Daftar Blog Saya

Rabu, 30 Desember 2009

TAFSIR AL-QUR’AN TENTANG INFAQ

TAFSIR AL-QUR’AN TENTANG INFAQ

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Tafsir Tarbawi

Dosen Pengampu :
Prof.DR. Salim Badjri







Disusun oleh:
HISYAM NUR
(5059300032)



PASCASARJANA STAIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009

KATA PENGANTAR


Assalmu’alaikum Wr.Wb.
Untaian Puji syukur hanyalah milik Allah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasi, karena dengan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang sangat sederhana ini. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw kepada keluarganya para sahabatnya dan kepada kita semua umatnya.amin
Dalam makalah ini kami ingin memaparkan kajian tentang “Tafsir Infaq Dalam Surat Al-Baqoroh Ayat 195”sebagai tugas dari Mata Kuliah Tafsir dan Hadist Tarbawi dengan Dosen pengampu Bapak. Prof.DR.H. Salim Badjri
Tidak ada gading yang tak retak, pemakalah juga menyadari bahwa isi makalah ini jauh dari kesempurnaan, saran dan kritik pemakalah sangat harapkan untuk proses perbaikan dan penyempurnaan dalam menyusun makalah selanjutnya. Dan juga kami berharap semoga makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi kami khususnya. Amiin yaa rabbal ‘alamin.

Cirebon, Oktober 2009




Penulis









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………....i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Infaq 3
B. Tafsir Al-Qur’an tentang Infaq 4
C. Hikmah Infaq 7
BAB III PENUTUP 9
A. Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA

















BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ummat Islam adalah ummat yang mulia, ummat yang dipilih Allah untuk mengemban risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala ummat. Tugas ummat Islam adlah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka berada. Karena itu ummat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Bahwa kenyataan ummat Islam kini jauh dari kondisi ideal, adalah akibat belum mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra'du : 11). Potensi-potensi dasar yang dianugerahkan Allah kepada ummat Islam belum dikembangkan secara optimal. Padahal ummat Islam memiliki banyak intelektual dan ulama, disamping potensi sumber daya manusia dan ekonomi yang melimpah. Jika seluruh potensi itu dikembangkan secara seksama, dirangkai dengan potensi aqidah Islamiyah (tauhid), tentu akan diperoleh hasil yang optimal. Pada saat yang sama, jika kemandirian, kesadaran beragama dan ukhuwah Islamiyah kaum muslimin juga makin meningkat maka pintu-pintu kemungkaran akibat kesulitan ekonomi akan makin dapat dipersempit.
Salah satu sisi ajaran Islam yang belum ditangani secara serius adalah penanggulanagn kemiskinan dengan cara mengoptimalkan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah dalam arti seluas-luasnya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW serta penerusnya di zaman keemasan Islam. Padahal ummat Islam (Indonesia) sebenarnya memiliki potensi dana yang sangat besar.
Terdorong dari pemikiran inilah, kami mencoba untuk menuliskan risalah Infaq yang ringkas dan praktis agar dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Meskipun kami sadar bahwa rislah ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian kami berharap risalah ini dapat bermanfaat. Koreksi, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan risalah Infaq ini

Semoga Allah SWT mengampuni kekurangan dan kesalahan yang ada dalam risalah ini, serta mencatatnya sebagai amal shaleh. Amin

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengetian Infaq ?
2. Bagaimana Tafsir Al-Qur’an Tentang Infaq ?
3. Bagaimana Hadist tentang Infaq
4. Bagaimana Hikmah Infaq ?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Pengetian Infaq
2. TAfsir Al-Qur’an Tentang Infaq
3. Hadist tentang Infaq
4. Hikmah Infaq

















BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH


A. Pengetian Infaq
Infaq arti menurut bahasa “Membelanjakan”. Pengertian Menurut Syara' ; Mengeluarkan harta karena taat (patuh) kepada Allah dan Menurut Kebiasaan ; Pengeluaran derma setiap kali seseorang Muslim menerima rezeki (kurnia) dari Allah, sejumlah yang dikehendaki dan direlakan oleh sipenerima rezeki. infaq : mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat, ada yang wajib dan ada pula yang sunnah, infaq terdiri dari:
1. Infaq Wajib; seperti zakat, nadzar
2. Infaq Sunnat' ; seperti memberikan pertolongan dengan memberikan suatu barang.
Seperti Firman Allah SWT yang artinya “........ dan tetaplah kamu ber-infaq untuk agama allah, dan janganlah kamu menjerumuskan diri dengan tanganmu sendiri kelem- bah kecelakaan (karena menghentikan infaq itu)." (Q-S. Al Baqarah ayat 195)
Dan Sabda Rasulullah SAW. Dari Abu Musa Al-Asyary R.A. dari Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tiap-tiap Muslim haruslah bersedekah"; Sahabat bertanya; "Bagaimana kalau dia tidak mampu Ya Rasulullah?"; Nabi menjawab, "Dia harus berusaha dengan kedua tangan (tenaga)nya hingga berhasil untuk dirinya dan untuk bersedekah"; Sahabat bertanya, "bagaimana kalau dia tidak mampu?"; Nabi menjawab; " menolong orang yang mempunyai kebutuhan dan keluhan"; Sahabat bertanya, "bagaimana kalau dia tidak mampu?"; Nabi menjawab, "Dia melakukan sesuatu perbuatan baik atau menahan dirinya dari perbuatan munkar (kejahatan) itupun merupakan shodaqoh baginya".


Sedangkan Ketentuan ber- infaq adalah sebagai berikut :
1. Infaq Wajib ; bentuk dan jumlah pemberiannya telah ditentukan.
2. Infaq Sunnat : Tidak ada ketentuan dalm bentuk dan jumlah pemberiannya, terserah kepada pertimbangan dan keikhlasannya.

B. TAfsir Al-Qur’an Tentang Infaq
1. Al-Baqoroh Ayat 195

    •             

Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

2. Al-Baqoroh Ayat 215

                    •    
Artinya : “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.”

3. Al-Baqoroh Ayat 219

          ••                   
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”

4. Al-Baqoroh Ayat 254

                      

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.”

5. Al-Baqoroh Ayat 261-262

•                          
                         

Artinya : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”











6. Al-Baqoroh Ayat 265

           •                 




Artinya : “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.”

7. Al-Baqoroh Ayat 267
                           •    

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

8. Al-Baqoroh Ayat 274
    •             
Artinya : “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”





9. Ali Imron Ayat 134
         ••     

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.’


C. Hadist tentang Infaq

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Rasulullah Saw pernah bersabda, "Allah berkata, 'Keluarkanlah (infaq) dan akan akan kukeluarkan untukmu'" Nabi Saw juga berkata, "tangan Allah adalah penuh, dan tidak akan berkurang meskipun dikeluarkan sepanjang siang dan sepanjang malam".

Nabi Saw juga berkata, "tidakkah kalian lihat apa yang telah Dia keluarkan sejak Dia menciptakan langit dan bumi? sesungguhnya apa yang ada di Tangan-Nya tidaklah berkurang, dan Singgasana-Nya di atas air; dan di Tangan-Nya terdapat mizan yang dengan itu Dia meninggikan atau merendahkan seseorang".

D. Hikmah Infaq

Infaq merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain :
1. Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah papa dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT
2. Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.
3. Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati.
4. Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat, dan dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti'ma (tanggung jawab bersama)
5. Menjadi unsur penting dalam mewujudakan keseimbanagn dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat
6. Infaq adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah
7. Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya komunisme 9atheis) dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur.
BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Infaq arti menurut bahasa “Membelanjakan”. Pengertian Menurut Syara' ; Mengeluarkan harta karena taat (patuh) kepada Allah dan Menurut Kebiasaan ; Pengeluaran derma setiap kali seseorang Muslim menerima rezeki (kurnia) dari Allah, sejumlah yang dikehendaki dan direlakan oleh sipenerima rezeki
Sedangkan didalam Al-Qur’an sendiri banyak yamh membahas tentang infaq misalnya dalam beberapa surat dibawah ini yaitu : Al-Baqoroh Ayat 195, Al-Baqoroh Ayat 215, Al-Baqoroh Ayat 219, Al-Baqoroh Ayat 254, Al-Baqoroh Ayat 261-262, Al-Baqoroh Ayat 265, Al-Baqoroh Ayat 267, Al-Baqoroh Ayat 274, Ali Imron Ayat 134
Infaq memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain :
 Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa
 Menjadi unsur penting dalam mewujudakan keseimbanagn dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat
 Infaq adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi
 Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera







DAFTAR PUSTAKA


 An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982
 Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996
 Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul MaĆ¢€™rifah. Beirut. Cetakan III. 1989
 Yunus Mahmud, Fiqh Wadih. 1936 Jakarta

NURCHOLIS MADJID DAN PLURALISME AGAMA

NURCHOLIS MADJID DAN PLURALISME AGAMA



MAKALAH


NURCHOLIS MADJID DAN
PLURALISME AGAMA






Oleh :

HISYAM NUR
NIM. 5059300032



PASCASARJANA IAIN
SYEKH NURJATI
CIREBON
2009

KATA PENGANTAR


Kami ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga kita mampu melaksanakan segala aktivitas rutinitas dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Selanjutkan makalah ini kami persembahkan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Islam yang membahas tentang ”Cak Nur dan Pluralisme Agama” dan kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing Bapak Umar Bukhari yang membina mata kuliah Filsafat Islam.
Semoga makalah ini menjadi suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami pribadi. Dan hanya kepada Allah kami akan kembali.


Penulis





BAB I
PENDAHULUAN



A. Latang Belakang
Dalam ranah pemikiran keislaman dan keindonesiaan, sosok Nurcholish Majid merupakan salah satu sosok paling fenominal dan legendaris sepanjang sejarah pemikiran keislaman. Dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan yang mendalam ia mampu memproduksi ide-ide cemerlang tentang konsep-konsep dan berhasil mengkolaborasikan antara pemikiran-pemikiran konservatif dengan pemikiran-pemikian kontemporer. Dengan demikian Nurcholish Majid telah mewariskan kepada umat islam sebuah ensiklopedia pemikiran yang sangat kaya yang diramu dari berbagai peradaban umat manusia.
Namun kalau kita membincang tentang sosok Nurcholis Majid dan beberapa hasil pemikirannya banyak mengundang pro dan kontra di kalangan umat islam. khususnya konsep Pluralisme agama yang digagasnya.
Maka dari itu di dalam makalah ini saya akan membahas tentang Pluralisme Agama yang sesungguhnya ala Nurcholis Majid.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Nurcholis Majid
2. Plurasilme Agama













BAB II
PEMBAHASAN


A. Biografi Nurcholish Majid
Nurcholsi Majid lahir di Jombang Jawa Timu, tepatnya di sebuah kampung kecil Desa Mojoanyar tanggal 17 Maret 1939 M/26 Muharram 1358 H dari kalangan keluagra pesantren. Ayah beliau bernama H. Abd. Majid seorang alim jebolan pesantren Tebuireng dan merupakan santri kesayangan dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Pendidikan yang ditempuh SR dan MI di Mojoanyar; Pesantren Darul ‘Ulum di Rejoso Jombang; KMI (Kulliyatul Mu’allimin al- Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968) dan meraih gelar Doktor dari Universitas Chicago AS (1984) dengan disertasi : Ibn Taymiyyah on kalam and falasifa. Dikukuhkan sebagai Profesor dan Guru Besar IAIN Jakarta (1998), dan juga sebagai guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada 1991-1992. serta Ahli Peneliti Utama LIPI (1999). Pernah menjabat sebagai Ketum HMI dua periode (166-1971); Preseden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara pada tahun 1967-1969; Wakil Sekjen Fellow dalam Eisenhover Fellowship pada tahun 1990. Pendiri dan ketua Yayasan Wakaf Paramadina yang mengarah kepada gerakan intelektual islam di Indonesia dan Rektor Universitas Paramadina Mulya dan Dosen Pascasarjana IAIN Jakarkat.
Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan. Buku-bukunya yang telah terbit ialah; Khazanah Intelektual Islam (Bulan Bintang, 1986), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Mizan, 1988), Islam Doktrin dan Peradaban (Paramadina, 1992), Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Mizan, 1993), Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Paramadina, 1994), Islam Agama Peradaban (Paramadina, 1997).

B. Pluralisme Agama
Lahirnya gagasan pluralisme agama merupakan sebuah refleksi dari pembacaan panjang Nurcholis Majid terhadap fakta sejarah kemajuan umat beragama yang sering kali menampilkan pemandangan yang menghayat dan traumatik. konflik, kekerasan, dan perang atas dasar kebencian yang diwarnai sentimen agama begitu tampak. Semisal dalam negeri sendiri di Sulawesi antara umat Islam dan Kristeni yang terus berkepanjangan. atau diluar negeri semisal konflik Katolik dan Islam di Filipina, Konflik Palestina – Israel, Hindu versus Islam di India dan lain sebagainya.
Sebagai sebuah konsep keagamaan yang mendasar, tentu dalam menggagas dan melontarkan ide pluralisme agama Nurcholish Majid mempunyai pijakan berfikir dan landasan normatif yang kuat dan capable. Dalam hal ini Nurcholish Majid bertendensi dengan firman Allah dalam surat Ali-Imran Ayat 64 dan 19.


Artinya : Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."


Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Namun Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”, tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”
Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiyah yang juga difatwakan oleh MUI sebagai aliran sesat.
Sementara itu bagi Miftah, salah seorang pengelola IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait) aksi kekerasan yang menimpa Ahmadiyah itu dikhawatirkan akan menimpa syiah. Karena syiah juga banyak ditentang oleh sebagian masyarakat. Pada masa-masa seperti sekarang inilah kita semakin merindukan sosok Cak Nur, tegasnya. “Ia selalu membela komunitas yang minoritas dan termarginalkan.”
Lebih lanjut dosen IAIN Sunan Gunung Djati itu menjelaskan sikap Cak Nur terhadap pluralisme. “Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme”, tandasnya. “Pluralitas bagi guru besar UIN Jakarta itu adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu. Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan”, tegasnya. “Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.”
Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.
Dawam menilai Cak Nur masih memandang semua agama sebagai cahaya, tetapi cahaya yang paling terang adalah Islam. Selain itu ia juga terjebak pada anggapan bahwa agama samawi lebih unggul dari agama bumi. Karena agama samawi diyakini sebagai agama pemberian Tuhan kepada manusia
Cak Nur, lanjut Dawam, merupakan seorang teolog muslim dengan acuan Qur’an dan Sunnah (lebih khusus pada Qur’an). Dan dengan ide tauhidnya yang keras Cak Nur telah bersikap kurang adil. Di sinilah keterbatasan Cak Nur yang menurut Dawam belum sepenuhnya pluralis, tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif. “Untuk menjadi pluralis, seseorang harus mempelajari agama-agama lain,” tegas Dawam. “Sementara Cak Nur tidak pernah mempelajari agama-agama lain.”


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
 Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, namun Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya termasuk agama.
 Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.

B. Saran
Setelah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, kami harapkan saran dan kritik dari bapak pembimbing dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca. Amien

Lampiran 1

1. Bagaimana pluralisme menurut Cak Nur?
2. Bagaimana status kebenaran agama samawi?
3. Apa pluralitas dan pluralisme menurut Cak Nur?
4. Mengapa Cak Nur dianggap sebagai tokoh liberal? ( Terpengaruh orientalis kah?
5. Bagaimana Cak Nur memadukan cara berfikir konservatif dan modern?
6. Apa landasan pluralisme sebagai dasar keagamaan?

Jawab
1. Pluralisme menurut pandangan Cak Nur adalah suatu landasan sikat positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama.
2. Agama yang diturunkan oleh Allah seperti agama Kristen, yahudi, nashrani, shabi’I merupakan agama yang telah dimansuh oleh agama islam, yaitu agama yang dalamnya mengandungi panduan yang paling sempurna dan menyeluruh, dalam membimbing umat manusia. Allah s.w.t. menyeru ahlul-kitab, baik dari kalangan Yahudi mahupun Kristian, agar bersama-sama di bawah satu payung samawi yang baru, yang dibawa oleh nabi yang terakhir yaitu Nabi Muhammad s.a.w., dalam rangka untuk membetulkan pengabdian dan aqidah mereka terhadap Tuhan Maha Pencipta. Jadi agama samawi yang ada sampai sekarang tidak ada kebenaran sama sekali.
3. Pluralitas adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. sedangkan pluralisme merupakan suatu kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keraraman itu.
4. Menurut hasil penelitian Charles Kurzman (1998) ia mengkatagorikan Cak Nur sebagai tokoh islam liberal karena Cak Nur disejajarkan dengan Muhammad Iqbal dan kawan-kawan karena garis perjuangannya banyak diilhami gagasan Fazlur Rahman, yang kita kenal sebagai pemrakarsa gagasan progresif tentang neo-modernisme Islam.
Dan kalau melihat latar belakang pendidikan yang ditempuh oleh Cak Nur. Ia pernah belajar di barat yaitu di Universitas Chicago AS (1984), jadi Cak Nur pasti dipengaruhi walaupun Cuma sedikit.
5. Cak Nur dilahirkan dari lingkungan pesantren dan menjadi representasi-istilahya sendiri- "santri yang canggih", yaitu sosok santri terpelajar, memahami kompleksitas dunia modern, dan mengerti bagaimana sebagai seorang Muslim hidup di dunia modern. Hal ini menjadi concern utamanya. Menurutnya, umat Islam harus disiapkan secara teologis memasuki dunia modern, terutama berhadapan dengan isu-isu pemikiran baru atau modern.
Keseimbangan ini berarti menggabungkan khazanah tradisi keagamaan yang kaya, yang dikuasai kaum santri, dengan khazanah modern yang dikuasai golongan modernis. Ungkapan bahasa Arab yang sering dipakai sebagai visi Islam di Indonesia yang ia mimpikan adalah tercapainya sintesis kaum modernis dan tradisionalis (maksudnya Muhammadiyah atau Masyumi, dan NU), di mana mereka akan bersama bekerja secara kreatif untuk "mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik". Visi inilah yang disebutnya "neomodernis"
6. Landasan pluralisme sebagai dasar keagamaan berbijak bertendensi dengan firman Allah dalam surat Ali-Imran Ayat 64 dan 19 . artinya
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Ali-Imran Ayat 64)
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Ali-Imran Ayat 19)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, Bandung : Ciputat Pers, 2002
Http://Islamlib.Com/Id/Index.Php?Page=Article&Id=1032
Moh Anwar, “Nur Cholis Majid dan Pluralisme Agama”, Sufi, Edisi Perdana
Naufal Walid, “Mengenal Figur Nur Cholis Majid”, Sufi, Edisi Perdana

SUMBER ILMU PENGETAHUAN (PARADIGMA FILSAFAT TIMUR)

SUMBER ILMU PENGETAHUAN
(PARADIGMA FILSAFAT TIMUR)

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu :
Prof.DR.H. Cecep Sumarna







Disusun oleh:
HISYAM NUR
( 505930032 )


PASCASARJANA STAIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009

KATA PENGANTAR


Assalmu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur hanyalah milik Allah Rabbul Ghafur Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasi, karena dengan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang sangat sederhana ini. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw kepada keluarganya para sahabatnya dan kepada kita semua umatnya.
Dalam makalah ini kami ingin memaparkan kajian tentang “Sumber ilmu pengetahuan(paradigma filsafat timur)”sebagai tugas dari mata kuliah filsafat ilmu dengan Dosen pengampu Bapak.Prof.dr.h. Cecep sumarna.
Dan untuk selebihnya, kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan atau dalam penjelasan. Khususnya kapada Bapak.Prof.dr.h. Cecep sumarna. dan juga kami berharap semoga makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi kami khususnya. Amiin yaa rabbal ‘alamin.

Cirebon, Oktober 2009




Penulis










DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………....i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengetahuan Dalam Presfektif Filsafat 3
B. Corak Berfikir Filsafat Masyarakat Religius 5
C. Pengetahuan Dalam Presfektif Masyarakat Relegius 8
BAB III PENUTUP 14
Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA

















BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbedaan paradigma pengetahuan mangakibatkan orientasi keilmuan yang berbeda, juga akan menghasilkan produk pemikiran dan teknologi yang berbeda pula. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari sesuatu yang material hanya memperoleh sebatas dimensi material. Analisa beberapa agamawan mengatakan keilmuan Barat yang positivistic-materialistik itu kering-bebas nilai (value free).
Memang tidak disangsikan teknologi sebagai hasil ilmu pengetahuan telah meningkatkan produktifitas dan menghapuskan rintangan ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan mampu mengungkap rahasia tentang alam, benda-benda termasuk usaha mencari kausalitasnya. Tetapi di saat yang bersamaan teknologi menyebabkan pemusatan kekuasaan yang sangat besar dan dehumanisasi.
Persoalan kemanusiaan tidak bisa hanya didekati dengan kajian yang materilistik semata karena manusia memilik dua sisi, pertama adalah sisi material yang terjelma dalam komposisi organ tubuhnya dan kedua adalah sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan wilayah aktivitas pemikiran dan mental. Manakala satu sisi terabaikan maka terjadi ketidakseimbangan. Bila sisi material-empiris mendominasi maka ada sisi yang “terkosongkan”. Konon, modernisasi sebagai akibat dari positivisme yang materialistik telah mendominasi pemikiran dunia. Sehingga muncul persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan dimensi “immaterial”. Disamping itu muncul juga persoalan yang berdampak pada lingkungan, sosiologis, psikologis dan sistem nilai.
Pendekatan agama (orientasi Theocentris) dasarnya sudah berjalan semenjak manusia diciptakan. Memang ada sejarah kelam bila mengkaji hubungan antara para “pemuka agama” dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kemunduran dunia timur – Islam dianalisis karena muncul kejumudan, fanatisme madzhab dan berpusatnya kekuasaan “Central Power” dengan berbagai pola-gaya hidupnya. Apalagi bila mengkaji hubungan agama dan filsafat, ada konfilk yang runcing antara agamawan dengan ilmuwan. Gereja dengan kekuasaannya menghujat habis-habisan kaum ilmuwan. Muncul pikiran-pikiran “manusia” yang dimasukkan dalam dokrin kitab suci. Cristian topoghrafi (geocentris) dianggap sesuatu yang harus dipegang kuat-kuat, dipercaya dan dijadikan alasan mengkafirkan orang yang tidak mau mempercayainya. Perseteruan ini banyak mengalirkan darah. Pihak pertama mengatasnamakan agama-kitab suci dan pihak kedua mengusung ilmu pengatahuan yang rasionalis-empiris.
Dari latarbelakang di atas berarti harus ada pendekatan lain mengenai persoalan ilmu pengetahuan. Ketika “alam ide” ( rasionalitas ) dan empiris-realis sebagai sumber ilmu pengetahuan berada di ambang “kepenatan” untuk menjawab “kebutuhan manusia”, maka muncul pendekatan relegius terhadap persoalan ilmu pengetahuan. Adapun mengenai masalah diatas maka pemakalah akan merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan Dalam Presfektif Filsafat ?
2. Bagaimana corak berfikir filsafat masyarakat religius ?
3. Bagaimana pengetahuan dalam presfektif masyarakat relegius ?






BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengetahuan Dalam Presfektif Filsafat
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan dalam bahasa Inggris dianalogkan (hampir disamakan) dengan kata “Knowledge” yang berarti pengetahuan. Dalam bahasa Arab kata tahu-mengetahui bisa berasal dari suku kata “‘arofa-al’ma’rifah” (mengetahui-Ilmu pengetahuan), sehingga muncul istilah ilmu yang berdimensi “Irfan”, juga bisa dari kata “al-’ilmu-’uluum” yang artinya pengetahuan. Pengetahuan manusia yang maju mengenai hal-hal yang empiric disebut ilmu ( science ). Kata science sebenarnya bukan asli bahasa Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari bahasa Latin scire dan scientia yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui.
Ilmu merupakan pengetahuan yang terorganisasi dan diperoleh melalui proses keilmuan. Sedangkan proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematsi tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini biasanya atau pada umunya berupa metode ilmiyah. Dari proses metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science atau tepatnya Ilmu pengetahuan memilki arti spesifik bila digandengkan dengan ilmu pengetahuan yaitu sebagai kajian keilmuan yang tersistematis sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif ( dapat dibuktikan secara empiris ) dan prediktif ( menduga hasil empiris yang bisa diperiksa sehingga bisa jadi hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita empiris).
Mendefinisikan pengetahuan merupakan kajian panjang sehingga terjadi pergulatan sejarah pemikiran filsafati dalam menemukan pengertian pengetahuan. Hal ini wajar karena “keistimewaan” filsafat adalah perselisihan, pergumulan pemikirannya itu berlangsung terus selamanya. Suatu produk pemikiran filsafat selalu ada yang menguatkan, mengkritik, melemahkan bahkan akan ada yang merobohkan pemikiran itu. Kelakpun akan dijumpai yang satu menegaskan sedang yang lain mengingkari. Begitulah seterusnya akan selalu berada dalam bingkai dialektika.
2. Pandangan Filasfat Tentang Pengetahuan
Kajian epistimologi (salah satu kajian dalam ilmu filsafat yang membahas teori ilmu pengetahuan) tidak terlepas dari tiga persoalan mendasar, pertama kajian tentang sumber-sumber pengetahaun, kedua sifat dasar pengetahuan dan ketiga mengkaji ukuran kebenaran atau validitas dari pengetahuan itu sendiri. Istilah dalam kefilsafatan dinamakan ontologis, epistmologis dan aksiologis. Dari ketiga persoalan ini melahirkan dua aliran besar dalam filsafat ilmu yaitu aliran rasionalis/Idealisme dan yang kedua empirisme/Realisme. Kedua aliran ini saling bersiteguh mempertahankan pendirian dan kayakinannya masing-masing.
Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu. Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan nama “innete idea”. Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aristatoles dan para penganut Empirisme-Realisme menyangggah yang disampaikan oleh kaum Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan pemahaman yang universal bukan hasil bawaan tetapi diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiric manusia. Aristatoles berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul dirumuskan akal melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan dengan empiric-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul dan bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal bakal lahirnya positivisme modern dalam kajian keilmuan.
Logika positivisme mementingkan wujud alam sebagai materi (phyisic) serta menafikan makna di balik materi ( metaphysic). Ukuran kebenaran harus memenuhi criteria verifikasi logis dan verifikasi empiris. Sehingga metaphysika itu bagi kaum positivisme tidak memiliki nilai epistomologi. Dari alur pemikiran seperti ini mereka berpaham materialistic dan pada akhirnya atheis.
B. Corak Berfikir Filsafat Masyarakat Religius
Pengetahuan rasional memiliki tiga tingkat ; pertama pengetahuan biasa yaitu pengetahuan tanpa usaha khusus, bersifat intuitif-spontan-tidak memakai penalaran formal, kedua pengetahuan ilmiyah, pengetahuan yang terorganisir dengan sistem dan metode tertentu dalam mencari kausalitas empiris, ketiga pengetahuan transenden yaitu pengetahuan manusia yang berada di luar struktur pengalaman dan pengetahuan rasional bahkan di luar jangkauan akal. Pengetahuan yang ketiga yaitu pengetahuan transcendent ini dimaksudkan sebagai manifestasi dari kepercayaan.
Pencarian Plato yang idealis-rasionalis tidak sampai membicarakan secara tuntas bagaimana munculnya hukum-hukum dan ide-ide yang bersifat universal itu. Descartes berkembang lebih maju, ia mencapai pengetahuan bahwa “Tuhan itu ada karena kapasitas pengetahuannya tentang dirinya”. Tuhan itu baik, tidak mungkin penipu. Menurutnya konsepsi-konsepsi yang “fitri” dan bawaan itu adalah “Ide Tuhan”.
Pemikiran para filsuf sebatas pada pengakuan terhadap sesuatu yang “Agung”. Ada semacam “Yang” menggerakan dalam kehidupan manusia, tidak tuntas kepada pembicaraan apa dan bagaimana “Yang Agung ” itu. Agama dengan nabinya membawa missi jawaban terhadap persoalan siapa, apa dan bagaimana “yang Agung ” itu bertindak. Dari assumsi inilah Tuhan memberikan petunjuk agama ( hidayatuddiin ). Petunjuk agama tersebut ternyata tidak semua manusia mampu meraihnya secara langsung. Hanya manusia pilihan yang mampu menjadi transfer “Keilahian, Kekudusan”. Manusia pilihan itu dinamakan nabi dan rasul.
1. Ciri Masyarakat Relegius
Masyarakat dalam bahasa Inggris diidentikan dengan kata society yang berarti juga civilized community, komunitas yang beradab atau masyarakat madani. Sepertinya kata masyarakat diambil dari bahasa Arab yang hampir sama dengan padanan kata “Syaraka” yang artinya mengikat, berserikat, berkumpul. Kemudian berkembang menjadi “tasyaaraka, wasyaarakah dengan makna membentuk persekutuan, mengadakan kerjasama.
Nenih Mahendrawati mengemukakan pengertian masyarakat dengan mengutip pendapat David I Shill dengan ” A relativively independent or self suficien population characterized by internal organization, territoriality, culture distinctiveness, and sexual recruitment”. Masyarakat ditinjau dari segi terminology sosiologis adalah interaksi antara anggota-anggota masyarakat dalam satu wilayah tertentu. Bahkan dikatakan ” sociaty is group of people who are united by social relationships.
Masyarakat relegius berarti masyarakat yang kental dengan nilai-nilai agama. Semua tingkah laku dan perbuatannya (aspek fikir, akal, qalb, gerak langkahnya) selalu berorientasi pada nilai-nilai kegamaan yang dianut oleh pemeluknya. Mereka tidak terlepas dari kitab suci, ajaran para nabi dan para tokoh agama. Kentalnya nilai-nilai agama yang dimiliki oleh pandangan masyarakat relegius ini terkadang lebih dipahamkan oleh interpretasi dari pemuka agama baik para ulama, pendeta, rahib, uskup dan pemuka agama lainnya. Sehingga pemahaman yang sudah berurat daging ini melembaga menjadi “adat istiadat”, budaya, tata aturan bahkan dogma-dokrin yang dianggap suci.
Masyarakat relegeius bersifat Theocentris. Tuhan sebagai central dan realitas tertinggi. Secara garis besar masyarakat relegius13adalah masyarakat yang memiliki ciri sebagai berikut : pertama percaya pada “Tuhan” sebagai “Yang Maha Ghaib”, ( percaya pada unsur methaphysica ), mengedepankan etika beragama, kedua selalu berorientasi masa depan ( akherat ) dengan berpijak hari ini (dunia), ketiga masyarakat relegius selalu terikat dengan norma, hukum, dan etika, keempat konsisten menegakan hukum dan menjadikannya aturan main dalam kehidupannya.
2. Sumber Pengetahuan Masayarakat Relegius
Salah satu pembahasan dalam epistimoogi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transenden. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama meninggalkan yang essensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi)”. Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi adalah termanifestaasikan dalam diri para nabi dan rasul. Sehingga para agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia
C. Pengetahuan Dalam Presfektif Masyarakat Relegius
Ilmu pengetahun berasal dari Allah melalui panca indera (empiris) dan akal (rasionalis). Ia diperoleh dari “berita Agung ” yang benar, absolute, dari sumber otoritas tertinggi dan intiusi yang terformulasi dalam wahyu, sabda/hadits, akal dan pengalaman-pengalaman intuisi.
Masyarakat relegius mengkombinasikan metodologi rasionalisme dan empirisme dengan tambahan wahyu. Pemahaman keilmuan dari sisi masyarakat religius tidak mesti rasional dan empiris tetapi ada sisi-sisi realitas metafisis. Hal ini disebabkan karena sumber ilmu pengetahuan yang berbeda. Kaum rasionalis bersumber dari akal dan ide dalam membahas ilmu pengetahuan. Kaum empirisme bersumber pada pengalaman empiris-realistis sedangkan kaum relegius menambahkan bahwa sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari wahyu dan intuisi (Ilham, firasat dan wangsit ).
Dari perbedaan sumber ilmu pengatahuan ini pun akhirnya akan memperoleh produk pemikiran yang berbeda. Bila ilmu pengetahuan positivisme harus sistematis dan terukur berdasarkan empiris dan rasional, tetapi kebenaran intuisi “wahyu” tidak harus dibuktikan dengan realitas empiris. Kebenaran pengetahuan yang bersifat intuisi “boleh” dibuktikan dengan metodologi “iman”.
Sebenarnya “Wahyu dan Intuisi” bisa dibuktikan dengan rasionalitas dan empiris namun karena keterbatasan akal pikiran manusia, kadang-kadang kebenaran itu muncul setelah melampaui ruang dan waktu. Karena orang agamawan melihat bahwa kebenaran itu ada yang bersifat fisik material dan psikis-spritual15.Mungkin pada saat ini belum diketemukan sisi-sisi kebenaran dokrin agama karena ” akalnya belum taslim” namun pada saat yang akan datang dengan sarana ilmu pengetahuan, kebenaran itu terkorelasi dengan konsep-konsep relegius yang tertulis dalam kitab suci. Kitab suci yang bertahan dan keorsinilannya bisa dipertanggungjawabkan manakala bersesuaian dengan penemuan-penemuan ilmiyah oleh para saintifik modern.
Bagi agamawan (semua agama samawi) ada tiga hal yang sangat fundamental dalam kehidupan beragama.Pertama siapakah yang menciptakan (percaya pada Tuhan). Kedua tujuan akhir kehidupan manusia kemana (orientasi akherat). Ketiga darimana mendapatkan informasi, mencari petunjuk tersebut tentang Tuhan ( percaya pada nabi dan rasul).
Masyarakat relegius memandang ilmu pengetahun dan agama merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun di sisi lain seolah dipaksakan sebagai dogma atau dokrin namun keyakinan membawa kaum beragama dianggap sebagai suatu kebenaran pengetahuan. Berbeda dengan atheis (materialis-sekuler) yang menggap pengetahuan ilmiyah merupakan suatu hal dan kepercayaan-kepercayaan agama merupakan hal lain. Orang atheis menyebutkan hal-hal yang bersifat supranatural akan tampak sebagai sebagai satu anakronisme1.
Cara memperoleh ilmu pengetahuan dalam prespektif agamawan yaitu berasal atau bermula dari wahyu-intuisi melalui proses kerja panca indera dan akal, atau sebaliknya melalui penemuan-penemuan empiris-rasional lalu dipadukan, diklarifikasikan dengan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi menjadi perantara dan merupakan dasar penyusunan pengetahuan ini. Sehingga tolak ukur dari pengetahuan dalam pandangan relegius adalah “believe or not believe”. Dengan demikian pandangan relegius dimulai dari rasa percaya kemudian melalui proses pengkajian keilmuan pada akhirnya akan menemukan pengetahuan yang semakin percaya atau semakin menurun. Berbeda dengan kajian ilmu sains yang berawal dari ketidakpercayaan, keraguan dan kekosongan
Benar ungkapan orang bijak, sesuatu itu akan terulang kembali. Filsafat jawa mengatakan “cokro manggilingan”, sejarah akan selalu berputar. Pergerakan pemikiran mulai bergerak kembali dari yang konkret-factual-positivistik menuju sesuatu yang sangat abstrak, metafisik dan illahy.
Namun bila mengikuti corak pemikiran August Comte manusia bermetamorfosis dari teologis-fiktisius menuju matafisik-abstrak dan berakhir ke postivistik.Ibarat perkembangan manusia dari masa bayi-remaja dan dewasa. Sekali lagi August Comte tidak sampai menganalisa bahwa setelah dewasa ada yang namanya masa tua-sepuh yang penuh kearifan, kebijaksanaan (wisdom). Sehingga manusia akan kembali lagi seperti bayi yang berorientasi pada sesuatu yang “Theocentris”, absolute, sacral dan transcendental. Itulah manusia beragama dan beradab, homo relegius.
D. Refleksi Atas Fenomena
Dalam presfektif Al-Qur’an telah dijelaskan mengenai dua pendekatan ilmu pengetahuan-sciance, yaitu pendekatan dzikir (wahyu-intuisi). pendekatan Fikir (rasional-empiris) yang mengamati ayat kauniyah. Kedua pendekatan ini dapat dilhat dengan jelas dalam surat Ali Imron 190-191 :
       •                         • 

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(Q.S. Ali Imran:190-191)
Ulil albab (orang yang memiliki akal pikiran, intelektual,ilmuwan) adalah mereka yang menggunakan dan memadukan potensi dzikir (konteks wahyu-intuisi) dan potensi fakir (konteks rasio-realis). Bila manusia terjebak dalam penggunaan rasio-logis dalam memahami ayat-ayat Allah yang “kauniyah” maka muncul kecenderungan materialis-atheis. Sebaliknya jika terjebak hanya berkutat pada aktivitas dzikir maka akan menjadi panthaiesme yang skeptis.
Ilmu segala sesuatu itu berasal dari Allah yang mengejawantah (profan) ke dalam ayat Kauniyah dan Al-Quraniyah, ayat yang tersirat dan ayat yang tersurat. Ayat kauniyah (cosmos) berupa realitas empiric “bisa” didekati dengan menggunakan metode deduktif-induktif gaya Bacon dan rasionalitas-kausalitas ala Rane Descartes. Ayat Al-Quraniyah lebih menekankan metode bayani dibarengi dengan irfani dan burhani. Tetapi bisa juga menggunakan metode positivistik untuk memahami kandungan “kitab suci” yang sacral namun harus diiringi dengan rasa keberagamaan sehingga mempertebal keimanan.
Nabi menangis ketika menerima surat Ali Imron ayat 190-191 ini. Sampai-sampai Bilal bertanya : mengapa Engkau menangis ya Rasulullah?, bukankah segala dosa Engkau yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?. Nabi menjawab apakah Aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur (abdan syakuroo). Aku menangis karena khawatir pada umatku yang membaca ayat ini tetapi tidak pernah memikirkan isi kandungannya dan mengerjakan yang tersirat padanya.
Betapa pentingnya mempelajari, menggali, mengeksplorasi ayat-ayat Tuhan baik yang berdimensi aqliyah berupa alam raya maupun yang berdimensi naqliyah wahyu-kitab suci. Pengungkapan rahasia-rahasia alam bagi manusia relegius mempunyai “nilai ibadah” Sehingga ucapan terahkir manusia beragama adalah : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imron ayat 191 ).















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat relegius, agamawan atau mistikiawan memandang ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang kehidupan yang sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertical). Oleh karena itu ilmu pengetahuan-science tidak bisa dipisahkan dari agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama muaranya akan kepada “Sang Pencipta”atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Pemisahan agama dengan ilmu pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free). Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”. Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu yang materialistic bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan krisis multidimensional. Di sisi lain manakala kecenderungan manusia hanya pada norma agama tanpa mempedulikan saintifik maka akan terjerumus pada sikap “pantheisme”, dunia bagaikan selebar sajadah.
Ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos) dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis. Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan psikis-spritual.

DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Halim Mahmud. 2003. Al-Qur’an fi Syahril Qur’an (terjemah), Tadarus Kehidupan di Bulan Al-Qur’an. Yogyakarta : Madani Pustaka Press.
 A.B. Shah. 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Cecep Sumarna. 2005.Rekonstruksi Ilmu dari empiris-Rasional Ateistik ke Empiris-Rasional-Teistik. Bandung : Benang Merah.
 Cecep Sumarna. 2006. Filsafat Ilmu ;dari Hakikat menuju Nilai. Bandung : Pustaka Bani Quraisy
 Husen Al-Habsy.1987. Kamus Al-Kautsar Lengkap, Bangil : Yayasan Pesantren Islam (YAPPI)
 H.Jono,Cecep Sumarna.2006. Melacak Jejak Filsafat. Bandung: Sangga Buana
 Jujun S. Sumantri.2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
 M. Amin Abdullah.1999. Studi Agama ; Normativitas atau Historisitas?., Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
 Maurice Bucaille. 2000. Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an,Sains. Bandung : Mizan
 Mircea Eliade.2002. Sakral dan Profan. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru.
 Muhammad Baqir Ash-Shadr. 1992. (terjemah), Falsafatuna ; Pandangan Muhammad Baqir
 Ash-Shadr Terhadap Pelbagai Airan Filsafat Dunia Bandung : Mizan.
 M.Quraisy shihab. 2006. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
 Nenih Machendrawaty Dan Agus Ahmad Syafe’i.2001. Pengembangan Masyarakat Islam ; Dari Ideologi Strategis sampai Tardisi. Bandung : Rosdakarya.

PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN

PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu :
Prof.DR. Cecep Sumarna, M.Ag








Disusun oleh:
HISYAM NUR
(5059300032)


PASCASARJANA STAIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbedaan paradigma pengetahuan mangakibatkan orientasi keilmuan yang berbeda, juga akan menghasilkan produk pemikiran dan teknologi yang berbeda pula. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari sesuatu yang material hanya memperoleh sebatas dimensi material. Analisa beberapa agamawan mengatakan keilmuan Barat yang positivistic-materialistik itu kering-bebas nilai (value free).
Memang tidak disangsikan teknologi sebagai hasil ilmu pengetahuan telah meningkatkan produktifitas dan menghapuskan rintangan ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan mampu mengungkap rahasia tentang alam, benda-benda termasuk usaha mencari kausalitasnya. Tetapi di saat yang bersamaan teknologi menyebabkan pemusatan kekuasaan yang sangat besar dan dehumanisasi.2
Persoalan kemanusiaan tidak bisa hanya didekati dengan kajian yang materilistik semata karena manusia memilik dua sisi, pertama adalah sisi material yang terjelma dalam komposisi organ tubuhnya dan kedua adalah sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan wilayah aktivitas pemikiran dan mental. Manakala satu sisi terabaikan maka terjadi ketidakseimbangan. Bila sisi material-empiris mendominasi maka ada sisi yang “terkosongkan”. Konon, modernisasi sebagai akibat dari positivisme yang materialistik telah mendominasi pemikiran dunia. Sehingga muncul persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan dimensi “immaterial”. Disamping itu muncul juga persoalan yang berdampak pada lingkungan, sosiologis, psikologis dan sistem nilai.
Tidak hanya itu medernisasi sebagai dampak positif dari science melahirkan “adzab modernisasi”, manusia merasa asing, hampa, kering, sunyi dalam keramaian, merasa teralienasi dari hiruk pikuk kehidupan. Bahkan dalam kajian Cecep Sumarna dalam “Melacak Jejak Filsafat” disamping telah melahirkan beberapa keunggulan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka muncul paham-paham yang dianggap memiliki resiko dalam system (system nilai dan etika) kehidupan yaitu paham relativisme, hedonisme, Skeptikisme, Materialisme dan atheisme3.
Pendekatan agama (orientasi Theocentris) dasarnya sudah berjalan semenjak manusia diciptakan. Memang ada sejarah kelam bila mengkaji hubungan antara para “pemuka agama” dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kemunduran dunia timur – Islam dianalisis karena muncul kejumudan, fanatisme madzhab dan berpusatnya kekuasaan “Central Power” dengan berbagai pola-gaya hidupnya. Apalagi bila mengkaji hubungan agama dan filsafat, ada konfilk yang runcing antara agamawan dengan ilmuwan. Gereja dengan kekuasaannya menghujat habis-habisan kaum ilmuwan. Muncul pikiran-pikiran “manusia” yang dimasukkan dalam dokrin kitab suci. Cristian topoghrafi (geocentris) dianggap sesuatu yang harus dipegang kuat-kuat, dipercaya dan dijadikan alasan mengkafirkan orang yang tidak mau mempercayainya. Perseteruan ini banyak mengalirkan darah. Pihak pertama mengatasnamakan agama-kitab suci dan pihak kedua mengusung ilmu pengatahuan yang rasionalis-empiris.
Pada akhirnya pentas dunia didominasi oleh peran ilmu pengetahuan- scientific yang rasioanalis-empiris. Lahir konsep pemisahan antara science dan agama (gereja), dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Vatikan sebagai pusat “kekuasaan agama” bergerak secara terpisah dengan negara-negara penganutnya. Sebenarnya yang menjadi agama di Barat sudah bukan Nasroni lagi tetapi “Materialistic”. Meminjam istilah Cecep Sumarna Materalistic-atheis merupakan anak kandung yang sah dari science yang positivistic.
Dari latarbelakang di atas berarti harus ada pendekatan lain mengenai persoalan ilmu pengetahuan. Ketika “alam ide” ( rasionalitas ) dan empiris-realis sebagai sumber ilmu pengetahuan berada di ambang “kepenatan” untuk menjawab “kebutuhan manusia”, maka muncul pendekatan relegius terhadap persoalan ilmu pengetahuan. Analisa ini terbantu oleh August Comte dalam menganalis perkembangan pemikiran manusia dari masa telogis-fiktisius menuju metafisik atau abstark dan berakhir di tepian ilmiyah yang positivistic. Masa teologis adalah masa bayi, metafisik itu masa remaja dan positivistik merupakan masa kedewasaan berfikir. Namun August Comte lupa bahwa setelah masa dewasa akan berakhir dengan masa “tua” yang arif “mumtaz” (wisdom) dalam segala hal walaupun dibarengi dengan sedikit sensitifitas psikologis. Itulah pendekatan relegius, agamawan dan mistikiawan.
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetahuan Dalam Presfektif Filsafat
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan dalam bahasa Inggris dianalogkan (hampir disamakan) dengan kata “Knowledge” yang berarti pengetahuan. Dalam bahasa Arab kata tahu-mengetahui bisa berasal dari suku kata “‘arofa-al’ma’rifah” (mengetahui-Ilmu pengetahuan), sehingga muncul istilah ilmu yang berdimensi “Irfan”, juga bisa dari kata “al-’ilmu-’uluum” yang artinya pengetahuan. Pengetahuan manusia yang maju mengenai hal-hal yang empiric disebut ilmu ( science ). Kata science sebenarnya bukan asli bahasa Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari bahasa Latin scire dan scientia yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui.
Ilmu merupakan pengetahuan yang terorganisasi dan diperoleh melalui proses keilmuan. Sedangkan proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematsi tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini biasanya atau pada umunya berupa metode ilmiyah. Dari proses metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science atau tepatnya Ilmu pengetahuan memilki arti spesifik bila digandengkan dengan ilmu pengetahuan yaitu sebagai kajian keilmuan yang tersistematis sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif ( dapat dibuktikan secara empiris ) dan prediktif ( menduga hasil empiris yang bisa diperiksa sehingga bisa jadi hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita empiris).
Mendefinisikan pengetahuan merupakan kajian panjang sehingga terjadi pergulatan sejarah pemikiran filsafati dalam menemukan pengertian pengetahuan. Hal ini wajar karena “keistimewaan” filsafat adalah perselisihan, pergumulan pemikirannya itu berlangsung terus selamanya. Suatu produk pemikiran filsafat selalu ada yang menguatkan, mengkritik, melemahkan bahkan akan ada yang merobohkan pemikiran itu. Kelakpun akan dijumpai yang satu menegaskan sedang yang lain mengingkari. Begitulah seterusnya akan selalu berada dalam bingkai dialektika.
2. Pandangan Filasfat Tentang Pengetahuan
Kajian epistimologi (salah satu kajian dalam ilmu filsafat yang membahas teori ilmu pengetahuan) tidak terlepas dari tiga persoalan mendasar, pertama kajian tentang sumber-sumber pengetahaun, kedua sifat dasar pengetahuan dan ketiga mengkaji ukuran kebenaran atau validitas dari pengetahuan itu sendiri. Istilah dalam kefilsafatan dinamakan ontologis, epistmologis dan aksiologis. Dari ketiga persoalan ini melahirkan dua aliran besar dalam filsafat ilmu yaitu aliran rasionalis/Idealisme dan yang kedua empirisme/Realisme. Kedua aliran ini saling bersiteguh mempertahankan pendirian dan kayakinannya masing-masing.
Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu. Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan nama “innete idea”. Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aristatoles dan para penganut Empirisme-Realisme menyangggah yang disampaikan oleh kaum Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan pemahaman yang universal bukan hasil bawaan tetapi diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiric manusia. Aristatoles berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul dirumuskan akal melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan dengan empiric-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul dan bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal bakal lahirnya positivisme modern dalam kajian keilmuan.
Logika positivisme mementingkan wujud alam sebagai materi (phyisic) serta menafikan makna di balik materi ( metaphysic). Ukuran kebenaran harus memenuhi criteria verifikasi logis dan verifikasi empiris. Sehingga metaphysika itu bagi kaum positivisme tidak memiliki nilai epistomologi. Dari alur pemikiran seperti ini mereka berpaham materialistic dan pada akhirnya atheis.
B. Corak Berfikir Filsafat Masyarakat Religius
Pengetahuan rasional memiliki tiga tingkat ; pertama pengetahuan biasa yaitu pengetahuan tanpa usaha khusus, bersifat intuitif-spontan-tidak memakai penalaran formal, kedua pengetahuan ilmiyah, pengetahuan yang terorganisir dengan sistem dan metode tertentu dalam mencari kausalitas empiris, ketiga pengetahuan transenden yaitu pengetahuan manusia yang berada di luar struktur pengalaman dan pengetahuan rasional bahkan di luar jangkauan akal. Pengetahuan yang ketiga yaitu pengetahuan transcendent ini dimaksudkan sebagai manifestasi dari kepercayaan.
Pencarian Plato yang idealis-rasionalis tidak sampai membicarakan secara tuntas bagaimana munculnya hukum-hukum dan ide-ide yang bersifat universal itu. Descartes berkembang lebih maju, ia mencapai pengetahuan bahwa “Tuhan itu ada karena kapasitas pengetahuannya tentang dirinya”. Tuhan itu baik, tidak mungkin penipu. Menurutnya konsepsi-konsepsi yang “fitri” dan bawaan itu adalah “Ide Tuhan”.
Pemikiran para filsuf sebatas pada pengakuan terhadap sesuatu yang “Agung”. Ada semacam “Yang” menggerakan dalam kehidupan manusia, tidak tuntas kepada pembicaraan apa dan bagaimana “Yang Agung ” itu. Agama dengan nabinya membawa missi jawaban terhadap persoalan siapa, apa dan bagaimana “yang Agung ” itu bertindak. Dari assumsi inilah Tuhan memberikan petunjuk agama ( hidayatuddiin ). Petunjuk agama tersebut ternyata tidak semua manusia mampu meraihnya secara langsung. Hanya manusia pilihan yang mampu menjadi transfer “Keilahian, Kekudusan”. Manusia pilihan itu dinamakan nabi dan rasul.
1. Ciri Masyarakat Relegius
Masyarakat dalam bahasa Inggris diidentikan dengan kata society yang berarti juga civilized community, komunitas yang beradab atau masyarakat madani. Sepertinya kata masyarakat diambil dari bahasa Arab yang hampir sama dengan padanan kata “Syaraka” yang artinya mengikat, berserikat, berkumpul. Kemudian berkembang menjadi “tasyaaraka, wasyaarakah dengan makna membentuk persekutuan, mengadakan kerjasama.
Nenih Mahendrawati mengemukakan pengertian masyarakat dengan mengutip pendapat David I Shill dengan ” A relativively independent or self suficien population characterized by internal organization, territoriality, culture distinctiveness, and sexual recruitment”. Masyarakat ditinjau dari segi terminology sosiologis adalah interaksi antara anggota-anggota masyarakat dalam satu wilayah tertentu. Bahkan dikatakan ” sociaty is group of people who are united by social relationships.
Masyarakat relegius berarti masyarakat yang kental dengan nilai-nilai agama. Semua tingkah laku dan perbuatannya (aspek fikir, akal, qalb, gerak langkahnya) selalu berorientasi pada nilai-nilai kegamaan yang dianut oleh pemeluknya. Mereka tidak terlepas dari kitab suci, ajaran para nabi dan para tokoh agama. Kentalnya nilai-nilai agama yang dimiliki oleh pandangan masyarakat relegius ini terkadang lebih dipahamkan oleh interpretasi dari pemuka agama baik para ulama, pendeta, rahib, uskup dan pemuka agama lainnya. Sehingga pemahaman yang sudah berurat daging ini melembaga menjadi “adat istiadat”, budaya, tata aturan bahkan dogma-dokrin yang dianggap suci.
Masyarakat relegeius bersifat Theocentris. Tuhan sebagai central dan realitas tertinggi. Secara garis besar masyarakat relegius13adalah masyarakat yang memiliki ciri sebagai berikut : pertama percaya pada “Tuhan” sebagai “Yang Maha Ghaib”, ( percaya pada unsur methaphysica ), mengedepankan etika beragama, kedua selalu berorientasi masa depan ( akherat ) dengan berpijak hari ini (dunia), ketiga masyarakat relegius selalu terikat dengan norma, hukum, dan etika, keempat konsisten menegakan hukum dan menjadikannya aturan main dalam kehidupannya.
2. Sumber Pengetahuan Masayarakat Relegius
Salah satu pembahasan dalam epistimoogi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transenden. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama meninggalkan yang essensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi)”. Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi adalah termanifestaasikan dalam diri para nabi dan rasul. Sehingga para agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia
C. Pengetahuan Dalam Presfektif Masyarakat Relegius
Ilmu pengetahun berasal dari Allah melalui panca indera (empiris) dan akal (rasionalis). Ia diperoleh dari “berita Agung ” yang benar, absolute, dari sumber otoritas tertinggi dan intiusi yang terformulasi dalam wahyu, sabda/hadits, akal dan pengalaman-pengalaman intuisi.
Masyarakat relegius mengkombinasikan metodologi rasionalisme dan empirisme dengan tambahan wahyu. Pemahaman keilmuan dari sisi masyarakat religius tidak mesti rasional dan empiris tetapi ada sisi-sisi realitas metafisis. Hal ini disebabkan karena sumber ilmu pengetahuan yang berbeda. Kaum rasionalis bersumber dari akal dan ide dalam membahas ilmu pengetahuan. Kaum empirisme bersumber pada pengalaman empiris-realistis sedangkan kaum relegius menambahkan bahwa sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari wahyu dan intuisi (Ilham, firasat dan wangsit ).
Dari perbedaan sumber ilmu pengatahuan ini pun akhirnya akan memperoleh produk pemikiran yang berbeda. Bila ilmu pengetahuan positivisme harus sistematis dan terukur berdasarkan empiris dan rasional, tetapi kebenaran intuisi “wahyu” tidak harus dibuktikan dengan realitas empiris. Kebenaran pengetahuan yang bersifat intuisi “boleh” dibuktikan dengan metodologi “iman”.
Sebenarnya “Wahyu dan Intuisi” bisa dibuktikan dengan rasionalitas dan empiris namun karena keterbatasan akal pikiran manusia, kadang-kadang kebenaran itu muncul setelah melampaui ruang dan waktu. Karena orang agamawan melihat bahwa kebenaran itu ada yang bersifat fisik material dan psikis-spritual15.Mungkin pada saat ini belum diketemukan sisi-sisi kebenaran dokrin agama karena ” akalnya belum taslim” namun pada saat yang akan datang dengan sarana ilmu pengetahuan, kebenaran itu terkorelasi dengan konsep-konsep relegius yang tertulis dalam kitab suci. Kitab suci yang bertahan dan keorsinilannya bisa dipertanggungjawabkan manakala bersesuaian dengan penemuan-penemuan ilmiyah oleh para saintifik modern.
Bagi agamawan (semua agama samawi) ada tiga hal yang sangat fundamental dalam kehidupan beragama.Pertama siapakah yang menciptakan (percaya pada Tuhan). Kedua tujuan akhir kehidupan manusia kemana (orientasi akherat). Ketiga darimana mendapatkan informasi, mencari petunjuk tersebut tentang Tuhan ( percaya pada nabi dan rasul).
Masyarakat relegius memandang ilmu pengetahun dan agama merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun di sisi lain seolah dipaksakan sebagai dogma atau dokrin namun keyakinan membawa kaum beragama dianggap sebagai suatu kebenaran pengetahuan. Berbeda dengan atheis (materialis-sekuler) yang menggap pengetahuan ilmiyah merupakan suatu hal dan kepercayaan-kepercayaan agama merupakan hal lain. Orang atheis menyebutkan hal-hal yang bersifat supranatural akan tampak sebagai sebagai satu anakronisme1.
Cara memperoleh ilmu pengetahuan dalam prespektif agamawan yaitu berasal atau bermula dari wahyu-intuisi melalui proses kerja panca indera dan akal, atau sebaliknya melalui penemuan-penemuan empiris-rasional lalu dipadukan, diklarifikasikan dengan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi menjadi perantara dan merupakan dasar penyusunan pengetahuan ini. Sehingga tolak ukur dari pengetahuan dalam pandangan relegius adalah “believe or not believe”. Dengan demikian pandangan relegius dimulai dari rasa percaya kemudian melalui proses pengkajian keilmuan pada akhirnya akan menemukan pengetahuan yang semakin percaya atau semakin menurun. Berbeda dengan kajian ilmu sains yang berawal dari ketidakpercayaan, keraguan dan kekosongan setelah melalui proses kajian ilmiyah baru bisa diyakinkan atau tetap berada dalam pendirian semula.
Keberadaan yang Sacral (Tuhan-Wahyu) akan memanifestasikan dirinya , menunjukan dirinya kepada bentuk yang profane. Proses “Yang Sakral” menuju ke “Profan” dinamakan “Hierophany”. Proses hierophany ini secara implicit terdapat dalam isi realitas-realitas sacral. Konsep ini sulit diterima oleh orang Barat yang materialistic-rasional. Pohon sacral atau batu sacral misalnya, tidak disembah sebagai batu atau pohon tetapi mereka “disembah” karena mereka hierophany, karena mereka menunjukan sesuatu yang tidak lagi pohon dan batu tetapi sacral.
Pengetahuan (persepsi) itu secara garis besat terbagi menjadi dua yaitu “konsepsi” (at-tashawwur) atau pengetahuan yang sangat sederhana, pengetahuan yang tanpa penilaian, penangkapan sesuatu tanpa menilai obyek tersebut dan kedua “tashdiq” (assent atau pembenaran) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian dan penjelasan).
Bagi kaum teologis manusia memiliki dua sisi, pertama sisi material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Kedua adalah sisi spritual atau nonmateri yang merupakan pentas aktivitas akal dan mental. Dua sisi ini saling mempengaruhi termasuk didalamnya juga mengenai persoalan pengetahaun. Materi dan spritual tidak ada jurang pemisah yang selama ini digaungkan oleh kaum meterialis tetapi keduanya memiliki hubungan. Meskipun nonmaterial, ia memiliki hubungan material.
Sejarah pemikiran Islam mencatat terdapat tiga cara memperoleh ilmu pengetahuan, pertama metode bayani, yaitu cara memperoleh pengetahuan terhadap bathin teks baik Al-Qur’an maupun hadits. Metode ini lebih mementingkan otoritas teks sedangkan fungsi akal adalah sebagai pengawal terhadap pemahaman yang eksoterik.Kedua metode irfani, yaitu model berfikir berdasarkan pengalaman langsung terhadap realitas spiritual. Irfan diperoleh melalui penyingkapan sinar hakekat (Kasyaf) setelah melalui berbagai riyadloh yang dilakukan atas dasar cinta. Ketiga metode burhani, yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada kekuatan rasio-akal dengan menggunakan dalil-dalil logika.
Benar ungkapan orang bijak, sesuatu itu akan terulang kembali. Filsafat jawa mengatakan “cokro manggilingan”, sejarah akan selalu berputar. Pergerakan pemikiran mulai bergerak kembali dari yang konkret-factual-positivistik menuju sesuatu yang sangat abstrak, metafisik dan illahy.
Namun bila mengikuti corak pemikiran August Comte manusia bermetamorfosis dari teologis-fiktisius menuju matafisik-abstrak dan berakhir ke postivistik.Ibarat perkembangan manusia dari masa bayi-remaja dan dewasa. Sekali lagi August Comte tidak sampai menganalisa bahwa setelah dewasa ada yang namanya masa tua-sepuh yang penuh kearifan, kebijaksanaan (wisdom). Sehingga manusia akan kembali lagi seperti bayi yang berorientasi pada sesuatu yang “Theocentris”, absolute, sacral dan transcendental. Itulah manusia beragama dan beradab, homo relegius.
D. Refleksi Atas Fenomena
Dalam presfektif Al-Qur’an telah dijelaskan mengenai dua pendekatan ilmu pengetahuan-sciance, yaitu pendekatan dzikir (wahyu-intuisi). pendekatan Fikir (rasional-empiris) yang mengamati ayat kauniyah. Kedua pendekatan ini dapat dilhat dengan jelas dalam surat Ali Imron 190-191 :
       •                         • 
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(Q.S. Ali Imran:190-191)
Ulil albab (orang yang memiliki akal pikiran, intelektual,ilmuwan) adalah mereka yang menggunakan dan memadukan potensi dzikir (konteks wahyu-intuisi) dan potensi fakir (konteks rasio-realis). Bila manusia terjebak dalam penggunaan rasio-logis dalam memahami ayat-ayat Allah yang “kauniyah” maka muncul kecenderungan materialis-atheis. Sebaliknya jika terjebak hanya berkutat pada aktivitas dzikir maka akan menjadi panthaiesme yang skeptis.
Ilmu segala sesuatu itu berasal dari Allah yang mengejawantah (profan) ke dalam ayat Kauniyah dan Al-Quraniyah, ayat yang tersirat dan ayat yang tersurat. Ayat kauniyah (cosmos) berupa realitas empiric “bisa” didekati dengan menggunakan metode deduktif-induktif gaya Bacon dan rasionalitas-kausalitas ala Rane Descartes. Ayat Al-Quraniyah lebih menekankan metode bayani dibarengi dengan irfani dan burhani. Tetapi bisa juga menggunakan metode positivistik untuk memahami kandungan “kitab suci” yang sacral namun harus diiringi dengan rasa keberagamaan sehingga mempertebal keimanan.
Nabi menangis ketika menerima surat Ali Imron ayat 190-191 ini. Sampai-sampai Bilal bertanya : mengapa Engkau menangis ya Rasulullah?, bukankah segala dosa Engkau yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?. Nabi menjawab apakah Aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur (abdan syakuroo). Aku menangis karena khawatir pada umatku yang membaca ayat ini tetapi tidak pernah memikirkan isi kandungannya dan mengerjakan yang tersirat padanya.
Betapa pentingnya mempelajari, menggali, mengeksplorasi ayat-ayat Tuhan baik yang berdimensi aqliyah berupa alam raya maupun yang berdimensi naqliyah wahyu-kitab suci. Pengungkapan rahasia-rahasia alam bagi manusia relegius mempunyai “nilai ibadah” Sehingga ucapan terahkir manusia beragama adalah : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imron ayat 191 ).


















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat relegius, agamawan atau mistikiawan memandang ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang kehidupan yang sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertical). Oleh karena itu ilmu pengetahuan-science tidak bisa dipisahkan dari agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama muaranya akan kepada “Sang Pencipta”atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Pemisahan agama dengan ilmu pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free). Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”. Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu yang materialistic bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan krisis multidimensional. Di sisi lain manakala kecenderungan manusia hanya pada norma agama tanpa mempedulikan saintifik maka akan terjerumus pada sikap “pantheisme”, dunia bagaikan selebar sajadah.
Ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos) dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis. Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan psikis-spritual.

DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Halim Mahmud. 2003. Al-Qur’an fi Syahril Qur’an (terjemah), Tadarus Kehidupan di Bulan Al-Qur’an. Yogyakarta : Madani Pustaka Press.
 A.B. Shah. 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Cecep Sumarna. 2005.Rekonstruksi Ilmu dari empiris-Rasional Ateistik ke Empiris-Rasional-Teistik. Bandung : Benang Merah.
 Cecep Sumarna. 2006. Filsafat Ilmu ;dari Hakikat menuju Nilai. Bandung : Pustaka Bani Quraisy
 Husen Al-Habsy.1987. Kamus Al-Kautsar Lengkap, Bangil : Yayasan Pesantren Islam (YAPPI)
 H.Jono,Cecep Sumarna.2006. Melacak Jejak Filsafat. Bandung: Sangga Buana
 Jujun S. Sumantri.2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
 M. Amin Abdullah.1999. Studi Agama ; Normativitas atau Historisitas?., Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
 Maurice Bucaille. 2000. Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an,Sains. Bandung : Mizan
 Mircea Eliade.2002. Sakral dan Profan. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru.
 Muhammad Baqir Ash-Shadr. 1992. (terjemah), Falsafatuna ; Pandangan Muhammad Baqir
 Ash-Shadr Terhadap Pelbagai Airan Filsafat Dunia Bandung : Mizan.
 M.Quraisy shihab. 2006. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
 Nenih Machendrawaty Dan Agus Ahmad Syafe’i.2001. Pengembangan Masyarakat Islam ; Dari Ideologi Strategis sampai Tardisi. Bandung : Rosdakarya.