Daftar Blog Saya

Kamis, 28 Januari 2010

beasiswa

Kepada
Yth. : REKTOR IAIN SYEK NURJATI
Prof.Dr.H. Imran Abdullah, M.Ag
Di
Tempat


Dengan hormat, yang bertandatangan dibawah ini, saya :
Nama lengkap mahasiswa : HISYAM NUR, S.Pdi
Tempat/tanggal lahir : Cirebon, 25 Mei 1987
Alamat Rumah : Desa. Guwa Lor, Kec.Kaliwedi, Kab.Cirebon
Perguruan Tinggi : PASCASARJANA IAIN SYEK NURJATI
 Jurusan : Tarbiyah
 Program Studi : PAI
 Semester : I (Satu)
Nomor Pokok Mahasiswa : 5059300032
Alasan mengajukan beasiswa:
 Menjadi sala-satu Wisudawan berprestasi
 Untuk membantu meringankan pemiyayaan perkuliaan di PASCASARJANA IAIN SYEKH NURJATI
Sehubungan dengan hal tersebut, saya mengajukan permohonan Beasiswa. Dan bersama ini saya lampirkan berkas persyaratan permohonan Beasiswa diataranya :
1. Surat Keterangan Aktif Kuliah PASCASARJANA
2. Foto Copy IJAZAH, AKTA V dilegalisir
3. Foto copy Transkip nilai terahir dilegalisir
4. Foto Copy KTM
5. Foto copy sertifikat Penghargaan Wisudawan terbaik
Atas perhatian dan bantuan Bapak, saya ucapkan terimakasih.





Cirebon, 30 Desember 2009
Pemohon



HISYAM NUR
5059300032

sejarah Al-Wasliyah dan NU beserta perannya masing-masing

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia baik sebelum kemerdekaan atau sesudah kemerdekaan banyak organisasi-organisasi yang muncul yang dirasakan sangat berpengaruh diantaranya adalah organisasi Al-Wasliyah dan Nahdatul Ulama (NU)
Al Jam`iyatul Washliyah merupakan organisasi kemasyarakatan dengan amal ittifaknya yaitu pendidikan, dakwah dan amal sosial yang didirikan oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiah Tapanuli Medan, Sumatera Utara pada tanggal 9 Rajab 1349 H bertepatan tanggal 30 Nopember 1930 dan organisasi tersebut diberi nama ALJAM`IYATUL WASHLIYAH (Al Washliyah) oleh Ulama Besar Shyeh H. Muhammad Yunus. Sedangkan
NU (Nahdhatul Ulama) merupakan ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Kenyataan ini adalah salah satu bukti kuat bahwasanya nuansa keberagamaan yang diusung NU dengan konsep Aswajanya, lebih cocok bagi mayoritas masyarakat Muslim Indonesia dibanding ormas-ormas keagamaan lainnya.
Kedua organisasi diatas sangat menarik dikaji baik dari sisi sosial, politik, budaya dan sebagainya, karena dirasakan pada zaman sekarang banyak orang-orang al-wasliyah dan NU yang masi tabuh dengan sejarah ke-wasliyaan dan ke-NU-an.
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka pemakalah menganggap perlu untuk menggali sejarah Al-Wasliyah dan NU beserta perannya masing-masing. Untuk memudahkan pembahasan, maka pemakalah akan merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Al-Wasliyah dan Perkembangannya di Indonesia ?
2. Bagaimana Sejarah NU dan Perkembangannya di Indonesia ?



BAB II
PEMBAHASAN


A. AL-WASLIYAH
1. Sejarah berdirinya Al-Wasliyah
Al Jam`iyatul Washliyah merupakan organisasi kemasyarakatan dengan amal ittifaknya yaitu pendidikan, dakwah dan amal sosial yang didirikan oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiah Tapanuli Medan, Sumatera Utara pada tanggal 9 Rajab 1349 H bertepatan tanggal 30 Nopember 1930 dan organisasi tersebut diberi nama ALJAM`IYATUL WASHLIYAH (Al Washliyah) oleh Ulama Besar Shyeh H. Muhammad Yunus. Dan mejadi landasan gerakan perjuangannya adalah Quran Surat Asshof ayat 10 – 11 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu aku (Allah) tunjukkan suatu perniagaan yang melepaskan kamu dari azab yang pedih ?, berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya dan bekerjalah kamu bersungguh-sungguh (berjihad) di jalan Allah dengan harta dan dirimu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Memperhatikan salah satu seruan dan petunjuk Allah Swt sebagaimana tertulis pada ayat diatas dapat dipahami bahwa untuk mencapai kesusksesan hidup didunia dan akhirat setidak-tidaknya harus terpenuhi dua syarat, yang pertama beriman kepada Allah dan RasulNya, sedangkan yang kedua adalah berjuang secara sungguh-sungguh (berjihad) dengan menyumbangkan harta, tenaga, pikiran, pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sebagainya. Jihad yang dimaksud bukan hanya berangkat ke medan perang tetapi memperdalam pengetahuan dan mengembangkan pendidikan merupakan bagian dari jihad.



2. Al-Wasliyah dan Perkembangannya di Indonesia
Dilihat aspek pengembangan pemikiran keagamaan, Al-Washliyah pun berada di garda depan. Di zaman Belanda Al-Washliyah berhasil upaya de-mistifikasi (penghancuran berpikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya, tetap tetap berpijak pada konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan (kecerdasan emosional), Al-Washliyah berhasil membawa umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan inspirasi ajaran Qur’an dan Sunah. Dari pola pemikiran rasional tsb gerakan Al-Washliyah telah “membangunkan” kesadaran umat Islam yang sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan Al-Washliyah bisa membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan umat dan bangsa lainnya.
Bahkan peranan Al-Washliyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa, selain ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain. Terlebih dalam menyikapi isu-isu nasionaol dan internasional selalu tampil di depan sebagai pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang diperankan individu kader-kadernya.
Analisis tersebut wajar. Sebab dalam rentang usianya mendekati satu abad, Al-Washliyah telah, sedang dan akan terus mengahasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa. Dari latar belakang tersebut di atas, bila meminjam teori Hero (Tokoh) nya Thomas Carlyle bahwa pemimpin besar (The Great Man) sebagai penggerak idea akan terjadi perubahan sejarah. Bahwa idea dapat membangkitkan gerak sejarah suatu bangsa, jika ada penggeraknya yaitu pemimpin besar. Seperti halnya ajaran Islam, tidak akan berkembang tanpa kehadiran dan peranan pemimpin besarnya, nabi Muhammad. Dengan memakai pendekatan teori sejarah ini, maka gerakan Al-Washliyah tidak akan berkembang dan berpengaruh besar sampai kini jika tanpa kehadiran ideolog dan penggerak awalnya.
Karena itu mencermati dan melakukan studi atas pemikiran Para Pendiri Al-Washliyah menjadi penting dilakukan. Ini akan berguna untuk memahami dinamika perkembangan Al-Washliyah khususnya, dan dinamika umat Islam dan bangsa Indonesia.
Karena bagaimanapun juga Al-Washliyah didirikan sebagai organisasi kemasyrakatan yang yang berkiprah dibidang pendidikan, dakwah, dan amal social.
3. Tujuan Berdirinya Organisasi Al-Wasliyah
Selain itu juga tujuan asasi pendirian Al-Washliyah untuk melaksanakan tuntunan Islam dalam meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat nampaknya telah mengalami pergeseran yang cukup darastis dari kehidupan dunia kepada kehampaan hidup (dari dunia untuk dunia), karena jalan untuk meraih kedua kehidupan tersebut diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar mampu mengelola alam dan lingkungan sebagaimana salah aspek kestagnasian Al-Washliyah ini bersumber dari ketiadaan atau ketidak siapan diri dalam melakukan aksi inovatif kreatif yang mampu membangun Al-Washliyah untuk lebih baik dari sebelumnya.
Sedangkan pada aspek tabligh, tazkir, dan pengajian di tengah masyarakat yang merupakan agenda dasar Al-Washliyah juga telah melemah dalam artian aktifitas lebih cenderung dilakukan kepada orientasi lain bersifat profan hanya mendatangkan keuntungan pribadi dengan meninggalkan keutuhan dan integritas umat yang merupakan bangunan fundamen dalam menata masyarakat yang adil dan beradab dalam bingkai kepatuhan kepada Tuhan sebagai bentuk masyarakat madani yang tercerahkan pemikirannya.
Demikian juga cita luhur Al-Washliyah untuk membangun Perguruan Tinggi sebagai upaya kesempurnaan pelajaran, pendidikan dan kebudayaan juga nampaknya merupakan upaya yang belum dapat disebut berhasil walaupun sebenarnya dari dahulu sudah ada Perguruan Tinggi Al-Washliyah akan tetapi keberadaannya yang belum siap untuk bersaing dengan Perguruan Tinggi lain yang kondisi ini muncul dari minimnya tenaga ahli yang mampu mengelola dan memajukan lembaga tersebut, serta ditambah kurangnya sarana fisik yang menunjang semakin memperburuk keadaan Perguruan Tinggi Al-Washliyah hari ini, walaupun sebenarnya telah dilakukan inovasi kearah perbaikan.
Demikian juga aktifitas lain yang dirintis Al-Washliyah dalam menyatuni fakir miskin, memelihara dan mendidik anak yatim, menyampaikan seruan Islam kepada orang yang belum beragama, mendirikan dan perbaiki tempat ibadah sangat jauh dari apa yang diinginkan para pendahulu khususnya dalam menyantuni anak yatim lebih terkesan tanpa adanya manajemen memadai dalam bentuk pemberian keterampilan kepada anak-anak yang diasuh berakibat saat anak sudah meninggalkan Al-Washliyah sulit untuk berpartisipasi dalam memajukan yang semestinya sudah menjadi tanggung kolektif atau minimal sebagai beban moral masyarakat Al-Washliyah.

B. NAHDATUL ULAMA (NU)
1. Sejarah NU
NU (Nahdlatul Ulama) sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah) secara resmi berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. NU didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari (Al Maghfurlah) dkk, sebagai wadah “berlakunya” ajaran Islam yang berhaluan Ahlu Al sunnah wa Al Jama’ah yang mengikuti salah satu madzhab empat, di tengah-tengah kehidupan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Situasi kolonialisme juga merupakan faktor berdirinya organisasi ulama ini, dimana wadah ini sebagai sarana efektif untuk menunjukkan rasa nasionalisme dan patriotisme di kalangan ummat Islam, dalam rangka menghadapi penjajah Belanda. Wacana Horgronje tentang kelompok Islam religius dan Islam politik, turut serta menjadikan NU sebagai salah satu organisasi yang mampu bertahan ditengah pembatasan-pembatasan penjajah Belanda. Karena NU masih digolongkan sebagai kelompok Islam religius, dalam artian segala aktifitasnya tidak membahayakan eksistensi penjajah Belanda. Terbukti dengan diperolehnya pengesahan dari Gouvernour General van Nederlandsch-Indie pada tanggal 16 Februari 1930.
Pada dasarnya Nu juga tidak mencapuri urusan politik dan pada kongresnya pada bulan oktober 1928 di Surabaya diambil keputusan untuk menentang reformasi kaum modernis dan perubahan yang dilakukan wahabi di Hijaz. Kaum Islam reformis dalam beberapa hal bersikap seperti kaum nasionalis yang tidak mengkaitkan Agama misalnya tentang masalah perkawinan, keluarga, kedudukan wanita, dan sebagainya.
Pada muktamar tahun 1928, NU menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda, pengakuan tersebut akhirnya diterima (seperti yang telah ditulis sebelumnya). NU kemudian menetapkan tujuannya untuk mempromosikan tentang empat madzhab dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan ummat. Berkembang pesatnya NU dilakukan (salah satunya) dengan jalur kekerabatan para kyai di lingkungan pesantren di Jawa dan hingga ke daerah-daerah lain. Melalui sistem pendidikan yang berbasis pesantren NU sangat mudah masuk keruang-ruang massa. Di mana ada kemiripan dalam standar Ahlu Al Sunnah wal Al Jama’ah disitu NU bisa diterima dan berkembang.
Mitos ulama sebagai pembawa panji-panji pembela kaum tani yang miskin dan tertindas akibat kebijakan pemerintah kolonial merupakan salah satu faktor penting naiknya NU di tengah pergulatan perjuangan mereka, bahkan pamor priyayi semakin merosot. NU mulai merangsek masuk dalam wilayah-wilayah kultural. Dengan landasan yang mengusung Ahlu Al Sunnnah wa Al Jama’ah, NU menjadikan dirinya pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran kempat madzhab, meskipun pada kenyataannya madzhab Syafi’i-lah yang dianut oleh kebanyakan umat Islam di seluruh nusantara.
Selain itu, NU memberikan perhatian khusus kepada kegiatan ekonomi, bidang yang berkaitan dengan kehidupan para kyai yang terkadang adalah pemilik tanah dan pedagang. Sifat keberadaan NU merupakan upaya peneguhan kembali tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan yang mapan.
2. Tokoh penting NU
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
3. Sistem Pengambilan Keputusan Warga NU
Secara umum system yang dipakai oleh warga NU dalam mengambil keputusan dan menguji masalah-masalah adalah sebagai berikut :
a. teks-teks yang diperoleh adalah yang berkaitan dengan ajaran Islam yang sesuai dengan kepercayaan para para peninjau hokum dan masyarakat.
b. Mengikuti suatu madzhab menurut fatwanya adalah mengikuti pendapat-pendapat yang disampaikan
c. Mengikuti suatu madzhab menurut metodenya adalah mengikuti cara berfikir dan prinsip-prinsipnya untuk membuat hokum dasarnya adalah para imam madzhab tersebut.
d. Yang dimaksud pengem,bangan adalah mengambil hokum Islam dari d alilnya dengan metode usul/furu’ dabn pemahaman.
e. Yang dimaksud pernyataan adalah pendapat imam madzhab.
f. Yang dimaksud dengan ketetapan bersama adalah usaha bersama untuk membuat suatu pilihan diantara beberapa pendapat imam atau ulama.
g. Yang dimaksud penggabungan adal;ah mengikutsertakan hokum bagi kasus tertentu yang belum dijawab dengan kasus lain yang telah dijawab oleh teks hokum.
h. Yang dimaksud problem yang dipertanyakan adalah suatu permintaan untuk diadakan pembahasan atas suatu kasus apakah temah kasus saja, atau pemikir-pemikir dasar, bahkan keinginna untuk merefisi kembali tema yang telah dibahas.
i. Apakahh yang dimaksud dengan retivikasi adalah pengesahan hasil pembahasan oleh pengurus besar NU, konferensi Nsional Alim Ulama atau Kongres NU.
4. Nasakom Soekarno bersinggungan dengan NU
Bung Karno dari masa kecil sampai dewasa begitu bermacam-macam. Sejak kecil, Bung Karno telah tumbuh menjadi seorang sosok yang mewarisi wacana-wacana jawa dari pemikiran orang tuanya. Kemudian wacana itu berkembang hingga berkenalan dengan pemikiran barat terutama pemikiran salah seorang filosof jerman Karl Marx dengan marxisme-nya. Pemikiran inilah yang kelak menjadikannya sebagai pemuda yang radikal dan militan. Pada waktu dibuang di Bengkulu pun, beliau menyempatkan diri untuk belajar Islam.
Dari kronologi penemuan perbedaan ideologi ini, Bung Karno tumbuh menjadi seorang pemikir yang dianggap mampu untuk menyatukan berbagai macam perbedaan pandangan menjadi satu dengan mengambil titik temu atau mengambil hal-hal yang dianggap baik dan menyatukannya. Hal ini dikenal sebagai singkretisme. Dari pemikiannya inilah lahir sebuah ideologi baru yang disebut Bung Karno dengan Nasakom, yaitu nasionalis, agama, dan komunis. Ketiga ideologi ini disatukan oleh Bung Karno dan dijadikan sebuah konsepsi pemikiran yang digunakan untuk melawan penjajahan dan penindasan (imperalisme).
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.
Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia. Penganut faham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifes politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik. Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap faham kapitalisme di awal abad ke-19an, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dengan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangannya yang saling berbeda dalam pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia.
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu sesepuhnya. Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha menggulingkan kekuasaan pemerintahan, maka Soekarno dengan lantang, dalam salah satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan melakukan manuver politik demikian maka sudah tentu Soekarno mendapatkan dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno. Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa apabila terjadi balance of power. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. Setelah gagal melakukan coop d’etat, PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno dan PKI.
Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai. Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.
5. NU sebagai Kelompok Kepentingan
Penerapan kaidah poluler NU “Alhukmu yadurru ma’a illatihu wujudan wa’adaman”, dan kaidah-kaidah lainnya, mengesankan sikap NU yang selalu melihat masalah yang dihadapi sebagai situasi darurat dan temporer, sehingga seringkali tampaknya keluar dari relnya, terutama dalam upaya menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Itulah barangkali salah satu sebab mengapa NU sering dianggap inkosisten terhadap keputusan-keputusannya sendiri. Penyusun memahami khittah 1926 bukan berarti membatasi warga NU dalam politik, dan sama sekali tidak boleh terlibat dalam proses politik. Sikap netral NU terhadap seluruh kekuatan partai politik NU justru dapat memperluas ruang politik NU, tidak terbatasi oleh formalitas dan loyalitas pada partai politik tertentu. Menurut Mathori Abdul Jalil, “Berpolitik secara kultural jauh lebih luas jangkauannya ketimbang memagari diri dalam suatu partai politik tertentu. Apalagi yang disebut partai politik dalam konstelasi politik Orde Baru terkesan sebagai oposisi yang bagi NU dianggap tidak menguntungkan”
Kata kunci yang paling strategis untuk memahami prinsip khittah 1926 NU adalah mengembalikan organisasi itu kepada fungsi awalnya sebagai organisasi sosial keagamaan. Tidaklah sulit bagi NU untuk menyuarakan aspirasi rakyat dalam rangka kemaslahatan ummat secara luas. Ditinjau dari aspek yang mendukungnya menjadi kelompok kepentingan, yaitu :
a. Sumber Daya Fisik
NU meliki sumber daya manusia yang sangat potensial. Banyak sekali cendekiawan, ulama, kaum muda yang kritis (misal, Ulil Absar Abdalla, Saifullah Yusuf, Badriyyah Fayumi dll) yang dapat menjalankan fungsi NU sebagai kelompok kepentingan. Secara materi pun NU mumpuni, terbukti dengan eksistensi NU sampai sekarang.
b. Sumber Daya Organisasi
Kecakapan NU dalam untuk mengelola aspirasi sudah tidak diragukan lagi. Banyak sekali lembaga-lembaga di bawah naungan NU yang secara getol menyuarakan isu-isu mendasar. Sebagai contoh, permasalahan gender yang menyangkut poligami dan hak-hak perempuan. Dikalangan Muslimat NU isu tersebut sudah menjadi hal yang basi. Yang menjadi pertanyaan adalah kepekaan pemerintah terhadap isu tersebut.
c. Sumber Daya Politik
Yaitu tentang bagaimana pemahaman politik, reputasi, dan figur. Khittah 1926 adalah sebagai penegasan ruang Nu sebagai organisasi sosial keagamaan. Munculnya PKB sebagai aktualisasi politik sebagian tokoh NU merupakan suatu cara agar optimalisasi NU sebagai kelompok kapentingan maksimal. Reputasi NU sebagai wadah yang potensial dari segi kuantitas maupun kualitas tidak diragukan. 40 juta warga NU.
d. Sumber Motivasi
Menyangkut komitmen idiologi, NU sudah jelas dengan adanya landasan dasar perjuangan NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Secara garis besar ,yaitu menjaga, mengembangkan ajaran Ahlu Al Sunnah wa Al Jama’ah dalam rangka menuju kesejahteraan masyarakat indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

e. Sumber Daya tak Terlihat
NU sudah menjadi “rebutan” ketika menjelang pemilu. Bahkan kelompok-kelompok minoritas seringkali menerima “berkah” dari NU. Diakui ataupun tidak, wacana-wacana dari NU seringkali berbenturan dengan wacana umum, terbukti dengan peristiwa kontroversial Ahmadiyah. NU dengan departemennya selalu getol mengkritisi secara tidak langsung maupun langsung kinerja pemerintah dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama.

























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Persoalan yang mengganggu NU saat ini adalah belum adanya pembagian kerja yang tegas antara mereka yang mengurus “bidang politik” dengan mereka yang mengurusi “bidang kultural” Ketidak tegasan pembagian peran ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dalam tatanan organisasi NU, yang seharusnya ditangani dengan cepat, sebab jika tidak, NU akan terombang-ambing dengan situasi politik yang berkembang dan melangkah secara tidak pasti dan tidak memiliki orientasi yang jelas.
Idealnya NU lebih mengakar kembali pada bidang kultural. Karena fungsi NU sebagai organisasi sosial keagamaan akan tercapai secara optimal. Disamping terjaganya mura’ah NU. Ketika NU mampu mempertegas arah menuju Islam kultur, arah politik NU tidak akan carut marut. Disatu sisi NU mampu menjadi penggerak, dan pembangun civil society , dan kepastian akan tujuan dibentuknya NU akan tercapai.














DAFTAR PUSTAKA


 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1995
 Bahrul ‘Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi”; jejak Langkah NU Era Reformamsi: Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik”, Ar Ruzz Press, Djokjakarta, 2002 hal.
 Suhartono, Sejarah pergerakan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001 Hal.
 A. Effendy Choirie, “PKB Politik Jalan Tengah NU; Eksperimentasi Pemikiran Islam Inklusif dan Gerakan Kebangsaan Pasca Kembali ke Khittah 1926”, Pustaka Ciganjur, 2002.
 Shihab, Quraish, Islam Madzhab Indonesia, Bandung: Mizan, 2003 Hal. 89
 KH. Abdul Muchith Muzadi, “ NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran; Reflekksi 65 Th. Ikut NU”,”Khalista”, Surabaya, 2006, hal. 46.
 univalabuhanbatu.wordpress.com/about/
 http://www.imm.or.id/content/view/168/2/

korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupat

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah usaha di mana peserta didik diharapkan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan dalam kehidupannya (Maimun Syamsudin, 2006: 10), Tentu dengan harapan agar peserta didik dapat menjadi lebih baik, bisa mengembangkan potensi dirinya dan bermanfaat untuk lingkungannya. Dalam al-Qur’an dengan jelas Allah berfirman:

Artinya : “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dengan ilmu, segala persoalan dan problema yang dihadapi manusia akan dengan mudah dapat terselesaikan. Persoalan-persoalan rumit yang membuat manusia menderita, dengan ilmu akan dapat teratasi. Pada kontek inilah Allah menurukan wahyu pertamanya kepada Nabi Muhammad SA.:
     
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.”
Secara tersirat ayat ini memerintahkan manusia untuk selalu belajar dan belajar. Posisinya sebagai wahyu yang diturunkan pertama kali seakan ingin menegaskan bahwa sebelum bertindak dan melangkah kemanapun, yang harus dilakukan oleh umat manusia adalah belajar.
Dengan kata lain, ilmu adalah hal terpenting yang harus dimiliki manusia sebelum hal-hal yang lain. Karena dengan ilmu manusia akan lebih bermanfaat bagi lingkungan dan sesema. Dan oleh karenanyalah manusia pada akhirnya akan lebih tinggi derajatnya seperti telah dijanjikan Allah dalam ayat di atas. Begitu pentingnya ilmu hingga Allah menyindir dalam satu firmannya:
•                          
Artinya : ‘(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

Dalam kontek ini pulalah, negara sebagai institusi yang mempunyai tanggung jawab untuk mengayomi masyarakatnya menciptakan usaha-usaha agar bagaimana seluruh elemen yang ada di tengah-tengah masyarkat dapat mengenyam pendidikan, dengan harapan pendidikan tersebut dapat mengantarkan negeri ini menjadi negeri yang maju dan sejahatera. Hal ini dapat dilihat pada undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab II pasal 3 sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Undang-Undang Ripublik Indonesia Nomor 20 Tahun, 2003)
Oleh karena tanggung jawab tersebut, pemerintah dalam undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab IV pasal 10-11 menetapkan bahwa: Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 10) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (Pasal 11 ayat 1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. (Pasal 11 ayat 2)6 Dengan demikian menjadi jelas bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk menjamin terpenuhinya hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak, seperti termaktub dalam UUD 1945. Bahkan hingga pada hal-hal yang bersifat teknis, sepeti dana. Khususnya dalam hal dana, campur tangan pemerintah tentu sangat penting bagi terselenggaranya pendidikan layak di negeri ini. Mengapa? Karena angka kemiskinan dan rendahnya akses masayarakat terhadap pendidikan yang disebabkan oleh persoalan ekonomi masih sangat tinggi. Kebijakan pemerintah merealisasikan program Bantuan Oprasional Sekolah (BOS) sebagai upaya untuk mengurangi beban masyarakat miskin adalah langkah yang perlu mendapat apresiasi yang layak, sebab program ini adalah salah satu dari empat program yang sengaja direalisasikan untuk mengurangi beban masyarakat miskin akibat naiknya harga BBM. Kebijakan yang direalisasikan sejak awal tahun ajaran 2005-2006, tapatnya bulan Juli 2005 ini, di satu sisi disambut antusias oleh seluruh lapisan di masyarakat, terutama lapisan terbawah yang tingkat partisipasinya dalam pendidikan memang sangat minim.
Akan tetapi rupanya tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa realisasi BOS akan mengurangi keswadayaan yang selama ini ada.(1996:8) Padahal, swadaya adalah salah satu pilar utama keberlangsungan sebuah lembaga pendidikan, utamanya lembaga pendidikan swasta seperti Madrasah. Hal ini persis seperti ditegaskan dalam GBHN (Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978) berkenaan dengan pendidikan seperti dikutip Zakiyah Daradjat. Dalam ketetapan tersebut dikemukakan antara lain sebagai berikut:
Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. ( Zakiah Daradjat, dkk, 2000: 34)

Dengan keswadayaan diharapkan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan menjadi besar. Ketika partisipasi ini makin besar maka secara otomatis makin besar pula rasa memiliki masyarakat terhadap lembaga pendidikan. Dan dalam kondisi seperti itu masyarakat akan dengan sendirinya ikut memantau, memberikan masukan dan bahkan menjaga keberlangsungannya. Dari hal-hal yang bersifat kebijakan dan program hingga hal yang bersifat sangat fisik seperti bangunan, alat peraga dan semua bahan penunjang pendidikan akan dijaga dan dirawat oleh masyarakat dengan sepenuh hati. Ketika peneliti mengamati Madrasah Ibtidaiyah Swasta di lokasi penelitian masyarakat ikut menyumbangkan dana untuk pembangunan dan pengadaan alat-alat peraga serta media pembelajaran secara sukarela. Bahkan untuk pengerjaan pembangunan gedung madrasah mereka gotong royong dan bergantian untuk turut menyelesaikan pembangunan tersebut.
Akan tetapi kini, setelah adanya program BOS, perhatian yang besar dari masyarakat terhadap madrasah sudah mulai berkurang. Penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon yang peneliti jumpai ternyata sudah jauh berbeda dengan sebelum direalisasikannya BOS. Keberperanan masyarakat yang dulu diantaranya ditunjukkan dengan pendanaan yang bersifat swadaya rupanya sudah mulai berkurang. Hal ini menyebabkan sulitnya pengembangan dalam bidang sarana, seperti bangunan, akibat masyarakat kini telah mempunyai anggapan bahwa pengadaan sarana dan seluruh pembiayaan di MI Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten biasa didapatkan dari bantuan pemerintah. Akibatnya, hingga kini di Madrasah ini, ada dua kelas yang tidak dilengkapi dengan bangku dan meja tulis. Murid kelas empat dan kelas lima setiap hari belajar sambil lesehan di atas tikar seadanya. Dengan demikian, kehadiran BOS sejak tahun 2005 lalu, Peneliti rasa, di satu sisi bukanlah langkah maju buat masa depan pendidikan kita. Secara verbal mungkin akan terlihat semakin banyak anak bisa masuk sekolah dan menikmati pendidikan. Akan tetapi di sisi yang lain kebijakan ini justru tidak mendidik mental bangsa secara umum agar menjadi bangsa yang mandiri dan tidak manja. Satu dua orang sudah peneliti dengar berkomentar bahwa saat ini lebih baik mendirikan sekolah dari pada mendirikan CV: lebih menguntungkan dalam hal finansial dan akan meningkatkan strata sosial di tengah-tengah masyarkat. Ironi-ironi semacam inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti tentang korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon


B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah merupakan salah satu pokok yang cukup penting dalam kegiatan penelitian sehinga peneliti merasa perlu dan penting sekali untuk membuat rumusan-rumusan masalah yang akan diteliti dan dicarikan jawabannya. Peneliti dalam kegiatan ini merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Adakah korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon Tahun Pelajaran 2009-2010?
2. Seberapa besar korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon Tahun Pelajaran 2009-2010?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah yang peneliti paparkan di atas, maka menjadi jelas bahwa penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon Tahun Pelajaran 2009-2010
2. Untuk mengetahui seberapa besar korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon Tahun Pelajaran 2009-2010


D. Kegunaan Penelitian
Setelah nanti peneliti melakukan penelitian yang sesui dengan kaidahkaidah penelitian ilmiah sehingga kebenarannya dapat diterima, maka peneliti berharap hasil penelitian tersebut mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1) Pertama, hasil penelitian ini akan menjadi tambahan wawasan pengetahuan yang diharapkan bisa menjadi pijakan pengambilan kebijakan dan pembuatan program-program yang ada di Lembaga Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon Terutama dalam hal bagaimana mengusahakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikannya.
2) Kedua, hasil penelitian ini akan menjadi kajian kritis bagi peneliti untuk mengembangkan ilmu yang peneliti peroleh agar berguna bagi agama bangsa dan negara.
3) Ketiga, hasil penelitian ini akan melengkapi perbendaharaan karya ilmiah alam dunia pendidikan yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau bahkan rujukan bagi siapapun yang bermaksud mengadakan penelitian selanjutnya.

E. Alasan Pemilihan Judul
Ada beberapa alasan yang menjadi titik berangkat peneliti dalam menentukan judul skripsi ini (Korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon Tahun Pelajaran 2009-2010antara lain:


1. Alasan Objektif
a. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lembaga pendidikan, utamanya swasta seperti Madrasah sangatlah penting. Karena dengan partisipasi masyarakat penyelenggaraan sebuah pendidikan akan terarah dengan benar sesuai dengan kemauan dan kebutuhan masyarakat.
b. Program Bantuan Oprasional Sekolah (BOS) yang selama beberapa tahun terakhir telah direalisasikan ternyata cukup menggelisahkan. Karena dengan direalisasikannya BOS berarti salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan telah terkurangi. Padahal partisipasi masyarakat dalam pendidikan merupakan penunjang yang cukup penting.
2. Alasan Subjektif
a. Masalah yang diangkat peneliti sangat sesuai dengan fakultas dan jurusan yang peneliti tekuni, yaitu jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama (PAI). Sehingga peneliti merasa sudah menjadi kewajiban bagi peneliti untuk turut serta memikirkan pendidikan, khususnya dalam hal ini bagaimana merawat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan demi terselenggaranya pendidikan yang sesuai dengan harapan bersama.
b. Peneliti dibesarkan dan digembleng di lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon.
c. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh Peneliti cukup tersedia sehingga memudahkan peneliti dalam melaksanakan penelitian.


F. Asumsi dan Hipotesa
1. Asumsi/Postulat
Asumsi atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh peneliti. Dengan kata lain ia merupakan anggapan dasar yang kebenarannya sudah dapat diyakini. Asumsi ini berfungsi sebagai tempat pijakan penelitian. Adapun asumsi yang akan peneliti jadikan tempat berpijak dalam penelitian ini adalah:
a. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan sebuah pendidikan mempunyai beberapa bentuk yang berbeda.
b. Kondisi penyelenggaraan pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
2. Hipotesis
Sebelum peneliti kemukakan hoptesis penelitian ini, terlebih dahulu peneliti kemukakan tentang pengertian hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang dipertanyakan. Hipotesis dimaksud, mestilah menjadi landasan logis dan pemberi arah bagi proses pengumpulan data serta proses penyelidikan tersebut.(Sanapiah Faisal,1982:62)
Pendapat senada juga dikemukakan Sutrisno Hadi, menurutnya hipotesis adalah pendapat yang kebenarannya masih rendah atau kadar kebenarannya masih belum meyakinkan/jawaban sementara dari masalah yang masih memerlukan penelitian. Sutrisno Hadi, 1976:8)
Dalam bahasa yang berbeda Arikunto mengartikan hipotesis sebagai suatu jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. (Suharsimi Arikunto,1993:64)
Dilihat dari katagori rumusannya, hipotesis dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hipotesis nihil (null hypothesess) yang biasa disingkat dengan
Ho. Hipotesis ini adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan atau pengaruh antara satu variabel dengan variabel lainnya. Kedua, hipotesis alternatif yang biasa disingkat dengan
Ha. Hipotesis ini adalah hipotesis yang menyatakan adanya hubungan atau pengaruh antara satu variabel dengan variabel lainnya. (Yatim Riyanto, 2007: 44-45)
Dengan berpijak pada pengertian hipotesis di atas, maka hipotesis nihil yang peneliti rumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: ”Tidak ada korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon tahun pelajaran 2009-2010.
Sementara hipotesis alternatif yang peneliti rumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: ” Ada korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon tahun pelajaran 2009-2010.

G. Ruang Lingkup Penelitian
Agar penelitian ini dapat lebih terfokus dan terarah sesuai dengan yang peneliti maksud, maka sangat penting dijelaskan terlebih dahulu batasan-batasan atau ruang lingkup peenelitian, baik dari segi materi, lokasi atau subjek penelitian mupun dari segi waktu. Pertama, dari segi materi. Pada segi materi ini peneliti akan memaparkan batasan variabel atau penjabaran variabel menjadi sub variabel beserta indikatorindikatornya.
1. Partisipasi Masyarakat
”Partisipasi masyarakat” dalam penelitian ini berposisi sebagai variabel X. Adapun masyarakat yang peneliti maksud adalah seluruh anggota anggota komite sekolah dan wali murid di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon
Adapun indikator-indikator yang akan diukur pada variabel ini adalah sebagai berikut.
a. Pemberian masukan oleh masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan.
b. Pemberian sumbangan dana oleh masyarakat.
c. Pemberian sumbangan tenaga oleh masyarakat.
d. Pemberian sumbangan alat-alat atau barang penunjang
e. penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat.
f. Pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat.
g. Penjagaan dan perawatan terhadap aset-aset serta nama baik Madrasah.
2. Penyelenggaraan Pendidikan
”Penyelenggaraan pendidikan” dalam penelitian ini berposisi sebagai variabel Y. Adapun penyelenggaraan pendidikan yang peneliti maksud adalah penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon Sedangkan indikator-indikator yang akan diukur pada variabel ini adalah sebagai berikut.
a. Pengadaan guru
b. Pengadaan biaya
c. Pengdaan sarana
d. Penerimaan siswa baru
e. Pengadaan buku ajar
Kedua dari segi Subjek dan Objek penelitian. Subjek dari penelitian ini adalah seluruh anggota komite sekolah, seluruh wali murid dan ketua yayasan beserta staf-stafnya, serta kepala sekolah beserta staf-stafnya pula. Sedang Objek dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk partisipasi masyarakat sebagaimana telah peneliti paparkan di atas. Lain dari itu objek penelitian dalam penelitian iniadalah penyelenggaraan pendidikan sebagaimana juga telah peneliti jelaskan di atas.
Ketiga dari segi lokasi. Penelitian ini akan dilaksanakan di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Madrasah ini berada di Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon
Keempat dari segi waktu. Penelitian ini dilaksanakan pada awal tahun pelajaran baru 2009-2010 tepatnya pada bulan juli tahun 2009.

H. Batasan Istilah dalam Judul
Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam pembahasan nanti, maka Peniliti merasa perlu untuk memberikan batasan pada istilah-istilah yang ada pada judul skripsi ini. Pertama “Partisipasi Masyarakat”. Dalam Kamus populer, partisipasi adalah pengambilan bagian (didalamnya); keikutsertaan; penggabungan diri (menjadi peserta). Masyarakat adalah sehimpunan orang yang hidup bersama di sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu.13 Dalam penelitian ini yang kami maksud dengan partisipasi masyarakat adalah pemberian masukan, sumbangan tenaga, dana, alat atau barang penunjang, pengawasan, terhadap penyelenggaraan pendidikan dan penjagaan terhadap aset-aset sekolah oleh wali murid dan anggota komite sekolah.
Kedua, ”Penyelenggaraan pendidikan”. Dalam RUU Penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa “Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan. (W.J.S Poerwadarminta, 1984: 636).
Pelaksanaan komponen-komponen sistem pendidikan pada satuan/program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional”. Dalam penelitian ini yang kami maksud dengan penyelenggaraan pendidikan adalah pengadaan guru, pengadaan biaya, pengadaan sarana, penerimaan siswa baru dan pengadaan buku
ajar.

I. Kajian Pustaka
Pemerintah seharusnya tidak menjadi sosok paling tahu terhadap semua persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam lingkup pendidikan. Untuk menjamin adanya keselarasan antara kebutuhan dan cita-cita memajukan sektor pendidikan, rakyat sebagai komponen yang akan menjadi sasaran seluruh kebijakan di dalamnya semestinya dilibatkan. Kartono dalam bukunya berjudul Tujuan Pendidikan Harus Singkron dengan Tujuan Manusia menyatakan sebagai berikut:
Urusan pendidikan adalah urusan kita bersama yaitu: urusan seluruh bangsa Indonesia, jelas bukan eksklusif menjadi urusan pemimpin dan pakar-pakar pendidikan saja. Oleh karena itu kebijakan pendidikan ditingkat nasional baru bisa berjalan lancar atau mantap hanya berkat dukungan rakyat banyak yaitu berupa partisipasi aktif segenap warga masyarakat.(Kartini Kartono, 1991:11)

Kutipan singkat ini secara langsung menyinggung betapa pentingnya partisipatisi masyarakat dalam sebuah penyelenggaraan pendidikan. Secara lebih luas partisipasi di sini bisa ditafsirkan bahwa keberperanan masyarakat pada hakikatnya sangat penting artinya bagi sebuah program seperti pendidikan sejak dari penentuan kebijakan. Karena apa pun yang dihasilkan tidak dengan melelui pelibatan masyarakat dalam seluruh prosesnya akan mengakibatkan kurangnya rasa memiliki dan tanggung jawab pada diri mereka untuk turut mengawal, merawat dan menjaga keberlangsungannya. Terkait hal ini, Suprapto dalam bukunya Berjudul Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan; Suatu Bahasan Kebijakan Pendidikan mengatakan:
Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok, bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat, serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan. (Suprapto, 2003: 39)
Tanpa benar-benar adanya keterlibatan masyarakat dalam pendidikan secara menyluruh (sejak dari perencanaan hingga aplikasi) rasa tanggung jawab terhadap penyelenggaran dan pengembangan pendidikan akan sangat sulit tumbuh. Hal ini seiring pradigma sentralisasi pada zaman Orde Baru yang menjadikan masyarakat seakan-akan hanya sebagai objek dari kebijakankebijakan yang diputuskan pemerintah.

J. Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu menggunakan analisis data statistik. Sedangkan sifatnya adalah korelasi yaitu mencari hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain. Karena termasuk kategori penelitian kuantitatif korelasi maka variable yang dilibatkan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu variabel X dan variabel Y, yang termasuk variabel X adalah Partisipasi Masyarakat dan variabel Y adalah Penyelenggaraan Pendidikan. Artinya variabel X berkorelasi dengan variabel Y. Dengan kata lain, partisipasi masyarakat berkorelasi positif dengan penyelenggaraan pendidikan di Desa Gegesik Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon

2. Teknik Penentuan Subjek Penelitian
Sebelum peneliti mengemukakan bagaimana peneliti menentukan subjek penelitian ini, terlebih dahulu peneliti akan mengupas secara sederhana tentang istilah Populasi dan Sampel yang umum dipergunakan untuk menyebut subjek dalam sebuah penelitian.
a. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (semua elemen yang ada di dalam wilayah penelitian. Oleh karenanya, apabila seorang peneliti ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Studi atau penelitiannya disebut dengan studi populasi atau studi sensus. (Arikunto, 2005: 108)
Berdasarkan pengertian di atas, maka populasi yang kami maksud dalam penelitian ini adalah 120 orang wali murid dan 30 anggota kemite sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon bon, yang jika diakumulasikan berjumlah 150 orang.
b. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan mewakili keseluruhan populasi tersebut. Oleh karenanya peneliti yang hanya meneliti sebagian saja dari populasi untuk pada akhirnya digunakan untuk menggeneralisir seluruh populasi, dinamakan penelitian sampel. (Arikunto, 2005: 109)
Pengambilan sampel ini bisa dilakukan ketika populasi dirasa terlalu banyak dan tidak memungkinkan efektifnya sebuah penelitian. Jelasnya, ketika jumlah populasi di bawah 100 maka semua populasi harus diteliti, akan tetapi jika melebihi 100 maka peneliti dibolehkan hanya meneliti sampel yang besarnya antra 10-15 % atau 20-25% atau bahkan lebih besar, tegantung kepada: a) Kemampuan peneliti dari segi dana, waktu dan tenaga; b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek; c) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. (Arikunto, 2005: 102)
Dari pengertian-pengertian tentang populasi dan sampel di atas, peneliti kemudian mengambil sample dari keseluruhan populasi sebanyak 75 orang (50%) dengan menggunakan metode stratified proporsional random sampling. Peneliti mengambil sampel masing-masing 50% dari kelompok populasi yang sebelumnya telah peneliti kelompokkan sesuai dengan jenis populasi. Pengelompokan dan pengambilan sampel tersbut bisa dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Keadaan populasi dan sampel penelitian
No Varian populasi Populasi Sampel
01 Wali murid 120 60
02 Anggota komite sekolah 30 15

3. Teknik Pengumpulan Data
Setiap teknik pengumpulan data, baik itu angket, wawacara, observasi maupun dokumentasi, sama-sama mempunyai kekurangan dan kelebihan. Oleh karenanya dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik sekaligus dengan harapan antara satu dengan yang lainnya dapat saling melengkapi. Teknik yang peneliti gunakan antara lain adalah:
a. Observasi
Dalam sebuah penelitian, observasi manjadi bagian hal terpenting yang harus dilakukan oleh peneliti. Sebab dengan observasi keadaan subjek maupun objek penelitian dapat dilihat dan diraskan langsung oleh seorang peneliti. Menurut Suharsimi Arikunto, dalam tinjauan psikologis, observasi adalah kegiatan pemuatan terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh panca indera, baik menggunakan penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Teknik ini dapat dilakukan dengan dua cara yang kemudian digunakan untuk menyebut jenis observasi. Pertama, observasi non-sistematis. Dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan. Kedua, observasi sistematis. Dilakukan dengan
menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan. (Arikunto, 2005: 135)
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik ini pada fase studi pendahuluan untuk memperoleh iformasi umum tentang objek dan subjek penelitian. Hasil studi pendahuluan ini peneliti gunakan sebagai pijakan dalam memilih masalah dan merumuskannya. Di samping itu hasil observasi ini juga peneliti gunakan untuk menyusun latar belakang penelitian ini.
b. Angket
Angket adalah kumpulan pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang, dalam hal ini disebut dengan responden. Adapun cara menjawab dilakukan dengan cara tertulis pula.20 Dengan kata lain, angket adalah alat untuk mengumpulkan data yan berupa daftar pertanyaan yang disampaikan kepada responden untuk dijawab secara tertulis. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik ini untuk memperolah data primer berupa komponen-komponen penyelenggaraan pendidikan dan bentuk-bentuk serta kadar kepedulian masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan .
Dilihat dari cara menjawabnya, teknik ini termasuk teknik angket tertutup. Artinya, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti sudah disediakan. Sehingga responden tinggal memilih di antara alternatif jawaban yang teleh disediakan.

c. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan porses tanya jawab secara langsung antara pewawancara dengan informan atau responden. Menurut Donald Ary dkk seperti dikutip Yatim Riyanto, wawancara itu bisa dibagi menjadi dua jenis. Pertama, jenis wawancara berstruktur, yaitu wawancara yang pertanyaan dan alternatif jawabannya sudah disediakan oleh pewawancara. Kedua, wawancara tak berstruktur, yaitu wawancara yang lebih bersifat informal. Dalam wawancara yang pertanyaannya tidak dipersiapkan dengan kaku ini informan atau responden diberi kebebasan menguraikan jawabannya serta mengungkapkan pandangannya sesuka hati. (Riyanto, 2003: 70)
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara tak berstruktur untuk mendapatkan data pelengkap berupa keadaan atau kondisi sosial, budaya dan kecendrungan di sekitar subjek, atau bahkan terkadang digunakan untu memperoleh jenis data primer seperti peneliti maksudkan di atas. Hal ini sangat penting untuk dijadikan bahan perbandingan dengan data yang diperoleh dengan taknik-teknik lain oleh peneliti. Atau dengan kata lain, sebagai bahan untuk mengadakan verifikasi. Lain dari itu, data pelengkap ini akan memudahkan peneliti.
d. Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari dokumen yang berarti barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi ini, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturanperaturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. (Arikunto, 2005: 222)
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik ini dengan maksud dapat mengumpulkan data yang berkaitan dengan administrasi sekolah, daftar guru, daftar murid dan wali murid, serta data-data lain berbentuk dokumen yang sekiranya akan dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan dan kelengkapan penelitian ini.
4. Teknik Analisis Data
Untuk membuktikan hipotesis yang telah peneliti kemukakan dalam bagian terdahulu proposal ini, terlebih dahulu peneliti harus menganalisa data yang telah penelti peroleh dari lapangan. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang bersifat korelasi, maka peneliti menggunakan metode product moment untuk kepentingan menganalisa data tersebut.

K. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dalam skripsi ini, maka pembahasannya diatur dalam bab demi bab. Dan secara garis besar pebahasan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
BAB I, adalah bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah yang menjelasakan tentang hakikat pendidikan beserta tugas ataupun tanggung jawab pemerintah dan masyarakat terdap terlakasananya penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Lain dari itu pada bagian ini peneliti menjelaskan tentang perhatian masyarakat yang mulai menurun terhadap penyelenggaraan pendidikan di MI Bakungwati Desa Bakung Lor, Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon seiring dengan dilakasanakannya program Bantuan Oprasional Sekolah (BOS) oleh pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu. Ini menjadi persoalan penting karena sebenarnya peran serta masyarakat sangatlah penting dalam sebuah penyelenggaraan pendidikan seperti tersirat dalam UU No. 2 tahun 1989 pasal 1 ayat 2 yang menegaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan Bangsa Indonesia. Ini apa artinya? Penyelenggaraan pendidikan seharusnya diselenggarakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenya, tidak mungkin sebuah pendidikan akan betul-betul terselenggara sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa adanya peran serta masyarakat di dalamnya. Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian, maka peneliti membuat rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, alasan memilih judul, asumsi dan hipotesis, ruang lingkup penelitian, batasan istilah dalam judul dan sistematika pembahasan, yang kesemuanya itu peneliti cantumkan dalam bagian ini.
BAB II adalah kajian pustaka. Pada bagian ini peneliti memaparkan tentang bentuk-bentuk partisipasi masyarakat terhadap sekolah dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Bentuk partisipasi masyarakat (komite sekolah/wali murid) bisa berupa tenaga, berupa pemikiran dan berupa finansial. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan terdiri dari beberapa komponen seperti sarana dan prasarana sekolah (seperti pengadaan gedung, bangku, papan dan lain-lain), pembiayaan (seperti SPP, iuran ujian, iuran OSIS, iuran registrasi, iuran hafalatul imtihan dan iuran-iuran lainnya), tenaga (seperti perawatan dan pemeliharaan aset-aset madrasah dll.) Lain dari itu, pada bagian ini peneliti juga membahas tinjauan teoritis tentang penyelenggaraan pendidikan dan korelasi antara partisipasi masyarakat dengan penyelenggaraan pendidikan.
BAB III adalah Metodologi Penelitian. Dalam bab ini peneliti menjelaskan tentang pengertian metodologi penelitian dan dilanjutkan dengan Rancangan penelitian yang berisi penjelasan bahwa pendekatan yang peneliti pakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang bersifat korelasi. Setelah itu teknik menentukan subjek penelitian, di bagian ini peneliti menjelaskan bahwa peneliti menggunakan sampel dikarenakan populasinya melebihi 100. Dilanjutkan dengan penjelasan teknik pengambilan data, dimana dalam penelitian ini peneliti menggunakan angket, observasi, wawancara dan dokumentarsi. Terakhir teknik analisis data, pada bagian ini peneliti menjelaskan bahwa dalam menganalisis data yang diperolah di lapangan, peneliti menggunakan teknik analisa statistik yakni korelasi product moment.
BAB IV adalah laporan penelitian. Pada bab ini peneliti akan melaporkan kegiatan penelitian ini sejak dari persiapan, pelaksanaan, penyajian dan analisis data, pembuktian hipotesis hingga pambahasan.
BAB V adalah Penutup. Bab ini berisi kesimpulan peneliti dan saransaran yang didasarkan pada hasil penelitian ini.


















DAFTAR PUSTAKA

 Dr. Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara & Depag, 2000.
 Prof. Dr. Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1997.
 Maimun Syamsudin, Hermeniutika Cangkolang dalam Proses Pendidikan Berbasis Moral, Edukasi, 2 (05), 2006.
 Kartono, Kartini, Tujuan Pendidikan Harus Singkron dengan Tujuan Manusia, Bandung: Mandar Maju, 1991.
 Poerwadarminta, WJ.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
 Suprapto, Peran Masyarakat dalam Pendidikan; Suatu Bahasan Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Pelita Pustaka, 2003
 Isdijoso, Widjayanti, Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan Bantuan
 Operasional Sekolah (BOS) 2005, Jakarta: Lembaga Penelitian SEMERU, 2006. www.bappenas.go.id/.../&view=443/SMERU_BOS_PKPS_BBM.pdf
 Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional,1982.
 Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
 Dr. Yatim Riyanto, M.pd. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kualitatif dan Kuantitatif, Unesa University Press, 2007.
Proposal Penelitian

PERAN SOEKARNO DALAM PERPECAHAN PERPOLITIKAN ISLAM

PERAN SOEKARNO DALAM PERPECAHAN PERPOLITIKAN ISLAM

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

Dosen Pengampu :
Prof.DR.H. Imran Abdullah, M.Ag
DR. Asmuni, M.Ag






Disusun oleh:
HISYAM NUR



PASCASARJANA IAIN
SYEKH NURJATI
CIREBON
2009
KATA PENGANTAR



Assalmu’alaikum Wr.Wb.
Untaian Puji syukur hanyalah milik Allah Rabbul Ghafur Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasi, karena dengan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang sangat sederhana ini yang penulis menyadari bahwa isi makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan.
Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw kepada keluarganya para sahabatnya dan kepada kita semua umatnya.
Dalam makalah ini kami ingin memaparkan kajian tentang “Peran Soekarno Dalam Perpecahan Perpolitikan Islam ”. Sebagai tugas makalah dari Mata Kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam dengan dosen pengampu Bapak. Prof.DR.H. Imran Abdullah dan DR. Asmuni, M.Ag, M.Ag
Dan untuk selebihnya, kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan atau dalam penjelasan. dan juga kami berharap semoga makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi kami khususnya. Amiin yaa rabbal ‘alamin.

Cirebon, Desember 2009




Penulis







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………....i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Beografi Sukarno 3
B. Soekarno Dan Perpolitikan Islam 7
BAB III PENUTUP 11
A. Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setelah partai politik di Indonesia dibekukan pada masa pendudukan Jepang, maka melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945 telah dibangkitkan kembali. Maklumat tersebut mendapat sambutan secara meluas oleh kalangan tokoh politik, tidak terkecuali tokoh politik muslim. Bahkan sambutan tersebut meluas pada kalangan, yang sebelumnya termasuk kalangan yang masih awam dalam perpolitikan, turut mendirikan partai.
Selanjutnya eforia politik ini terhenti dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang juga dikenal sebagai clash II. Tenaga rakyat lebih banyak disalurkan dalam perang melawan Belanda. Setelah Belanda dan Sekutu hengkang dari bumi Indonesia, pada akhir 1949 negara Indonesia memilih sistem pemerintahan parlementer yang beranggotakan wakil-wakil daerah, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, dan anggota-anggota yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno berdasarkan perkiraan kekuatan partai politik. Oleh karena itu terdapat beberapa partai politik mendapattkan jumlah kursi cukup signifikandisebabkan klaim massa yang cukup besar.
Pada masa perjuangan kemerdekaan umat Islam telah bersatu padu memerdekakan bumi Indonesia. Kemudian pada masa kemerdekaan mereka pun bahu membahumengisinya. Perjuangan politik Islam pada masa awal masih menunjukkan persatuan yang kokoh. Namun menjadi bercerai berai pasca pecahnya Masyumi. Penyebab mayor perpecahan tersebut telah banyak diketahui khalayak dalam berbagai media publikasi berupa buku, jurnal, dan media terkait yang sepadan lainnya. Makalah ini akan lebih menitik beratkan kepada permasalahan minor, yaitu penelusuran peran Soekarno dalam perpecahan perpolitikan Islam di Indonesia. Permasalahan minor bukan berarti diabaikan layaknya bukan masalah. Bahkan bukannya tidak mungkin justru permasalahan minorlah yang sebenarnya merupakan akar permasalahan sesungguhnya.
Dengan melihat latar belakang diats maka pemakalah akan merumuskan masalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Beografi Sukarno ?
2. Bagaimana Soekarno Dan Perpolitikan Islam ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Dalam penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Beografi Sukarno
2. Soekarno Dan Perpolitikan Islam



























BAB II
PEMBAHASAN

A. Beografi Sukarno
Ir. Soekarno (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.

1. Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali .
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

2. Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya
kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
3. Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
4. Masa kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
5. Sakit hingga wafat
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.

B. Soekarno Dan Perpolitikan Islam
Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu sesepuhnya. Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha menggulingkan kekuasaan pemerintahan, maka Soekarno dengan lantang, dalam salah satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan melakukan manuver politik demikian maka sudah tentu Soekarno mendapatkan dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno. Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa apabila terjadi balance of power. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. Setelah gagal melakukan coop d’etat, PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno dan PKI.
Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai. Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.
Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman sebagi menteri agama dan pada giliran selanjutnya organisasi massa ini menolak secara tegas tuntutan NU. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut, maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik balik oleh NU dengan menyatakan bahwa refreshing kabinet hanya akan menghambat upaya penanaman pengaruh dan dakwah Islam dalam birokrasi kementrian agama. Kemungkinan besar NU pada saat itu merasa bahwa jika kementrian Agam jatuh ke tangan Muhammadiyah maka massa NU yang cukup besar menyokong Masyumi hanya akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah. Maka kemudian KH. Wahab Hasbullah juga mengajukan calon lain untuk menduduki jabatan sebagi Menteri Agama yaitu KH. Masykur, KH. Faturrachman, H. Mustari, dan M. Machien. Namun pada akhirnya kementian agama tetap jatuh ke tangan Muhammadiyah sehingga pada giliran selanjutnya terbetik isu keluarnya NU dari tubuh Masyumi. Sampai kemudian dalam kongres ke 19 NU, kejelasan sikap NU telah nyata bahwa organisasi massa tersebut menyatakan keluar dari tubuh Masyumi.
Pada Kongres PKI V tahun 1954, PKI telah merumuskan strategi baru perjuangannya untuk “meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme” dengan menempuh taktik kalsi berupa “front persatuan nasional” yaitu bekerja sama dengan golongangolongan non-komunis dan mendukung kabinet nasional walaupun dianggap sebagai “borjuasi nasional”. Strategi ini mirip jika tidak dapat dikatakan mengadopsi strategi terbaru Uni Sovyet yang berusaha menggandeng Negara-negara yang baru merdeka di Asia, guna mensukseskan agenda penyebaran paham negaranya. Untuk menghadapi Pemilu 1955, PKI bahkan bersedia menggandeng Partai NU yang merupakan pecahan dari Masyumi.
Langkah awal yang dilakukan oleh PKI tersebut terkait dengan agenda politiknya untuk mencegah kemungkinan adanya kerjasama antara Masyumi (dan pecahannya) dengan PNI. Maka kemudian PKI mengeluarkan statemen bahwa Masyumi merupakan golongan borjuis besar yang melayani kepentingan kapitalis luar negeri dan mengemukakan adanya hubungan yang erat antara Masyumi dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Dalam percaturan politik pada masa ini, PNI di bawah kepemimpinan Sidik Djojosukarto lebih memilih bekerja sama dengan PKI dibandingkan dengan Masyumi. Dapat ditelusur bahwa alasan utamanya tentu karena Masyumi lebih merupakan saingan utama dibandingkan PKI dalam Pemilu 1955 dan pengaruh Masyumi yang agamis akan dinetralisasi dan mendapatkan lawan PKI yang berideologi komunis. Terbukti pula salah satu akibat pertarungan politis tersebut telah memecah kelompok-kelompok dalam tubuh Masyumi, dengan ditandai oleh keluarnya NU sebagi ormas utama dalam partai berhaluan Islam tersebut.













BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian, Soekarno memiliki peran secara tidak langsung terkait dengan perpecahan dalam tubuh partai politik Islam. Peran tersebut lebih didorong oleh upaya dan kepentingan politiknya, termasuk dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Sementara telah terjadi friksi dalam tubuh umat Islam sehingga kondisi demikian mampu ditangkap dan dimanfaatkan guna melemahkannya.
Sungguh mengherankan, umat Islam mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan tegaknya kemerdekaan dan cita-cita keadilan serta kemandirian dalam berbangsa dan bernegara. Namun mereka kini justru bercerai berai dalam mengisinya. Perpolitikan Islam lebih banyak dilanda konflik internal yang memakan sumber daya energi sementara hasil yang diharapkan masih jauh dari jangkauan.





















DAFTAR PUSTAKA

 Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,. SH. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. (Konstitusi Press, Jakarta, 2005). Hal. 174
 Dahlan Ranuwihardjo, SH. 50 Tahun Sejarah Perjuangan HMI Turut Menegakkan dan Membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pengantar Ramli HM Yusuf (editor). 50 Tahun HMI Mengabdi Republik. (Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta, 1997). Hal. 3
 Abdul Razak. Apakah Soekarno Al Muslimun No. 355 Th. XXVIII/ 1998.
 Cosmas Batubara. Sejarah Lahirnya Orde Baru, Hasil dan Tantangannya. (Yayasan Prahita, Jakarta, 1986). Hal. 4
 Pusat Sejarah dan tradisi ABRI. Bahaya Laten Komunisme di Indonesia. Jilid III. (Markas Besar angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah ABRI, Jakarta, 1995).
 Kolonel D. Soegondo. Komunisme di Indonesia. (Lembaga Pertahanan Nasional, Jakarta, 1981)
 Kamarudin. Siklus Kekalahan Partai Islam. Dalam SABILI Edisi Khusus. Sejarah Emas Muslim Indonesia. No. 9 Th. X. (Bina Media Sabili, Jakarta, 2003). Hal. 93
 http://www.pnri.go.id/artikel/seminar/11062001/makalah1.htm

eksistensi tasawuf di era globalisasi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasauf Islam merupakan bagian integral dari ajaran spiritual Islam yang bersumber dari al-qur’an dan al-Sunnah, lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam itu sendiri. Namun tasauf berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu baru muncul pada abad kedua atau ketiga Hijriyah. Sebelum abad kedua dan ketiga istilah tasauf belum dikenal dikalangan masyarakat muslim akan tetapi bukan berarti ajaran tasauf belum ada pada permulaan Islam, ia sudah ada tapi tidak secara eksplisit sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu. Bahkan bila kita merujuk lebih jauh kebelakang tidak hanya tasauf yang tidak dikenal pada periode awal Islam, disiplin ilmu yang lainpun seperti fiqig, tauhid, tafsir, ilmu hadists belum dikenal pada masa Rasulullah.
Melalui tulisan yang singkat ini penulis ingin menekankan kepada Kaum muslimin dan muslimat bahwa ajaran tasauf bukanlah suatu ajaran yang menyimpang dari ajaran Islam dengan catatan selama ia merujuk kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, menjelaskan ada tig macam ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, yaitu ilmu fiqih, ilmu tauhid dan ilmu tasauf/ilmu srri. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ajaran tasauf bukanlah milik kelompok tertentu saja, tapi ia harus dimiliki oleh setiap orang terlebih lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini minimal ajaran tasauf yang bersifat sederhana seperti sabar, syukur, tawakkal dan sebagainya. Karena tasauf mengajarkan nilai-nilai spiritual yang membawa kepada kesejukan, ketentraman dan kedamaian bagi jiwa manusia.
Tasauf merupakan ajaran keruhaniaan yang menekankan kepada kesuciaan jiwa, hati (qalbu) dengan konsep takhally, tahally dan tajally melalui riyadhah yang dilakukan secara kontinyu, baik melalui dzikrullah, kontemplasi dan amal-amal shaleh lainnya menuju insan kamil (manusia paripurna).
Dengan melihat latar belakang masalah diatas maka penulis akan mencoba merumuskan masalah sebagai berikut.
B. Perumusan Masalah
1. Pengertian Tasauf
2. Sejarah Singkat Tasauf
3. Sumber Ajaran Tasauf
4. Tujuan Ajaran Tasauf
5. Signifikansi Tasauf di Era Modern
6. Manfaat Mempelajari Tasauf di Era Modern
7. Tasauf Solusi Kekeringan Spritual di Era Modernisasi dan Globalisasi
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh kejelasan tentang :
1. Pengertian Tasauf
2. Sejarah Singkat Tasauf
3. Sumber Ajaran Tasauf
4. Tujuan Ajaran Tasauf
5. Signifikansi Tasauf di Era Modern
6. Manfaat Mempelajari Tasauf di Era Modern
7. Tasauf Solusi Kekeringan Spritual di Era Modernisasi dan Globalisasi






BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasauf
Pengertian tasauf baik secara etimologi maupun terminolgi, para ahli (ulama tasauf) ternyata berbeda pendapat. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Menurut Syekh al- Islam Zakaria al-Ansari: “Tasauf mengajarkan cara untuk mensucikan diri, meningkatkan moral dan membangun kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai abadi . Unsur utama tasauf adalah penyucian jiwa, dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagian dan keselamatan abadi”.
Ketika Muhammad al-Jurayri ditanya tentang tasauf, beliau menjelaskan, “Tasauf berarti menyandang setiap akhlak yang mulia dan meninggalkan setiap akhlak yang tercela”.
Ma’ruf al-Karkhi, tasauf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada ditangan makhluk.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa tasauf adalah suatu ajaran yang selalu berupaya membawa para orang-orang yang menyelaminya berada dalam kesucian jasmani dan ruhani lahir dan batin, ta’at kepada Allah dan Rasulnya, selalu berusaha menghiasi diri dengan segala sifat-sifat mahmudah (terpuji) dan meningglakn segala sifat-sifat mazmumah (tercela) dalam upaya meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. melalui takhalli, tahalli dan tajally.
B. Sejarah Singkat Tasauf
Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama Hijriyah belum meneganal istilah tersebut. Namun bentuk amaliah para Sufi itu tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.
Sejarah historis ajaran tasauf mengalami perkembangan yang sangan pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw. baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Tasauf pada masa Raulullah saw. adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali. Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasauf dengan cara mendirikan madrasah tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari Huzaifah Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasauf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasauf sebagai pembuka jalan generasi berikutnya. Tasauf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru muncul pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih jelas pada abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual , tasauf telah ada sejak adanya manusia, Usianya setua manusia. Smua nabi dan Rasul adalah Sufi, yang tidak lain adalah manusia sempurna (insan kamil). Nambi Muhammad adalah Sufi terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling sempurna.
C. Sumber Ajaran Tasauf
Menurut para Sufi, bahwa sumber tasauf adalah dari agama Islam itu sendiri, tasauf merupakan saripati dari ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, qwal dan aktifitas sahabat, aktifitas dan qwal tabi’in. Diakui memang banyak pendapat yang mengatakan bahwa ajaran tasauf Islam bukanlah semata-mata lahir dari ajaran Islam tetapi ia lahir merupakan perpaduan atau pengaruh berbagai unsur ajaran agama sebelum agama Islam itu lahir, seperti pengaruh ajaran Hindu, Yahudi, Kristen, Persia, Yunani dan sebagainya. Namun penulis tetap berkeyakinan bahwa tasauf Islam adalah murni bersumber dari semangat dan ruh ajaran Islam itu sendiri serta perilaku Rasul dan sahabat-sahabat beliau, kendatipun terdapat kesamaan antara ajaran tasauf Islam dengan ajaran spiritual agama-agama lain itu hanya secara kebtulan saja. Sedangkan Dasar ajaran tasauf dalam al-Qru’an antara lain:
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kea rah manapun kamu menghadap di situ akan kamu jumpai wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 2/115)
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf : 50/16)
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’du: 13/28)
Dasar ajaran tasauf dari hadits:
(أن تعبد الله كأ نك تراه فإ ن لم تكن تراه فإ نه يراك (متفق عليه
Artinya:
Artinya :“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka ia pasti melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hati adalah suatu hal yang selalu dibahas dan dibicarakan dalam ajaran tasauf, dan inilah yang selaul menjadi objek kajian, tema sentral tasauf. Hati harus selalu diasah dan dipertajam untuk menerima panjaran nur Ilahi melalui dzikrullah, dan amal shaleh lainnya, karena bila hati itu kotor ia tidak akan dapat menerima pancara nur Allah swt. Namun apabila hati itu bersih ia bening lakasana kaca niscaya ia dapat menerima pancaran nur Allah dan dapat pula memantulkan cahaya, disaat hati bersih bening laksana kaca terbukalah baginya hijab (tabir) dan muncullah musahadah, mukasyafah, ma’rifat dan tersingkaplah baginya segala rahasia-rahasia alam gaib.


D. Tujuan Ajaran Tasauf
Tujuan akhir mempelajari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus). Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik. Bergitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah. Ibrahim bin Adham (w. 742) mengatakan, Tasauf membawa manusia hidup menurut tata aturan kehidupan yang sebenarnya sesuai dengan konsef al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. seperti hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, syukur, tawadhu, hidup dengan melakukan sesuatu pada tempatnya. Dikalangan para Sufi mendekatkan diri kepada Allah dapat ditempuh dengan berbagai maca cara melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu seperti zuhud, wara’, taubat, raja’, khauf, sabar dan seterusnya sampai pada puncaknya ke tingkat ma’rifat bahkan sampai fana, bersatu dan menyatu dengan Tuhan (ittihad) dan itulah kenikmatan tertinggi yang di alami dan dirasakan para Sufi yang tidak dapat dilukiskan dan di gambarkan dengan kata-kata ataupun simbol-simbol. Kendatipun pengalaman spiritual itu dicoba untuk dijelaskan dengan kata-kata atau apapun bentuknya, itu tidak akan sama persis dengan apa yang dialami oleh yang menceritakan (Sufi). Pengalaman spiritual seorang Sufi kalau dianalogikan tak obahnya bagaikan rasa mangga, bagaimanapun seseorang menjelaskan rasa magga kepada orang lain tetapi kalau seseorang tersebut belum pernah mencicipi rasa mangga, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan paham dan mengerti bagaimana rasanya mangga yang sesungguhnya. Dengan kata lain pengalaman spiritual para Sufi itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat diungkapkan. Biasanya beberapa model ungkapan verbal yang dipilih para Sufi dalam menyampaikan pengalaman spiritualnya, yang paling popular adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang bernada puitis, berbentuk humor dan kisah-kisah. Sehingga dengan demikian pesan-pesan, nasehat-nasehat yang mereka tuliskan dapat ditafsirkan para pembaca sesuai dengan kemampuan daya nalar mereka dalam menangkap pesan yang terkandung dibalik teks tersebut.

E. Signifikansi Tasauf di Era Modern
Peradaban moderen yang bermula di Barat sejak abad XVII merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme dan emperisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad moderen Barat cenderung memisahkan ilmu pengetahuan, filsafat dari agama yang kemudian dikenal dengan jargon sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme dan emperisme dalam satu paket epistimologi melahirkan metode ilmiah (scientific method).
Penemuan metode ilmiah yang berwatak emperis dan rasional secara menakjubkan membawa perkembangan sains yang laur biasa canggihnya sehingga melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan paradigma pemikiran baru. Fenomena serba mudah dan baru ini merupakan wujud akselarasi dari pemikiran filsafat Barat modern. Filsafat Barat modern memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat penegtahuan rasional. manusia seolah digiring untuk memikrkan dunia an-sich sehingga Tuhan, surga, neraka dan persolan-persolan eskatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran.
Konsep sains Barat di era moderen yang dikemukan di atas sangat berbeda dengan konsep sains dalam Islam, sebagiamana dinyatakan oleh Sayyid Husein Nasr, bahwa ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam berdasarkan gagsan tentang tauhid, yang menjadi inti dari al-qur’an. Dengan demikian menurut Nsr seluruh ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam dengan berbagai keragamannya tidak terlepas dari keesaan Tuhan, dalam kerangka ini, sains yang dapat disebut Islami adalah sains yang mengungkapkan “ketauhidan alam”.
Peradaban, ilmu pengetahuan, dan sains dalam Islam tidak terlepas dari sentuhan nilai-nilai spiritual, karena ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam harus mampu menghantarkan seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah melalui pemahaman, pengamatan, riset dan penelitian yang dilakukan terhadap ayat-ayat kauniyah yang tersebar diseluruh penjuru alam, sebab antara ayat qauliyah dan kauniyah selalu berkorelasi. Hal itu akan lebih jelas bila dilihat dari segi keceradsan sufistik. Kecerdasan sufistik dapat dilihat dalam konsep tasauf, seperti ilmu, tafakur, ma’rifat, dan ma’rifat israqiyah. Bahwa yang dimaksud ilmu adalah semua pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Semua pengetahuan itu harus bermanfaat untuk mengenal ciptaan, keagungan dan kebesaran Allah, sehingga kemudian mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Apresiasi yang tinggi pantas diberikan terhadap tasauf karena sumbangan-sumbangannya yang sangat bernilai bagi perkembangan peradaban Islam. Sumbagan itu dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modern.
F. Manfaat Mempelajari Tasauf di Era Modern
Mempelajari tasauf membawa manfaat yang sangat banyak dalam kehidupan ini, baik secara individu, masyarakat, bangsa dan negara. Bila semua orang bertasauf insyaallah bumi ini akan aman dari segala konflik dan permusuhan, karena ajaran tasauf selalu membawa peasan-pesan universal yang bernuansa kesejukan, kedamaian, ketentraman, cinta kasih dengan sesama, bahkan dengan alam, lingkungan dan makhluk-makhluk lainnya. Ajaran tasauf datang menmbus lintas suku, ras, etnis bahkan agama. Para Sufi seperti Ibn ‘Arabi umpamanya, sangat menghargai dan menghormati pluralisme agama. Dengan demikian konsep ajaran tasauf sangat toleran, terbuka dan dapat diterima oleh semua golongan, kelompok dan semua kalangan.
Orang-orang yang mengamalkan ajaran tasauf (para Sufi) hidupnya akan terasa lebih bermakna, indah, dan penuh kesederhanaan dalam menjalani kehidupan ini, segala sesuatunya dijalani dengan ikhlas, syukur, sabar, qana’ah, dan tawakkal atas segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dirinya, tidak mengeluh dan tidak putus asa, tetapi selalu oftimis dalam mengharungi hiudup ini dan segala sesuatunya dikembalikan kepada Allah swt. Para Sufi selalu mampu menangkap pesan-pesan dan hikmah dibalik realitas yang terjadi di alam ini.
Para Sufi sangat menyadari betul akan siapa dirinya dan bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu menguasai hawa nafsu mereka, sehingga dengan demikian segala apa yang mereka lakukan selalu berada dalam koridor kepatuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan, kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah mengundang mereka kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 89/27-30). Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat (maqam) insan kamil (manusia paripurna) yang didalam diri mereka sudah tercermin sifat-sifat Tuhan.
G. Tasauf Solusi Kekeringan Spritual di Era Modernisasi dan Globalisasi
Di zaman modernisasi dan globalisasi sekarang ini, manusia di Barat sudah berhasil mengembangkan kemampuan nalarnya (kecerdesan intelektualnya) untuk mencapai kemajuan yang begitu pesat dari waktu kewaktu di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang sains dan teknologi yang kemajuannya tidak dapat dibendung lagi akan tetapi kemajuan tersebut jauh dari spirit agama sehingga yang lahir adalah sains dan teknologi sekuler. Manusia saling berpacu meraih kesuksesan dalam bidang material, soial, politik, ekonomi, pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan dan seterusnya, namun tatkala mereka sudah berada dipuncak kesuksesan tersebut lalu jiwa mereka mengalami goncangan-goncangan mereka bingung untuk apa semua ini. Kenapa bisa terjadi demikian, karena jiwa mereka dalam kekosongan dari nilai-nilai spiritual, disebabkan tidak punya oreintasi yang jelas dalam menapaki kehidupan di alam dunia ini. Sayyid Hussein Nasr Menilai bahwa keterasingan (alienasi) yang di alami oleh orang-orang Barat karena peradaban moderen yang mereka bangun brmula dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruhaniyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Akibatnya manusia lupa terhadap eksistensi dirinya sebagai ‘abid (hamba) di hadapan Tuhan karena telah terputus dari akar-akar spiritualitas.Hal ini merupakan fenomena betapa manusia moderen memiliki spiritualitas yang akut. Pada gilirannya, mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, dan kemudian terperangkap dalam kehampaan dan ketidak bermaknaan hidup.
Keimanan atau kepercayaan pada agama (Tuhan) itu, secara pragmatis merupakan kebutuhan untuk menenangkan jiwa, terlepas apakah objek kualitas iman itu benar atau salah. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa agama selalu mengajarkan dan menyadarkan akan nasib keterasingan manusia dari Tuhannya. Manusia bagaimanapun juga tidak akan dapat melepaskan diri dari agama, karena manusia selalu punya ketergantungan kepada kekuatan yang lebih tinggi diluar dirinya (Tuhan) atau apapun bentuknya dan agama diturunkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritul.
Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan manusia moderen dari segala asfek spiritual. Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para Sufi. Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekedar entitas-entitas fisik. Sains moderen menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya. Padahal kosmologi adalah “ilmu sakral” yang menjelaskan kaitan dunia materi dengan wahyu dan doktrin metafisis. Manusia sebenarnya menurut fitrahnya tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan spiritual karena memang diri manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan ruhani, manusia disamping makhluk fisik juga makhluk non fisik. Dalam diri manusia tuntutan kebutuhan jasmani dan rahani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, dzikir, etika dan amal shaleh lainnya. Apabila kedua hal tersbeut tidak dapat dipnuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami setres.
Salah satu kritik yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi moderen dari sudut pandang Islam ialah karena ilmu pengetahuan dan teknologi moderen tersebut hanya absah secara metodologi, tetapi miskin dari segi moral dan etika. Pandangan masyarakat moderen yang bertumpu pada prestasi sains dan teknologi, telah meminggrikan dmensi transendental Ilahiyah. Akibatnya, kehidupan masyarakat moderen menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental, yaitu asfek spiritual.
Agama Islam datang membawa pesan universal dengan ajaran yang komprehensif menawarkan solusi dalam berbagai permasalahan kehidupan umat manusia diantaranya berupaya untuk mempertemukan kehidupan materialsitis Yahudi dan kehidupan spiritual Nasrani, menjadi kehidupan yang harmonis antara keduanya. Di bawah bimbingan Nabi Muhammad Rasulullah saw. Kaum muslimin dapat membentuk pribadinya yang utuh untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat dengan melakukan ibadah dan amal shaleh, sehingga mereka memperoleh kejayaan di segala bidang kehidupan. Islam mengajarkan kepada umatnya akan keseimbangan untuk meraih kebahgian dan kesuksesan di dunia dan akhirat secara bersamaan.











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasauf Islam suatu ajaran kerahanian (spiritual) yang bersumber dari ruh syari’at Islam itu sendiri yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Para Sufi dalam mengamalkan ajaran tasauf dengan selalu merujuk kepada akhlak, kepribadian dan ketauladanan Rasulullah swa. Sahabat Nabi yang mula-mula melembagakan ajaran tasauf adalah Huzaifah bin Al-Yamani dengan mendirikan sebuah madrasah yang khusu mengajarkan ilmu tasauf, kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yakni Hasan Al-Basri dari kalangan tabi’in.
Tujuan akhir dari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri seorang hamba kapada Allah sebagai Khaliknya melalui riyadhah melewati stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu, dengan selalu mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan Allah menuju kehidpan yang abadi.
Kehampaan spiritual yang di alami orang-orang Barat, karena disebabkan paradigma perdaban yang mereka bangun dari awal telah menyatakan adanya pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya harus saling bersinergi. Tasauf Isalam tidak menafikan sains, bahkan tasauf Islam banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren.
Masalah keterasingan adalah masalah kejiwaan. Manusia berperan sebagai penyebab munculnya keterasingan dan sekaligus sebagai korban yang harus menanggung akibatnya. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang mahawujud dan mahaabsolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak berarti dihadapan eksistensi yang mahaabsolut.
DAFTAR PUSTAKA

 Al-Qusyayri, Risalah Sufi, Bandung: Pustaka Setia, 1990.
 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
 Ary Ginanjar Agustian, Membangaun Rahasia Sukses Kecerdasan Emosi dan Spiritual, Jakarta: Arga, 2005.
 Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Kompas, 2002.
 Azyumardi Azra, Histografi Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.
 Ahmad Najib Burhani, “Tarekat” Tanpa Tarekat Jalan Baru Menjadi Sufi, Jakrta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002.
 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
 Harapandi Dahri, Meluruskan Pemikiran Tasawuf Upaya Mengembalikan Taswuf Berdasarkna Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Jakarta: Pustaka Irfani, 2007.
 Jamil, Cakrawala Tasauf Sejarah Pemikiran dan Kontekstualitas, Jakrta: Gaung Persada Press, 2007.
 Jurnal Keislaman dan Peradaban, Volume 3, Februari 2006.
 Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, Jakarta: Hikmah, 2005.
 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasauf, Jakarta: Erlangga, 2006.
 M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasauf di Indonesia, Bandung: Pustaka Stia, 2001.
 Murtadha Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual Sekilas Tentang Ajaran Tasauf dan Tokoh-tokohnya, Bandung: Pustaka Hidayah, 2006.
 M. Quraish Sihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir & Doa, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
 Taqiuddin Ibnu Taimiyah, Tasawuf dan Krirtik Terhadap Filsafat Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.