR PUSTAKA


 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1998
 Burhan Nurgiantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPFE, 1988
 Harun Nasution pada Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985
 M. ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, tth).
 Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latief, sedjarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
 Alwiyah Abdurrahman, Fajar Intelektulisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, Bandung Mizan, 1996
 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992
 Munir Mursiy, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-‘Arabiyah, Kairo:’Alam al-Kutub, 1977
 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994
 Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha, Beirut: Dar al-Fikr, tth
 Munawwar Chalil, Empat Biografi Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1989
 Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Logos, 1994
 Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijriy, ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tth.

ALIRAN AL-ASY’ARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH

BAB I
ALIRAN AL-ASY’ARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH

A. SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN AL-ASY’ARIYAH
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat pada tahun 935 Masehi. (harun nasution)Beliau masih keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan Mu’awiyah.
Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-mu’tazilahannya, ia gencar menyebar luaskan paham mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya.
Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.(harun nasution, teologi islam).
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya.
Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah.
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Disini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran ? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah.
B. TOKOH-TOKOH DAN AJARAN-AJARANNYA
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.


2. Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi. . Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
C. SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN AL-MATURIDIYAH
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem teologinya.
Pendiri dari aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi yang lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal pada tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-pahamnya mempunyai banyak persamaan dengan paham-paham yang diajarkan oleh Abu Hanifah. Aliran teologi ini dikenal dengan nama Al-Maturidiyah, yang sesuai dengan nama pendirinya yaitu Al-Maturidi.
D. TOKOH-TOKOH DAN AJARAN-AJARANNYA
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.
Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.


















BAB II
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AL-ASY’ARIYAH DAN AL-MATURIDIYAH

A. PERSAMAANNYA
1. Kedua aliran ini lahir akibat reaksi terhadap paham aliran Mu’tazilah.
2. Mengenai sifat-sifat Tuhan, kedua aliran ini menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
3. Keduanya menentang ajaran Mu’tazilah mengenai al-Salah wal Aslah dan beranggapan bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
4. Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berkeyakinan bahwa manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya. Hal ini mengingat nash al-Qur’an pada surat al-Qiyamah : 23 :
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari kiamat akan berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.”
5. Persamaan dari kedua aliran ini adalah karena keduanya sering menggunakan istilah ahlu sunnah wal jama’ah. Dan dikalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf ahlu sunnah wal jama’ah adalah apa yang dikatakan oleh Al-Asy’ari an Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ahlu sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah dan salaf. Az-Zubaidi mengatakan : “Jika dikatakan ahlu sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.”(Ittihafus Sadatil Muttaqin 2 : 6)
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid ahlu sunnah wal jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.”(Ar-Raudhatul Bahiyyah oleh Abi Hudibah hal.3)
B. PERBEDAANNYA
1. Tentang perbuatan manusia. Al-Asy’ari menganut paham Jabariyah sedangkan Al-Maturidi menganut paham Jabariyah.
2. Tentang fungsi akal. Akal bagi aliran Asy’ariyah tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia sedangkan menurut pendapat Maturidiyah akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan.
3. Tentang Janji dan ancaman Tuhan. Al-Asy’ari berkeyakinan bahwa Allah bisa saja menyiksa orang yang taat, memberi pahala kepada orang yang durhaka, sedangkan Al-Maturidi beranggapan lain, bahwa orang yang taat akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang durhaka akan mendapat siksa, karena Allah tidak akan salah karena Ia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
REFERENSI

Abuy Sodikin & Barduzaman Metodologi Studi Islam, Tunas Nusantara, Bandung, 2000
Ahmad Hanafi Ilmu Kalam
Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok Metodologi Studi Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999
Hamzah Ya’kub Filsafat Ketuhanan, Al-Ma’arif, Bandung, 1984
Harun Nasution Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987.
Harun Nasution Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1986
Hasybi Ash-shiddieqy Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam
Imam Muhammad Abu Zahroh Aliran Politik dan Aqidah Islam
W. Montgomery Watt Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam
spotindo.com/search/paham+kalam+asy+ariyah

FEMINISME

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ibu R.A. Kartini dikenal sebagai pahlawan kaum perempuan dalam menuntut hak-haknya mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Dari situlah dengan apa yang kita kenal dengan Emansipasi Wanita. Pemikiran tentang kaum perempuan terus berkembang seiring berkembangnya pula isu-isu gender yang banyak dikenal dengan kesetaraan gender merebak di dunia.
Isu atau gagasan tersebut dibawa oleh kaum feminis dengan pahamnya feminisme untuk menuntut kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki. Namun, sejalan dengan merebak serta mengakarnya isu gender ini di Negara-negara berkembang terutama, timbul kontroversi terhadapa gagasan-gagasan yang dibawa. Tak ayal, paham yang mengusung perempuan sebagai kunci kemajuan pun menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih pelik.
Kepemimpinan di bawah tangan wanita adalah hasil penanaman ide-ide gender atau feminisme. Dan ternyata, pemerintahan yang dipegang oleh kaum wanita mengalami banyak konflik. Permasalahan social lainnya pun timbul, seperti perubahan struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena un-wed dan free sex, masalah wanita karir, dll.
Gawatnya, paham ini telah masuk dan menginfus dunia islam atau Negara-negara yang notabene penduduknya mayoritas beragama Islam. Perkembangan paham-paham feminis ini tentunya menuai banyak kecaman dari kalangan muslim, tidak sedikit juga pemikiran yang berasal dari paham liberal, berimbas pada kebebasan kaum muslim diantaranya dalam berpikir. Maka dari itu, perlu peninjauan tentang masalah ini terlebih ini sudah menyangkut persoalan akidah.
Dalam islam, segala persoalan dan aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan dan berbagai bidang telah diatur dalam Al-Qur’an. Lalu, bagaimana pandangan islam tentang paham feminis beserta isu-isu atau gagasan yang diusung? Bagaimana islam memandang persoalan yang sensitif (bagi feminis), mengenai pernyetaraan laki-laki dan perempuan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah feminisme
Munculnya feminisme tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah perjuangan kaum perempuan barat menuntut kebebasannya. Karena perempuan tidak memiliki tempat di tengah masyarakat, mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu pun, dan tidak boleh mengurus apapun. Sejarah barat ini dianggap tidak memihak kaum perempuan. Dalam masyarakat feodalis (di Eropa hingga abad ke-18), dominasi mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas; wanita diposisikan sebagai sesuatu yang rendah, yaitu sebagai sumber godaan dan kejahatan.
Kemudian muncullah renaissance (pemberontakan dominasi gereja), yang diikuti dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang merupakan puncak pemberontakan dominasi kaum feodal yang cenderung korup dan menindas rakyat. Inilah awal proses liberalisasi dan demokratisasi kehidupan Barat, yang juga merupakan perubahan system feodal menjadi kapitalis secular. Kaum kapitalis mendorong kaum perempuan untuk bekerja di luar rumah.
Kaum perempuan berurusan dengan pabrik-pabrik, industri dan kaum laki-laki yang dianggap bertentangan dengan kepentingannya. Akhirnya, terjadi persaingan dalam memperebutkan posisi kaum laki-laki untuk memperoleh kebebasan mutlak agar terlepas dari segala macam ikatan dan nilai-nilai tradisi. Disinilah, kaum perempuan mulai menuntut persamaan secara mutlak dengan kaum laki-laki dalam hal hubungan seksual sebelum menikah.
Masalah-masalah tentang pembebasan serta penyetaraan hak-hak kaum perempuan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Wacana-wacana tentang segala hal menyangkut perempuan atau wanita, permasalahan-permasalahannya, penggalian potensi-potensi perempuan dalam menyelesaikan pelik sosial dan kemsyarakatan. kemudian dibahas dalam konferensi-konferensi tingkat dunia.
Dari data yang didapat, pada tahun 1985 diadakan Konferensi dunia tentang wanita di Nairobi, Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (Internasional Conference Population and Development –ICPD) pada September 1994 di Kairo menghasilkan program aksi bertema, “Empowerment of Women” atau “Pemberdayaan Perempuan” yang menggagas bahwa perempuan harus mendapatkan peluang lebih besar di berbagai bidang karena perempuan berpotensial dalam memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas keluarga, dan mengendalikan jumlah penduduk.
Hasil-hasil konferensi-konferensi tersebut lalu disempurnakan pada Konferensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) di Beijing, Cina September 1995. Pada konferensi ini PBB mencanangkan program aksi meluas yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dalam peran sertanya di berbagai bidang. Pemerintahan Negara-negara di dunia mulai mengadopsi nilai kesetaraan jender dalam kebijakan-kebijakan di negaranya.
Tahun 1997, isu “Wanita dalam Kekuasaan dan Penentu Kebijakan” menjadi tema prioritas. PBB dan lembaga internasional dibantu oleh LSM atau Non Govermental Organization (NGO) setempat, memberi tekanan-tekanan politik kepada pemerintah Negara-negara di dunia untuk secara bertahap menajalankan Kerangka Tindakan (Platform for Action) “Beijing Message” sebagai langkah-langkah sistematis melakukan perubahan social menuju masyarakat berkesetaraan jender.
Indonesia merupakan Negara berkembangan yang sedang dibombardir dengan pemikiran-pemikiran barat yang salah satunya dibawa oleh LSM-LSM. Lembaga-lembaga feminis seperti Kalyanamitra, Rifka Annisa, Yasanti dan LSPPA (Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak) gencar melakukan sosialisasi isu gender di wilayah Indonesia.
Di Indonesia, kini isu gender sudah bukan lagi menjadi wacana tetapi sudah terformalisasikan dalam bentuk kebijakan publik. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Inpres no.9 tahun 2001 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender.
Perkembangan paham-paham feminis melalui isu-isu gender mulai menjalar kepada masalah-masalah ibadah yang menuai banyak kecaman dari kalangan muslim. Feminisme yang merupakan buah pemikiran kaum liberal juga mengalami perkembangan pesat melalui pengajuan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang diketuai oleh Siti Musdah Mulia. CLD-KHI memuat pasal-pasal antara lain, sebagai berikut: perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, pencatatan nikah merupakan rukun nikah, boleh beda nikah agama, boleh kawin kontrak, dan ijab Kabul bukan rukun islam.

B. Gagasan feministik seputar gender
Pemikiran-pemikiran ala liberal yang dibawa lewat paham feminis ini memberikan efek yang sangat besar. Gagasan-gagasan yang diusung kaum feminis ini diyakini dapat menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan yang nyatanya sampai saat ini juga belum ada berubah yang signifikan. Apa saja gagasan-gagasan tersebut? Berikut uraiannya:
1. Laki-laki dan perempuan sama.
Inilah yang para feminis maksud dengan kesetaraan gender. Dalam terminologi feminis, gender didefinisikan sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) dengan kata lain sering disebut ‘jenis kelamin sosial’. Dalam persepsi mereka, sifat paten (kodrat) laki-laki dan perempuan merupakan produk budaya yang dapat dipertukarkan dan bersifat tidapat permanent alias dapat berubah sesuai dengan perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut.
Feminis menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis, seperti contohnya mereka menidakbolehkan menerima sifat keperempuanan (lembut, keibuan, emosional) mengharuskan mereka menjalani fungsi keibuan dan kerumahtanggaan. Pada intinya mereka tidak menerima bahwa manusia lahir dengan kodrat maskulinitas dan feminitas.
2. Ketidaksetaraan gender merugikan perempuan.
Dalam perspektif mereka ketidaksetaraan inilah yang menjadi penyebab munculnya berbagai ketidakadilan dalam berbagsi bidang terhadap perempuan. Seperti, pelabelan negatif, maraknya tindak kasus kekerasan, dll.
3. Liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan.
Pembebasan perempuan diyakini sebagai pintu gerbang untuk mencapai kemajuan oleh kaum feminis karena ini berarti kesempatan bagi mereka untuk mengejar keinginannya tanpa batasan cultural dan struktural yang dapt menghambat.
4. Menolak institusi keluarga dan system patriarchal yang merupakan symbol dominasi kaum laki-laki atas perempuan.
Ini merupakan buah pemikiran kaum feminis radikal yang berupaya untuk mengubah struktur pembagian tugas kehidupan sebagaimana kebebasannya dalam menentukan. Dengan kata lain, halal hukumnya menolak kodrat manusiawi mereka. Contohnya, laki-laki dan perempuan dapat bertukar peran, apakah itu sebagai ayah atau ibu atau keduanya tanpa ada batasan.

C. Dampak-dampak yang timbul dari mengakarnya feminisme
Liberalisasi perempuan diakui telah membawa banyak perubahan. Kaum perempuan memiliki kebebasan unutk mengekspresikan diri, bekerja, mengenyam pendidikan yang layak dan setinggi-tingginya, bahkan menduduki kursi pemerintahan atau berkecimpung di dunia yang didominasi kaum adam. Di Amerika Serikat, tercatat jumlah prosentase perempuan yang bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75% pada tahun 2000, begitu pula di Indonesia. Sebagai bukti, munculnya pemimpin-pemimpin wanita, seperti: Begun Khaleda Zia dan Syekh Hasina (pemimpin Bangladesh), Megawati Soekarno Putri (Wakil Presiden lalu Presiden Indonesia V), Macapagal Aroyo (Presiden Philipina) dll. Pada kenyataannya, Negara-negara tersebut sarat dengan berbagai konflik yang tidak pernah terselesaikan dengan baik.
Kebebasan perempuan dalam berekspresi, bertindak, bekerja atau berkarir, nyatanya tidak menjadi solusi yang baik dalam menyelesaikan masalah-masalah feminitas atau yang menyangkut dengan perempuan. Banyak dampak bagi buruk bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat rancunya hubungan dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dampak tersebut antaralain, Runtuhnya struktur keluarga, menigkatnya angka perceraian, fenomena un-wed dan no-mar, merebaknya free sex, dilemma wanita karir, eksploitasi perempuan, pelecahan seksual, anak-anak broken home, dll.
Menurut data yang dikemukakan Julie Balligton, Swedia merupakan Negara yang paling banyak menempatkan perempuan di bangku parlemen yaitu 42,7%. Akan tetapi, jumlah ini berkolerasi negative terhadap kondisi keluarga. 50% bayi di Swedia lahir dari ibu yang tidak menikah (peringkat 2 dunia) menurut Kompas (4/9/1995), sedangkan menurut data yang dikumpulkan oleh Maisar Yasin, 60% pernikahan berakhir dengan perceraian (peringkat 1 dunia).
Swedia dan Negara maju seperti Amerika menerapkan “Gender And Development” (GAD) atau konsep ‘keluarga barat’ ternyata menurut statistik menunjukkan perkawinan di ujung tanduk, mayoritas anak dibesarkan oleh single parent atau orang tua tunggal.
Munculnya pengajuan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang berisikan penyalahartian dalam menafsirkan nash-nash al-qur’an adalah buktinya paham ini mengubah cara berpikir perempuan terhadap masalah-masalah duniawi terlebih menyakut hubungannya dengan Tuhan.

D. Bagaimana Islam memandang permasalahan ini
Sejarah munculnya feminisme menjelaskan asal usul paham ini berasal dan bagaimana dapat lalu merebak dan menjadi anggaran besar di Negara-negara. Dari asal usulnya telah jelas bahwa paham ini lahir dari ideologi barat yang kapitalistik, liberal dan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Artinya, pemahaman dan pemikiran seperti ini bertentangan dengan Islam yang pada dasarnya telah mengatur segala urusan dan permasalahan hidup manusia dalam al-qur’an yang memberikan kemaslahatan kepada semua umat manusia.
Sebagai dien yang sempurna, islam memiliki cara pandang yang sangat adil dan objektif terhadap persoalan keberadaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Tujuan penciptaan manusia adalah sebagai hamba Allah yang harus beribadah kepada-Nya dan tujuan penciptaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah untuk melestarikan keturunan dalam kerangka pandang penghambaan ini.
Islam memandang posisi laki-laki dan perempuan setara, sekalipun dalam kadar tertentu diperlakukan berbeda. Manusia sama dilihat dari sisi insaniahnya yaitu, memiliki akal, naluri, dan kebutuhan jasmani. Tetapi, jenisnya berbeda yang mengharuskan mereka diberi aturan yang berbeda pula. Ini bukan berarti tidak adil, karena pada dasarnya ditetapkan oleh Allah sebagai pencipta manusia, semata-mata demi kemaslahatan, kelestarian, dan kesucian hidup manusia dengan cara saling melengkapi dan bekerja sama sesuai dengan aturan-aturan-Nya. Kemualiaan manusia tidak dilihat dari jenis kelamin atau kedudukan seseorang tetapi dari kadar ketakwaannya.
Ide kesetaraan gender ialah bentuk pengingkaran terhadap realitas yang ada, sekaligus pengingkaran terhadap kemahaadilan dan kemahasempurnaan Allah Swt. Sebagai pencipta dan pengatur manusia.
Karena perbedaan jenisnya, kekhusuan yang dimiliki laki-laki dan tidak dimiliki wanita, atau dimiliki wanita tetapi tidak dimiliki laki-laki. Dalam perkara seperti ini pasti terdapat perbedaan antara laki-laki dan wanita. Kewajiban mencari nafkah (bekerja) yang hanya dibebankan kepada laki-laki dan hukumnya wajib bagi mereka, sementara bagi wanita tidak wajib (mubah), karena hal ini berkaitan dengan fungsi laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. An-Nisaa:34)
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah:233)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
(QS. At-Thalaaq:6)








Tetapi, bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja. Islam membolehkan wanita untuk memiliki harta sendiri. Bahkan wanitapun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. An-Nisaa:32)

Tetapi, sebelum melakukan yang mubah, maka prioritaskanlah dulu yang wajib menyangkut perannya sebagai perempuan, ibu ataupun istri. Wanita lebih mengutamakan tugasnya di rumah tangga, sementara laki-laki mencari nafkah di luar rumah.Dalam urusan mendidik anak, keduanya memiliki kewajiban yang sama. Firman Allah Swt:
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim:6)

Sementara itu, di sektor publik atau ditengah-tengah masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama, terutama dalam urusan dakwah dan amar makruf nahi mungkar.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al Imran: 104)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Ali Imran:110)

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”( Qs. At-Taubah:71)

Tidak menjadi masalah pada saat wanita tidak ikut memutuskan sesuatu yang menyangkut urusan dirinya, karena kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang memang terpenuhi dengan baik. Kalaupun kebutuhannya tidak dipenuhi oleh suami atau walinya,
ia akan mengingatkan pemimpinnya itu agar takut kepada Allah karena hak-haknya tidak dipenuhi. Kalau suami atau walinya tetap abai, ia bisamengadukan masalah itu kepada pengdilan, sehingga pengadilan akan memaksa suami atau walinya memenuhi haknya yang telah diamanatkan Allah kepada mereka.
Pada surat Al Imran ayat 104 disebutkan menyangkut amar makhruf nahi mungkar, dan sabda Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Hudzaifah r.a:
“Siapa saja yang bangun pagi-pagi tetapi tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, ia bukanlah golongan mereka” (HR Ath-Thabari)
Aktivitas politik bukan hanya merupakan kewajiban laki-laki saja, tetapi juga kewajiban kaum perempuan. Hanya saja ada beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh seorang Muslimah, diantaranya: 1. harus disadari bahwa terjunnya di kancah politik semata-mata unutk melaksanakan perintah Allah Swt.; 2. memperhatikan bentuk-bentuk aktivitas yang boleh dilakukan. Yaitu:
1. Hak dan kewajiban baiat. Berdasarkan sabda nabi saw., sebagaimana dituturkan Ummu Athiyyah r.a:
“Kami telah membaiat Nabi saw. Beliau kemudian memerintahkan kepada kami untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dan melarang kami untuk melakukan niyahah” (HR al-Bukhari).
2. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat (yaitu suatu badan di dalam Negara islam yang terdiri dari wakil rakyat yang bertugas memberi nasihat dan pendapat kepada kepala negara). Berdasarkan peristiwa Baiat ‘Aqabah II.
3. Kewajiban berdakwah dan amar makruf nahyi mungkar.
4. Kewajiban menasihati dan mengoreksi penguasa.
Dan yang dilarang adalah:
1. Duduk dalam posisi pemerintahan (pengambil keputusan). Didasarkan pada hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan Abu Bakrah r.a:
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan) kepada para wanita.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
2. Jika terjadi benturan kewajiban berpolitik dengan kewajiban lain, islam mengaturnya dalam fikih prioritas (al-awlawiyat)
Wanita memiliki 3 posisi yaitu sebagai: 1) hamba Allah (menuaikan aktivitas yang sama dengan laki-laki, seperti dakwah, shaum, amar maruf nahyi mungkar); 2) ibu rumah tangga (melahirkan, meyusui, taat suami); dan 3) anggota masyarakat (mengetahui permasalahan-permasalahan sosial atau kemasyarakatan. Keseluruhan hukum-hukum (aktivitas) yang dicontohkan pada masing-masing posisi di atas, didasarkan pada sumber-sumber hukum yang terpercaya yaitu Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ sahabat dan Qiyas.
Aktivitas (perbuatan) manusia secara umum akan dipengaruhi oleh pemahamannya. Pemahaman ini muncul dari proses berpikir mengenai kehidupan. Pemahaman yang kokoh dan kuat pastinya memiliki landasan hukum yang pasti dan tetap; Al Qur’an, AL Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Penanaman pemahaman yang kuat tidak akan mudah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran tentang arus kehidupan saat ini yang rapuh dan tak berdasar alias bebas.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Munculnya feminisme ini membawa pengaruh terhadap perubahan kaum perempuan atau wanita dalam menyikapi posisi, peran dan fungsinya. Isu-isu serta gagasan-gagasan penyetaraan gender, mempengaruhi kaum perempuan untuk lepas dari 3 posisi dan fungsinya sebagai perempuan, ibu, atau istri. Gagasan-gagasan ini dinilai baik dalam pembebasan hak-hak perempuan yang pada akhir mengalami pergeseran pemikiran atau bahkan melanggar kodratnya sebagai perempuan.
Gagasan feministik seputar gender adalah gagasan yang absurd karena perjuangan-perjuangan kaum feminis ini hanya mengukuhkan ketidakmungkinan menyelesaikan persoalan yang dihadapi kaum perempuan secara tuntas. Ide kesetaraan gender, kebebasan, dan individualisme justru menjadi racun yang kemudian memunculkan persoalan lanjutan yang memparah kondisi sebelumnya.
Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam menjalani hidup. Adanya perbedaan dan persamaan dalam pembagian peran tersebut tidak dapat dikatakan ‘ketidaksetaraan gender’melainkan pembagian tugas yang sama-sama penting dalam upaya mewujudkan kehidupan masyarakat yang baik. Laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban yang sama dalam memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan permasalahan umat.

Wallahu’alam bishawab






DAFATAR PUSTAKA

Farhan Muhammad. Feminisme di Persimpangan Ideologi. Khilafah Magazine edisi 005, Mei 2001.
Fw. Bangladesh: Menderita Dipimpin Wanita. Al-Wa’ie no.32 tahun III. April 2003.
Himatul Aliyah. Politik Perempuan (dari Asumsi hingga Aksi). Al-Wa’ie no.32 tahun III. April 2003.
Husnul Khotimah. Kebohongan-kebohongan di Balik Isu Gender. Al-Wa’ie no.54 tahun V. Februari 2005.
Husnul Khotimah. Pemberdayaan Politik Perempuan. Al-Wa’ie no.32 tahun III. April 2003.
Lathifah Musa. Di Balik Penghancuran Keluarga Muslim. Al-Wa’ie no.54 tahun V. Februari 2005.
Nurfaizah dan Najmah. Membangun Keluarga Ideologis. Al-Wa’ie no.54 tahun V. Februari 2005.
Qothrun Nadaa. Kesetaraan Gender: Gagasan Absurd. Al-Wa’ie no.32 tahun III. April 2003.
Ummu Khair. Pria dan Wanita dalam Kehidupan Bermasyarakat.