Daftar Blog Saya

Minggu, 18 April 2010

GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, adalah suatu ungkapan yang sangat akrab dengan kita. Ungkapan ini ditujukan kepada guru yang seluruh hidupnya dibaktikan untuk mengajar, membimbing, mengarahkan manusia ke jalan yang benar, tanpa pamrih dan tidak mengharap tanda jasa dari orang.
Guru adalah pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang bijaksana, pencetak para tokoh dan pemimpin ummat. Oleh sebab itu, seorang guru dituntut memilki berbagai sifat dan sikap yang terpuji dalam ucapan, pikiran dan perilakunya.
Seluruh nabi dan rasul yang diutus oleh Allah swt. adalah seorang guru yang mengajar, membimbing dan mengarahkan pengikutnya ke jalan yang dicintai Allah swt. tanpa sedikitpun mengharap pamrih dan balas jasa.
Di dalam makalah yang sederhana ini akan dibahas seputar sosok guru pendidikan Islam, seperti: arti penting seorang guru pendidikan Islam, sifat-sifat, faktor-faktor kesuksesan, posisi guru dalam aktifitas sekolah, dan perbedaan guru pendidikan Islam dengan guru pada materi lain.
Untuk memudahkan dalam pembahasan makalah ini maka pemakalah akan mencoba merumuskan makalah ini, yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Guru
2. Bagaimana Arti Penting Seorang Guru dalam Pendidikan Islam
3. Bagaimana Karakter Seorang Guru Pendidikan Islam
4. Bagaimana Tanggung Jawab Seorang Guru Pendidikan Islam
5. Bagaimana Guru Menurut Para Filosof Muslim
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Pengertian Guru
2. Arti Penting Seorang Guru dalam Pendidikan Islam
3. Karakter Seorang Guru Pendidikan Islam
4. Tanggung Jawab Seorang Guru Pendidikan Islam
5. Guru Menurut Para Filosof Muslim












BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Guru
Secara pengertian tradisional guru adalah seorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan (guru professional dan implementasi kuurikulum, syafruddin nurdin dan basyiruddin usman. . Sedangkan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.( Undang-undang system pendidikan Nasional No 20. Tahun 2003 tentang sisitem pendidikan nasional) Dengan menelaah dari pengertian guru diatas dapat disimpulkan bahwa seorang guru bukan hanya sekedar pemberi ilmu pengetahuan saja yang berada di depan kelas akan tetapi guru merupakan enaga professional yang dapt menjadikan murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan masalah yang dihadapi.
B. Arti Penting Seorang Guru dalam Pendidikan Islam
Al-Imam ’Al Ibra. Mengatakan, bahwa seorang guru adalah pilar dalam pendidikan, pengajaran dan dakwah. Guru adalah media pengajaran pertama dan utama untuk mewujudkan tujuan dan prinsip yang diyakininya, dipundaknya tergantung cita-cita, arahan dan penilaian. Dengan kemampuan yang dimiliki seorang guru, ia dapat mempersiapkan dan melahirkan generasi dan pemuda yang terdidik dengan secara ilmiah, akhlak, perilaku. Di pundaknya pula tergantung kemungkinan penerapan agama dan akidah Islam.
Sosok guru adalah sumber cahaya satu-satunya yang dapat menyelamatkan siswa dan pemuda dari kemerosotan akhlak, menghindarkan mereka dari kegelapan hidup, melindungi mereka dari kerusakan dan penyimpangan, dan mengajak mereka cembali kepada syariat Allah swt. Inilah sesungguhnya misi utama seorang guru, seperti yang difirmankan Allah swt. Dalam QS. Ibrohim (14): 10
      ••           
Artinya : “ Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
Berhasilnya penggunaan media dan metode pengajaran, sesungguhnya tergantung pada guru. Jadi, jika negara atau kementerian pendidikan berkeinginan untuk menerapakan metode pengajaran yang paling handal dengan media yang memadai, atau berkeinginan untuk merubah kuruikulum dengan yang lebih baik, berhasil dan gagalnya keinginan tersebut, sesungguhnya, semuanya tegantung kepada guru. Karena gurulah pelaku pertama dan utama keinginan tersebut, jika guru mampu menggunakan dan menerpakannya, maka keberhasilan akan terlihat dengan segera, tapi sebaliknya, jika guru tidak memiliki kafasitas dan kapabelitas dalam penggunaannya, maka kegagalan agar terjadi.
Pentingnya arti seorang guru, pada hakikatnya nampak pada kepribadiannya, perilaku dan kemampuannya memberi kesan dan pengaruh pada hati dan jiwa murid, terlebih lagi pada tingakatan dasar dan menengah.
C. Karakter Seorang Guru Pendidikan Islam
1. Guru pendidikan Islam adalah pemegang obor dakwah
Guru pendidikan agama Islam adalah pemegang obor dakwah, itu artinya seorang guru seharusnya senantiasa mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk pengembangannya, cara-cara penyiarannya. Tugas guru pendidikan agama Islam bukan hanya mencari gaji dari pekerjaannya, ia sesungguhnya, baik di sekolah, di masjid ataupun di dalam masyarakat, adalah media penyampai syariat Allah swt. dan akidah tauhid. Guru adalah pewaris tugas nabi dalam menyampaikan dakwah dan akidah Islam, terlebih lagi jika sang guru telah dibekali dengan ilmu-ilmu syariat. Rasulullah saw. Bersabda yang Terjemahnya: Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris tugas para nabi.
Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil dari orang-orang yang datang kemudian.
Oleh karena itu, guru wajib menunaikan aktifitas dakwah sebagaimana Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang telah berjuang dan berkorban karena mengemban amanat ini dan menyampaikan dakwah kepada seluruh manusia. Jadi, guru pendidikan Islam dalam kafasitasnya sebagai pegemban dakwah, seharusnya ia memilki sifat dan karakter seorang da’i, yaitu: sabar, bijaksanana, ikhlas dan inovatif dalam bekerja, serta menyandarkan seluruh urusannya hanya kepada Allah swt. Dalam hal tersebut, maka sangat pantas untuk menjadikan Rasulullah saw. sebagai contoh dan panutan. Allah swt. berfirman dalam QS. al-A¥z±b (33): 21,
                 
Artinya : “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
Ayat tersebut seharusnya dijadikan barometer bagi seorang da’i agar menjadikan Rasulullah saw. sebagai imam, pembimbing, petunjuk, dan menjadikan sirah nabi sebagai obor penerang dalam menunaikan tugas dakwah, dan mewarisi ilmu syariat, akhlak Islam dan didikan al-Qur’an dari Rasulullah saw., sehingga seorang guru benar-benar menjadi cermin yang bersih yang memantulakn cahaya dari pribadi Rasulullah saw., untuk kemudian diterapkan pada ummat dan masyarakat.
Seorang guru dalam kafasitasnya sebagai da’i, tidak boleh memaksakan dakwah ini kepada manusia, karena hidayah atau petunjuk Allah swt. mutlak milik Allah swt., ia hanya diperintahkan untuk menyampaikan dan menjelaskan kepada mereka. Seorang guru harus bersabar dengan profesinya, ia tidak boleh putus asa, terlebih lagi ketika menghdapai pembangkangan, kedurhakaan, intimidasi, tekanan, ancaman dan siksaan. Dengan bersabar, kemenangan dan kesusksesan akan tercapai. Hal ini adalah perilaku Rasulullah saw. yang diperintahkan Allah swt. kepadanya.
Pembangkangan, kedurhakaan, intimidasi, tekanan, ancaman dan siksaan adalah sunnatullah yang mesti terjadi pada pelaku dakwah dan perbaikan dalam masyarakat. Semuanya adalah ujian dan cobaan yang diberikan kepada mereka untuk menguji sejauh mana keimanan dan kekokohan akidah dan prinsip mereka, elain itu, untik mengangkat derajat mereka di sisi Allah swt. di akhirat kelak dan agar menjadi contoh bagi pelaku dakwah yang datang kemudian.
Dua puluh tiga tahun Rasulullah saw. mendakwahkan syariat Allah swt., dan selama masa itu beliau saw. bersabar dengan segala pembangkangan, kedurhakaan, intimidasi, tekanan, ancaman dan siksaan manusia yang ingkar kepada Allah swt.
2. Guru pendidikan Islam adalah pelaku akidah Islam
Seorang guru pendidikan Islam semestinya menjadi contoh orang yang berpegang teguh kepada akidahnya yang teraplikasi dalam akhlak, cara perbikir dan perilakunya. dia harus menjadi contoh yang baik dan panutan yang terpuji bagi murid dan masyarakatnya di sekolah, masjid dan masyarakat umum.
Seorang guru adalah orang pertama yang harus menerapkan akidah, syariat dan akhlak yang diyakininya sebelum mendakwahkanya kepada orang lain di masyarakat, masjid dan sekolah, supaya ajakan dan dakwahnya mendapatkan respon positif dari masyarakatnya. Betapa buruknya seorang guru dalam kafasitasnya sebagai da’i menyeru orang lain unrtuk menrpakan Islam secara kaffah, sementara dia sendiri jauh dan membenci ajaran Islam.
Dengan demikian, jika seorang guru pendidikan Islam menginginkan semua usaha, upaya, program dan cita-citanya dapat terwujud dengan mudah dan diberkahi, maka seharusnya ia sendiri yang pertama dan utama komitmen dan berpegang teguh dengan ajaran Islam itu sendiri dan ikhlas melakukannya, karena sebuah nasehat akan tertancap di hati, bila benar-benar keluar dan memancar dari hati dan praktik.
D. Tanggung Jawab Seorang Guru Pendidikan Islam
Seorang guru pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab dalam menyampaikan akidah, syariat dan akhlak Islam sebagaimana ia adanya, tanpa dilebih-lebihkan atau dikurangi; risalah Islam itu wajib ditunaikan dalam formatnya yang asli sebagaimana diterima dari generasi ke generasi hingga sampai pada masa Rasulullah saw.
Perkara ummat ini adalah tanggung jawab seorang guru pendidikan Islam, terlebih lagi kondisi ummat yang menghadapi berbagai macam bentuk pemikiran dan aliran destruktif, sistem dan gelombang yang mengingkari Allah swt., sehingga dengan demikian di pundaknya seluruh tanggung jawab, perbaikan, pertahanan, arahan dan nasehat yang bikasana kepada murid dan masyarakatnya.
Tanggung jawab ilmu dan yang membawanya sangat besar dan begitu agung, oleh karena itu siapapun yang menyembunyikannya atau teledor untuk menunaikan dan menyampaikannya kepada manusia, akan mendapatkan sanksi yang besar dan pedih dari Allah swt., seperti yang disampaikan-Nya dalam QS. al-Baqarah (2): 159,
•           •• ••         
Artinya :” Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati.…
E. Guru Menurut Para Filosof Muslim
1. Guru Menurut Ibn Miskawaih
Pendidik dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi. Selain itu karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada mereka kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula. Menurutnya, tidak semua mampu menduduki derajat seperti itu.
Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta kasih kepada Allah.
Dari pandangan demikian itu, dapat diambil suatu pemahaman bahwa guru yang tidak mencapai derajat seperti yang dimaksudkan di atas dinilai sama oleh Ibn Miskawaih dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Guru biasa menurut Ibn Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru memiliki persyaratan antara lain : bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.


2. Guru Menurut Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina Guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Selain lebih mengutamakan guru pria daripada guru wanita, ia juga mensyaratkan guru yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu guru juga harus mengutamakan kepentingan ummat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Dalam pendapatnya itu, Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkperibadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya.dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia akan dapat membina mental dan akhlak anak.
Guru seperti itu, tampaknya diangkat dari sifat dan kepribadian yang terdapat pada diri Ibnu Sina sendiri, yang selain memiliki kompetensi akhlak yag baik, juga memiliki kecerdasan dan keluasan ilmu.
3. Guru Menurut al-Ghazali
Sedang menurut al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak murid-muridnya. Selain sifat-sifat umum tersebut diatas, juga terdapat beberapa sifat khusus :
a. Rasa kasih sayang yang akan berujung menciptakan situasi yang kondusif.
b. Mengajar harus dipamahi sebagai akifitas mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini akan berujung pada keikhlasan, tidak mengharap apapun dari manusia.
c. Selain mengajar juga berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan muridnya serta tidak melibatkan diri dalam persoalan yang bisa mengalihkan konsentrasinya sebagai guru.
d. Dalam mengajar hendaknya digunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Semua sikap ini akan mempunyai dampak bagi psikis siswa.
e. Tampil sebagai teladan bagi muridnya, bersikap toleran, menghargai kemampuan orang lain, tidak mencela ilmu lain.
f. Mengakui adanya perbedaan potensi yang dimilki murid-muridnya secara individu dan memperlakukan murid sesuai dengan potensi masing-masing.
Tentang potensi individu ini Sa’di mengungkapkan bahwa Bilamana kemampuan bawaan sejak lahir baik, maka pendidikan akan memberikan suatu pengaruh. Tetapi tidak ada penggosok yang mampu mengkilakan terhadap sifat (watak) buruk yang keras. Jika Anda memandikan anjing ke dalam tujuh lautan, maka Anda tidak dapat merubah sifat alamiahnya, dan jika Anda membawa keledai Yesus (Isa al-Masih) ke Mekkah, maka sekembalinya dari Mekkah ia tetap seekor keledai.
Dikisahkan pula, seorang raja menyerahkan anak laki-lakinya kepada seorang guru dan berkata kepadanya, “Didiklah ia sebagaimana engkau mendidik anakmu sendiri.” Setelah beberapa tahun menjalani pendidikan, sang pangeran tidak mengalami kemajuan sementara anak sang guru, prestasi dan pengetahuannya mengungguli anak raja. Sang raja menyalahkan guru dan menuduhnya tidak berbuat adil dalam mengajar, kemudian sang guru menjawab: “Yang mulia, saya telah mengajar dengan adil dalam semua hal, tetapi setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Meskipun perak dan emas berasal dari saripati batuan, tetapi tidak semua batu mengandung emas dan perak.
g. Juga memahami bakat, tabi’at dan kejiwan muridnya sesuai dengan tingkat usia.
h. Bepegang teguh pada apa yang diucapkannya, serta berusaha untuk merealisasikannya.
Dari delapan sifat guru diatas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan masa sekarang.









BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Beban yang dipikul oleh guru pendidikan Islam di pundaknya sangat berat dan tugas yang akan dilaksanakannya membutuhkan tanggung jawab yang besar di hadapan Allah swt.
Guru pendidikan Islam bukan hanya mengajarkan ilmu dan mencetak intelektual, serta membentuk kemahiran ilmiah dalam jiwa murid, akan tetapi lebih dari itu, ia juga menanamkan akidah Islam, mengajarkan akhlak dan memperaktekkan akhlak.
Peran guru pendididkan Islam tidak hanya terbatas di kelas dan sekolah sebagaimana guru lain pada materi pelajarannya masing, akan tetapi perannya juga harus terlihat di luar sekolah, masjid, rumah dan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, ia harus memperlihatkan perilaku yang Islam agar dapat digugu dan ditiru, baik oleh muridnya, maupun orang lain, karena di samping dia sebagai guru, sesungguhnya dia juga seorang da’i yang menyeru manusia untuk berperilaku secara islami dalam seluruh lini kehidupan.






DAFTAR PUSTAKA

 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2003)
 Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din ; Kitab al-Ilm.
 Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta, Srigunting, 1995).
 Ada al-‘Alim wa al-Muta’alim, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt.)
 Ibn Sina, Al-Siyasah fi al-Tarbiyah, (Mesir, Majalah al-Masyrik, 1906)
 Ahmad Fu’ad. al-Tarbiyyah fi al-Islam aw al-Ta’lim fi Ra’y al-Q±abiso. al-Qahirah: , 1955.
 Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim. Raw«at al-Mu¥ibbin wa Nuzhat al-Musytaqin. Cet. Dimasyq: Dar al-Bayan, 2000.
 Al-Mawd¬di, Ab¬ al-A’la. Ta©kiat Du’at al-Islam. Cet. I; Dar al-‘Arabiyyah li al-iba’ah wa al-Nasyr, 1974.
 Qutb, Muhammad. Manhaj al-Tarbiyyah al-Islamiyyah. Cet. II; al-Qahirah: Dar al-Qalam, t.t.
 Al-alib, Al-Imam ’Ali Ibn Abi. Nahj al-Balaghah. al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, t.t.
 Al-Tabarani, Sulayman Ibn Ahmad Ibn Ayy¬b Ab¬ al-Qasim. Musnad al-Syamiyin. Cet. alBayr¬t: Mu’assasah al-Risalah, 1984.

PENDIDIKAN KELUARGA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada di masyarakat. Sebagai satuan terkecil, keluarga merupakan miniatur dan embrio berbagai unsur sistem sosial manusia. Suasana keluarga yang kondusif akan menghasilkan warga masyarakat yang baik karena di dalam keluargalah seluruh anggota keluarga belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan, terutama sejak iptek berkembang secara pesat, telah banyak memberikan pengaruh pada tatanan kehidupan umat manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif. Kehidupan keluarga pun, banyak mengalami perubahan dan berada jauh dari nilai-nilai keluarga yang sesungguhnya. Dalam kondisi masa kini, yang ditandai dengan modernisasi dan globalisasi, banyak pihak yang menilai bahwa kondisi kehidupan masyarakat dewasa ini khususnya generasi mudanya dalam kondisi mengkhawatirkan, dan semua ini berakar dari kondisi kehidupan dalam keluarga. Oleh karena itu, pembinaan terhadap anak secara dini dalam keluarga merupakan suatu yang sangat mendasar. Pendidikan agama, budi pekerti, tatakrama, dan baca-tulis-hitung yang diberikan secara dini di rumah serta teladan dari kedua orangtuanya akan membentuk kepribadian dasar dan kepercayaan diri anak yang akan mewarnai perjalanan hidup selanjutnya. Dalam hal ini, seorang ibu memegang peranan yang sangat penting dan utama dalam memberikan pembinaan dan bimbingan (baik secara fisik maupun psikologis) kepada putra-putrinya dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang lebih berkualitas selaku warga negara (WNI) yang baik dan bertanggung jawab termasuk tanggung jawab sosial.
Sebagai makhluk hidup, setiap anggota keluarga setiap saat akan selalu beraktivitas atau berperilaku ( baik yang nampak ataupun yang tidak tampak) untuk mencapai tujuan tertentu ataupun sekedar memenuhi kebutuhan. Adakalanya tujuan atau kebutuhannya itu tercapai, tetapi mungkin juga tidak, atau adakalanya perilaku yang nampak itu selaras dengan yang tidak nampak, adakalanya tidak. Dalam kondisi seperti ini, bukan hal yang mustahil akan menimbulkan masalah/konflik dan akan mengakibatkan beban mental/stress. Tentu diperlukan pemahaman dan bimbingan yang tepat unuk membantu mereka.
Berkaitan dengan hal-hal di atas, dalam tulisan akan dibahas secara singkat mengenai: (1) Pengertian Keluarga; (2) Keluarga dalam Pendidikan Islam; (3) Keluarga sebagai lingkungan pendidikan utama; (4) orang tua sebgai pendidikan
Untuk mempermudah dalam pembahasan makalah ini maka pemakalah akan merumuskan masalah ini yaitu sebgai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian keluarga ?
2. Bagaimana keluarga dalam pendidikan islam ?
3. Bagaimana keluarga sebagai lingkungan pendidikan utama ?
4. Bagaimana orang tua sebgai pendidik ?
C. Tujuan PenelitiaPenulisan Makalah
Tujuan penulis makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Pengertian keluarga
2. Keluarga dalam pendidikan islam
3. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan utama
4. Orang tua sebgai pendidik











BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat terbentuk sebagai akibat adanya perkawinan berdasarkan agama dan hukum yang sah. Dalam arti yang sempit, keluarga terdiri dari ayah, ibu (dan anak) dari hasil perkawinan tersebut. Sedangkan dalam arti luas, keluarga dapat bertambah dengan anggota kerabat lainnya seperti sanak keluarga dari kedua belah pihak (suami dan istri) maupun pembantu rumah tangga dan kerabat lain yang ikut tinggal dan menjadi tanggung jawab kepala keluarga (ayah).
Kehidupan keluarga pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Pembinaan nilai-nilai dan norma agama serta budaya.
2. Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain.
3. Pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi; mengenal diri sendiri maupun orang lain; pembentukan kepribadian; melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga; dan lain-lain.
4. Penanaman kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pencapaian fungsi-fungsi keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota keluarga. Hal ini akan membentuk ketahanan keluarga yang mejadi landasan untuk ketahanan masyarakat, ketahanan wilayah dan lebih jauh lagi mendukung ketahanan nasional yang berpengaruh positif sebagai daya tangkal terhadap pertahanan negara.

B. Keluarga dalam Pendidikan Islami
Pada prinsipnya pendidikan agama yang dilaksanakan di lingkungan sekolah, masyarakat dan keluarga itu sama saja, hanya sistem pendidikan dan pengajarannya yang berbeda, kalau di lingkungan sekolah menggunakan sistem pendidikan persekolahan yang segalanya serba formal, sedang di lingkungan masyarakat dan keluarga menggunakan sistem pendidikan yang ada di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pendidikan pada umumnya terbagi pada dua bagian besar, yakni pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Hal ini berdasar pada: “Maka proses belajar itu bagi seseorang dapat terus berlangsung dan tidak terbatas pada dunia sekolah saja. Oleh karena itu proses belajar bagi seseorang itu menjadi life long process.
Dengan dasar di atas, maka arti pendidikan luar sekolah adalah sebagai berikut:
Pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkatan keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.
Selanjutnya Philips H. Combs, mengungkapkan bahwa:
Pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formil. baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan-tujuan belajar.
Untuk memperoleh pengertian yang jelas tentang pendidikan agama yang dilakukan di lingkungan keluarga maka akan penulis kemukakan pendapat; Drs. H. M. Arifin M.Ed sebagai berikut:
Bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dalam uraian selanjutnya kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dengan memperhatikan serangkaian pendapat-pendapat tentang pendidikan luar sekolah dan pendidikan Agama Islam dapat ditarik kesimpulan tentang pendidikan Agama Islam di lingkungan keluarga sebagai berikut; interaksi yang teratur dan diarahkan untuk membimbing jasmani dan rohani anak dengan ajaran Islam, yang berlangsung di lingkungan keluarga.
Dalam pelaksanaannya, maka proses pendidikan Agama Islam di lingkungan keluarga berlangsung antara orang-orang dewasa yang bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan agama, dan anak-anak sebagai sasaran pendidikannya.
Sekali lagi bahwa yang dimaksud dengan pendidikan agama Islam di lingkungan keluarga itu merupakan pemberian sejumlah pengetahuan keagamaan dengan berbagai teori keagamaan, akan lebih ditekankan pada praktek hidup sehari-hari di lingkungan keluarga itu dilandasi dengan ajaran agama, sehingga hasilnya pendidikan agama itu sendiri akan betul-betul melekat dalam pribadi anak.
Pentingnya Pendidikan Agama di Lingkungan keluarga Untuk memperoleh jawaban apakah penting pendidikan agama di lingkungan keluarga? Dan dalam hal apakah pentingnya pendidikan agama di lingkungan keluarga?
Untuk menjawabnya, maka akan penulis kutip pendapat Umar Hasyim berikut ini:
….. Sejak kecil anak-anak seharusnya telah menerima didikan agama. Sejak anak dalam kandungan, setelah lahir hingga dewasa, masih perlu kita bimbing. Dan menurut hasil penelitian ilmu pengetahuan modern mengatakan bahwa yang dominan membentuk jiwa manusia adalah lingkungan, dan lingkungan pertama yang dialami oleh sang anak adalah asuhan Ibu dan ayah.
Disinilah pula pentingnya mengapa mendidik anak dimulai sejak dini, karena perkembangan jiwa anak telah mulai sejak kecil, sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian maka fitrah manusia itu kita salurkan, kita bimbing dan kita juruskan kepada jalan yang seharusnya sesuai dengan arahnya.5
Dan pendapat Drs. Noor Syam, berikut ini:
Kelahiran dan kehadiran seorang anak dalam keluarga secara ilmiah memberikan adanya tanggung jawab dari pihak orang tua. Tanggung jawab ini didasarkan atas motivasi cinta kasih, yang pada hakekatnya juga dijiwai oleh tanggung jawab moral. Secara sadar orang tua mengemban kewajiban untuk memelihara dan membina anaknya sampai ia mampu berdikari sendiri (dewasa) baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun moral. Sedikitnya orang tua meletakan dasar-dasar untuk mandiri itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa:
Dorongan / motivasi kewajiban moral, sebagai konsekwensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Tanggung jawab moral ini meliputi nilai-nilai religius spiritual yang dijiwai Ketuhanan Yang Maha Esa dan agama masing-masing, di samping didorong oleh kesadaran memelihara martabat dan kehormatan keluarga.
Dalam kutipan yang pertama di atas dikemukakan bahwa lingkungan keluarga itu amat dominan dalam memberikan pengaruh-pengaruh keagamaan terhadap anak-anak, sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan pendidikan agama sangat menentukan baik keberhasilannya. Sehingga amat disayangkan kalau kesempatan yang baik dari lingkungan pertama yaitu keluarga itu disia-siakan atau dilalui anak tanpa pendidikan agama dari pihak ibu dan bapak serta orang-orang yang bertanggung jawab di sekitarnya.
Dalam kutipan selanjutnya, yaitu dari Drs. Noor Syam di sana ditekankan bahwa pentingnya pendidikan orang tua terhadap anak di lingkungan keluarga itu karena didorong oleh beberapa kewajiban, kewajiban moral, kewajiban sosial dan oleh dorongan cinta kasih dari seseorang terhadap keturunannya.
Dalam hubungannya dengan kelanjutan pendidikan atau kehidupan anak di masa mendatang, maka pendidikan di lingkungan keluarga, termasuk di dalamnya pendidikan agama, hal itu merupakan sebagai tindakan pemberian bekal-bekal kemampuan dari orang tua terhadap anak-anaknya, dalam menghadapi masa-masa yang akan dilaluinya.
Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI. no 21 tahun 1994 mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumberdaya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu:
1) Fungsi Keagamaan
Dalam keluarga dan anggotanya fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Fungsi Sosial Budaya
Fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan, sehingga dalam hal ini diharapkan ayah dan ibu untuk dapat mengajarkan dan meneruskan tradisi, kebudayaan dan sistem nilai moral kepada anaknya.
3) Fungsi Cinta kasih
Hal ini berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Cinta menjadi pengarah dari perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang bijaksana.
4) Fungsi Melindungi
Fungsi ini dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga.
5) Fungsi Reproduksi
Fungsi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa.
6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan
Fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang.
7) Fungsi Ekonomi
Sebagai unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga.
8) Fungsi Pembinaan Lingkungan
Memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.11

C. Keluarga Sebagai lingkungan Pendidikan Utama
Keluarga merupakan ladang terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama. Pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama harus diberikan kepada anak sedini mungkin salah satunya melalui keluarga sebagai tempat pendidikan pertama yang dikenal oleh anak. Menurut Zuhairini dkk (1995: 182) bahwa pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama, tempat anak didik pertama-tama menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tua atau anggota keluarga lainnya. Di dalam keluarga inilah tempat meletakkan dasar-dasar kepribadian anak didik pada usia yang masih muda, karena pada usia ini anak lebih peka terhadap pengaruh dari pendidikan (orang tua dan anggota lain). Manusia dalam menuju kedewasaannya memerlukan bermacammacam proses yamg diperankan oleh bapak dan ibu dalam lingkungan keluarga. Keluarga merupakan wadah yang pertama dan dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Pengalaman empiris membuktikan bahwa institusi lain diluar keluarga tidak dapat menggantikan seluruhnya peran lembaga bahkan pada institusi non keluarga, seperti play group sangat mungkin adanya beberapa nilai yang negatif yang berpengaruh jelek bagi pembentukan dan pendidkan anak terutama pendidikan akhlak (Faiz, 2001: 70). Kesadaran orang tua akan peran dan tanggung jawabnya selaku pendidik pertama dan utama dalam keluarga sangat diperlukan. Tanggung jawab orang tua terhadap anak tampil dalam bentuk yang bermacam-macam. Konteknya dengan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan, maka orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Bagi anak orang tua adalah model yang harus ditiru dan diteladani. Sebagai model seharusnya orang tua memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga. Sikap dan perilaku orang tua harus mencerminkan akhlak yang mulia. Oleh karena itu Islam mengajarkan kepada orang tua agar selalu mengajarkan sesuatu yang baik-baik saja kepada anak mereka. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq Said bin Mansur yang terdapat dalam buku Abdullah Nasikh Ulwani (1999: 186) Rasulullah SAW bersabda: "Artinya : Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik ".(HR. Abdur Razzaq bin Manshur)
D. Orang Tua sebagai Pendidik
Orang tua adalah sebagai pendidik bagi anak-anaknya dalam keluarga. Dalam membina kepribadian anak orang tua hendaknya memahami dorongan-dorongan serta kebutuhan anak baik secara psikis maupun fisik dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga target dalam mengasuh anak akan tercapai sebagaimana yang diinginkan.
Menurut Zakiah Daradjat, orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu.
Senada dengan pendapat di atas, Abu Ahmadi mengatakan bahwa orang tua mempunyai peranan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya untuk membawa anak kepada kedewasaan, maka orang tua harus memberi contoh yang baik karena anak suka mengimitasi pada orang tuanya.
Adapun eksistensi orang tua sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan anak menurut Abdullah Nasih Ulwan adalah:
“Orang pertama dan terakhir yang bertanggung jawab mendidik anak dengan keimanan dan akhlak, membentuknya dengan kematangan intelektual dan keseimbangan fisik dan psikisnya serta mengarahkannya kepada kepemilikan ilmu yang bermanfaat dan bermacam-macam kebudayaannya adalah orang tua”.
Adapun kewajiban utama orang tua sebagai pendidik dalam keluarga menurut Abdurrahman al-Nahlawi ada dua, yaitu:
1. Membiasakan anaknya supaya senantiasa mengingat keagungan dan kebesaran Allah dengan mengajak mereka untuk memikirkan atau mentafakkuri segala ciptaan Allah swt.
2. Menampakkan sikap keteguhan di hadapan anak dalam menghadapi berbagai penyimpangan orang-orang sesat, seperti kezaliman, hidup tak bermoral dan sebagainya.




BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat terbentuk sebagai akibat adanya perkawinan berdas Keluarga merupakan ladang terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama.
Pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama harus diberikan kepada anak sedini mungkin salah satunya melalui keluarga sebagai tempat pendidikan pertama yang dikenal oleh anak.arkan agama dan hukum yang sah\
Orang tua adalah sebagai pendidik bagi anak-anaknya dalam keluarga. Dalam membina kepribadian anak orang tua hendaknya memahami dorongan-dorongan serta kebutuhan anak baik secara psikis maupun fisik dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga target dalam mengasuh anak akan tercapai sebagaimana yang diinginkan.

B. Saran-saran
Melihat begitu pentingnya pendidikan anak dalam kelauarga, maka diharapkan para orang tua seoptimal mungkin memberikan pendiikan kepada anak-anaknya dalam keluarga






















DAFTAR PUSTAKA


 Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, 2005, Psikologi Perkembangan Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta
 Kartini, K., 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar Maju.
 Mc Cleland, D., 1984. Motives, Personality and Society. New York: Praeger.
 Megawangi, R., 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung: Mizan.
 Peraturan Pemerintah RI no.21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
 Rohidi, T., 1994. Pendekatan Sistem Sosial Budaya dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Pres
 Satoto, 1998. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak – Disertasi: Semarang: Universitas Dipenogoro
 Soerjono, S., 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali.
 Khaeruddin, 2002, Ilmu Pendidikan Islam Cet. I; Makassar: CV. Berkah Utami
 Zakiah Daradjat1970, Ilmu Jiwa Agama Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang
 Zulkifli., 1995. Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya.







Sebagai sistem sosial terkecil, keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal pembentukan karakter suatu individu. “Keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus, dan harus mempersiapkan dan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti sandang dan pangan. Setiap keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang.” Keluarga memiliki definisi tersendiri bagi orang Jawa. “Bagi orang Jawa, keluarga merupakan sarung keamanan dan sumber perlindungan.”
Pengertian keluarga juga dapat dilihat dalam arti kata yang sempit, sebagai keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami (ayah), isteri (ibu) dan anak-anak mereka. Sedangkan keluarga dalam arti kata yang lebih luas misalnya keluarga RT, keluarga komplek, atau keluarga Indonesia.
Keluarga menjalankan peranannya sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak. Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang.
Keluarga merupakan payung kehidupan bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi seorang anak. Beberapa fungsi keluarga selain sebagai tempat berlindung, diantaranya :
a. Mempersiapkan anak-anak bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan norma-norma aturan-aturan dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada (sosialisasi).
b. Mengusahakan tersekenggaranya kebutuhan ekonomi rumah tangga (ekonomi), sehingga keluarga sering disebut unit produksi.
c. Melindungi anggota keluarga yang tidak produksi lagi (jompo).
d. Meneruskan keturunan (reproduksi).
Menurut Kingslet Davis dalam Murdianto (2003:23) menyebutkan bahwa fungsi keluarga ialah :
a. Reproduction, yaitu menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk kelestarian sistem sosial yang bersangkutan.
b. Maintenance, yaitu perawatan dan pengasuhan anak hingga mereka mampu berdiri sendiri.
c. Placement, memberi posisi sosial kepada setiap anggotanya, baik itu posisi sebagai kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga, atau pun posisi-posisi lainnya.
d. Sosialization, pendidikan serta pewarisan nilai-nilai sosial sehingga anak-anak kemudian dapat diterima dengan wajar sebagai anggota masyarakat.
e. Economics, mencukupi kebutuhan akan barang dan jasa dengan jalan produksi, distribusi, dan konsumsi yang dilakukan di antara anggota keluarga.
f. Care of the ages, perawatan bagi anggota keluarga yang telah lanjut usianya.
g. Political center, memberikan posisi politik dalam masyarakat tempat tinggal.
h. Physical protection, memberikan perlindungan fisik terutama berupa sandang, pangan, dan perumahan bagi anggotanya.
Bila seorang anak dibesarkan pada keluarga pembunuh, maka ia akan menjadi pembunuh. Bila seorang anak dibesarkan melalui cara-cara kasar, maka ia akan menjadi pemberontak. Akan tetapi, bila seorang anak dibesarkan pada keluarga yang penuh cinta kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi cemerlang yang memilki budi pekerti luhur. Keluarga sebagai tempat bernaung, merupakan wadah penempaan karakter individu.
Pada masa sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah karena terjadi perubahan sosial, politik, dan budaya. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan. Tidak seperti fungsi keluarga pada masa lalu yang merupakan kesatuan produktif sekaligus konsumtif. Ketika kebijakan ekonomi pada zaman modern sekarang ini mendasarkan pada aturan pembagian kerja yang terspesialisasi secara lebih ketat, maka sebagian tanggung jawab keluarga beralih kepada orang-orang yang menggeluti profesi tertentu.
Uraian tersebut cukup menjelaskan apa arti keluarga yang sesungguhnya. Keluarga bukan hanya wadah untuk tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Lebih dari itu, keluarga merupakan wahana awal pembentukan moral serta penempaan karakter manusia. Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menjalani hidup bergantung pada berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam menanamkan ajaran moral kehidupan. Keluarga lebih dari sekedar pelestarian tradisi, kelurga bukan hanya menyangkut hubungan orang tua dengan anak, keluarga merupakan wadah mencurahkan segala inspirasi. Keluarga menjadi tempat pencurahan segala keluh kesah. Keluarga merupakan suatu jalinan cinta kasih yang tidak akan pernah terputus.


DAFTAR PUSTAKA

 Armstrong, Thomas. 2005. Setiap Anak Cerdas. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
 Effendi, Suratman, Ali Thaib, Wijaya, Dan B. Chasrul Hadi. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
 Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.
 Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.
 Gunarsa, Singgih D. Menyikapi Periode Kritis Pada Anak dan Dampaknya Pada Profil Kepribadian tahun 2001 dalam Psikologi Perkembangan Pribadi dari bayi sampai lanjut usia. Editor: S. C. Utami Munandar. Jakarta: UI Press. 2001.
 Hawadi, Reni Akbar. 2001. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: PT. Grasindo.
 Mudjijono, Hermawan, Hisbaron, Noor Sulistyo, dan Sudarmo Ali. 1996 . Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
 .Munandar, Utami. 1983. Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Psikologis. Depok: UI Press.
 Zurayk, Ma’ruf. 1997. Aku dan Anakku. Bandung: Al-Bayan (Kelompok Penerbit Mizan).
11

FALSAFAH PANCASILA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.
Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi luhur. Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat adalah, karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.
Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.




B. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan bebe-rapa rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
1. Apakah landasan filosofis Pancasila?
2. Bagaimana pancasila sebagai dasar Negara Indonesia ?
3. Bagaimana nilai ketuhanan menjiwai seluruh elemen pancasila?
4. bagaimana pancasila menjiwai nilai pendidikan nasional ?
C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1. Landasan filosofis Pancasila
2. Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia
3. Nilai ketuhanan menjiwai seluruh elemen pancasila
4. Pancasila menjiwai nilai pendidikan nasional








BAB III
PEMBAHASAN
A. Landasan Filosofis Pancasila
1. Pengertian Filsafat
Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau dalam bahasa Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahsa Yunani “philosophia” yang secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata philosophia tersebut berakar pada kata “philos” (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berdasarkan pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos.
Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai pengetahuan bijaksana, karena itu yang mencarinya adalah oreang yang mencintai kebenaran. Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari setiap filosof dari dahulu sampai sekarang. Di dalam mencari kebijaksanaan itu, filosof mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya (merenung). Hasil filsafat (berpikir sedalam-dalamnya) disebut filsafat atau falsafah. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.
2. Pengertian Pancasila
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk mencapai Nirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu
1. Jangan mencabut nyawa makhluk hidup/Dilarang membunuh.
2. Jangan mengambil barang orang lain/Dilarang mencuri
3. Jangan berhubungan kelamin/Dilarang berjinah
4. Jangan berkata palsu/Dilarang berbohong/berdusta.
5. Jangan mjnum yang menghilangkan pikiran/Dilarang minuman keras.
Diadaptasi oleh orang jawa menjadi 5 M = Madat/Mabok, Maling/Nyuri, Madon/Awewe, Maen/Judi, Mateni/Bunuh.
Pengertian Pancasila Secara Etimologis
Perkataan Pancasil mula-mula terdapat dalam perpustakaan Buddha yaitu dalam Kitab Tripitaka dimana dalam ajaran buddha tersebut terdapat suatu ajaran moral untuk mencapai nirwana/surga melalui Pancasila yang isinya 5 J [idem].
Pengertian secara Historis
• Pada tanggal 01 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato tanpa teks mengenai rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara
• Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, kemudian keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD 1945 termasuk Pembukaannya dimana didalamnya terdapat rumusan 5 Prinsip sebagai Dasar Negara yang duberi nama Pancasila. Sejak saat itulah Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang umum. Jadi walaupun pada Alinea 4 Pembukaan UUD 45 tidak termuat istilah Pancasila namun yang dimaksud dasar Negara RI adalah disebut istilah Pancasila hal ini didaarkan interprestasi (penjabaran) historis terutama dalam rangka pembentukan Rumusan Dasar Negara.

Pengertian Pancasila Secara Termitologis
Proklamasi 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara RI untuk melengkapai alat2 Perlengkapan Negara PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 dan berhasil mengesahkan UUD 45 dimana didalam bagian Pembukaan yang terdiri dari 4 Alinea didalamnya tercantum rumusan Pancasila. Rumusan Pancasila tersebut secara Konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara RI yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia
B. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila yang dikukuhkan dalam sidang I dari BPPK pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya.
Sidang BPPK telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila tercantum secara resmi dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.
Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD.

Oleh karena Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila). Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber huum (sumber huum formal, undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum).
Di sinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.
Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan dari luar negeri.
Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang.
Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.

C. Nilai Ketuhanan menjiwai seluruh elemen pancasila
Nilai ketuhan yang terdapat dalam sila pertama dalam pancasila pada hakekatnya menjiwai seluruh elemen yang ada pada pancasila itu sendiri,untuk memperjelas pembahasannya pemakalah akan mencobah menguraikan sila-sila yang ada di pancasila, yaitu sebagai berikut.
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan mejiwai keempat sila lainnya. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral negara, setiap moral penyelenggara negara, politik negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab secara sistematis didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila berikutnya. Sila kemanusiaan sebagai dasar fundamental dalam kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar filosofis antropologis bahwa hakikat manusia adalah susunan kodrat rookhani (jiwa) dan raga, sifat kodrat individu dan makhluk sosial. Kedudukan kodrat makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah mengandung silai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasar kan pada potensi budi nurani manusia maupun terhadap lingkungannya. Nilai kemanusiaan yang beradab adalh perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya bermoral dan beragama.

Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Hal ini mengandung suatu pengertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya nilai yang terkandung dalam kemanusiaan adil dan beradab adalh menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
3. Persatuan Indonesia
Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu persatuan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis. Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab serta mendasari dan dijiwai sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama antara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama. Oleh karena itu perbedaan adalah merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu seloka Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainakan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.
Nilai persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionalisme yang bermoral ketuhanan yang maha esa, nasionalisme yang humanistik yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk tuhan.
4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
Nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan didasari oleh sila ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia, dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nilai filosofis yang terkandung didalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi selurh rakyat Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan yang maha esa.
Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat bangsa dengan negaranya serta hubungan manusia dengan tuhannya. Konsekuensinya nilai-nilai keadilan:
a. Keadilan distributif, yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap warganya.
b. Keadilan legal (keadilan bertaat) yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara.
c. Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik.
D. Pancasila menjiwai nilai pendidikan nasional
Dalam nuud no.2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional dan juga termuat dalam Dirjen Dikti. No.265/DIKTI/Kep/2000, dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, kebudayaan dan beraneka ragam kepentingan. Perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, diarahkan pada prilaku yang mendukung upaya mewujudkan keadilan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan pendidikan diartikan sebagai seperangkat tindakan intelektual penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang profesi tertentu. Kompetensi lulusan pendidikan Pancasila adalah seperangkat tindakan intelektual, penuh tanggung jawab sebagai seorang warga negara dalam memecahkan berbagai masalah dalam hidup bermasyarakat, berbangsa benegara dengan menerapkan pemikiran yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila Sifat mtelektual tersebut tercermin pada kemahiran, ketepatan dan keberhasilan bertindak, sedangkan sifat penuh tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditilik dan aspek iptek, etika ataupun kepatutan agama serta budaya.
Pendidikan Pancasila berbajuan untuk tnenghasilkan peserta didik dengan sikap dan perilaku.

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
2. Berperikemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Mendukung – persatuan bangsa,
4. Mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu maupun golongan,
5. Mendukung upaya untuk mewujudkan suatu keadilan sosial dalam masyarakat.














BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah memperhatikan isi dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
2. Fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan sebagai dasar negara Republik Indonesia
3. Nilai ketuhan yang terdapat dalam sila pertama dalam pancasila pada hakekatnya menjiwai seluruh elemen yang ada pada pancasila itu sendiri,untuk memperjelas pembahasannya pemakalah akan mencobah menguraikan sila-sila yang ada di pancasila.
4. Dan pancasila sendiri yaitu menjiwai trhadap nilai pendidikan nasional terbukti ditandai dengan kesesuaian nilai yang terkandung dalam pancasila dengan tujuan pendidikan nasional.
B. Saran
Warganegara Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup dan tinggal di negara Indonesia Oleh karena itu sebaiknya warga negara Indonesia harus lebih meyakini atau mempercayai, menghormati, menghargai menjaga, memahami dan melaksanakan segala hal yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya dalam pemahaman bahwa falsafah Pancasila adalah sebagai dasar falsafah negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
 Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
 Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pancoran Tujuh.
 Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran Tujuh.
 Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta





















KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Falsafah Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Indonesia” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu matakuliah Pancasila Drs. Soewarno M.Hum.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Pancasila, serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Pancasila atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Pancasila yang ditinjau dari aspek filsafat atau falsafah, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Purwokerto, Maret 2008

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

BAB I
PENDAHULUAN

Tiupan angin multikulturalisme berhembus sangat keras seiring dengan gelombang globalisasi yang melanda dunia. Gelombang globalisasi yang ikut dipacu oleh teknologi informasi bahkan telah melahirkan, bukan hanya budaya dunia tetapi juga budaya maya (cyber culture). Kemajuan teknologi informasi telah membentuk ruang cyber yang maha luas, suatu universe baru, yaitu universe yang dibangun melalui komputer dan jaringan komunikasi. Ruang cyber yang baru itu merupakan ruang lalu lintas ilmu pengetahuan, gudang rahasia, berbagai ukuran dan indikator, entertainment, dan berbagai bentuk pertunjukkan, suara, dan musik yang dipancarkan dengan kecepatan cahaya elektronik, itulah ruang cyber yang telah melahirkan budaya maya (cyber culture), berupa suatu geografi mental yang dibangun melalui berbagai konsensus dan revolusi, teritori mental yang dipenuhi dengan berbagai data dan kebohongan, yang dipenuhi jutaan suara dan mata yang bisu dan tak tampak, yang keseluruhannya menimbulkan rasa ingin tahu, ingin berbagi mimpi, dan sebagainya.
Melalui dunia nyata yang semakin sempit serta dunia maya yang melahirkan jenis fantasi manusia, umat manusia dewasa ini bukan hanya mengenal budayanya sendiri tapi juga mengenal budaya-budaya lain di segala penjuru dunia. Multikulturalisme bukan sekedar pengenalan terhadap berbagai jenis budaya di dunia ini, tetapi juga telah merupakan tuntutan dari berbagai komunitas yang memiliki budaya-budaya tersebut. Ada yang beranggapan multikulturalisme merupakan suatu arus balik dari gelombang globalisasi.
Di samping perkembangan teknologi dan informasi, pada masa ini masih banyak kita lihat pelbagai peristiwa konflik, baik konflik antar negara maupun antar daerah atau suku bahkan agama. Munculnya konflik sering disebabkan karena perbedaan suku/etnis, budaya, agama, dan lain-lain. Dalam pandangan Muhaemin:
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.

Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai terdengar di kalangan akademis, praktisi budaya, dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia. Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar (2004) pernah mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa.
Dalam makalah sederhana ini ingin sedikit mengupas hakikat multikulturalime dan hakikat pendidikat multikultural sebagai salah satu solusi untuk mengurangi terjadinya perlbagai konflik.


















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu ”multi” yang berarti plural, ”kulturalisme” berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan berarti sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi tetapi tidak mengakui adanya pluralisme di dalam kehidupannya sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Pluralisme ternyata berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Komunitas-komunitas tersebut mempunyai budayanya masing-masing.
Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Menurut Tilaar, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang mendorong berkembang pesatnya pemikiran multikulturalisme yaitu HAM, globalisasi, dan proses demokratisasi.

B. Pendidikan Multikultural
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam , yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional. Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.

Menurut penelitian Banks terdapat berbagai dimensi di dalam perkembangan pendidikan multikultural di Amerika:
a. Integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration): Upaya untuk mengintegrasikan pendidikan multikultural di dalam kurikulum dan di mana atau bagian apa dalam kurikulum integrasi tersebut ditempatkan. Isi kurikulum tersebut antara lain berkaitan dengan masalah bagaimana mengurangi berbagai prasangka di dalam perlakuan dan tingkah laku rasial dari etnis-etnis tertentu dan di dalam materi apa prasangka-prasangka tersebut dapat dikemukakan. Di dalam kaitan ini diperlukan studi mengenai berjenis-jenis kebudayaan dari kelompok-kelompok etnis. Di dalam kaitan ethnic studies movement sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat. Termasuk di dalam gerakan ini adalah menulis dan mengumpul-kan sejarah dari masing-masing kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat.
b. Kontruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction): Di dalam kaitan ini dipelajari mengenai sejarah perkembangan masyarakat Barat dan perlakuannya, serta reaksi dari kelompok etnis lainnya. Sejarah berisi hal-hal yang positif maupun yang negatif yang perlu diketahui oleh peserta didik di dalam upaya mengerti kondisi masyarakatnya dewasa ini.
c. Pengurangan Prasangka (prejudice reduction): Prasangka rasial memang dihidupkan sejak kanak-kanak. Di dalam pergaulan sesamanya mulai ditanamkan prasangka-prasangka yang positif maupun yang negatif terhadap sesamanya. Dengan pergaulan antar kelompok yang intensif, prasangka-prasangka buruk dapat dihilangkan dan dapat dibina kerja sama yang erat dan saling menghargai. Peringatan akan pahlawan-pahlawan, tanpa membedakan warna kulit dan agamanya merupakan cara-cara untuk menanamkan sikap positif terhadap kelompok etnis tertentu. Nilai-nilai tersebut dimasukkan di dalam kurikulum tanpa merubah struktur kurikulum itu sendiri. Akhirnya pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik ditransformasikan di dalam perbuatan, misalnya di dalam memperingati hari-hari besar dari masing-masing kelompok etnis yang ada di dalam sekolah atau masyarakatnya.
d. Pedagogik kesetaraan antarmanusia (equity pedagogy): Kebudayaan berkaitan dengan kehidupan yang nyata. Kelompok-kelompok etnis yang tersisihkan disebebkan karena sikap yang tidak adil di dalam masyarakat. Oles sebab itu, diperlukan pedagogik yang memperhatikan antara lain kelompok-kelompok masyarakat miskin yang tidak memperoleh kesempatan yang sama dibandingkan dengan kelompok anak-anak dari golongan menengah atau golongan atas. Demikian pula, ternyata ada kaitan antara intelegensi anak dengan kehidupan sosialnya. Anak-anak dari kelompok masyarakat miskin biasanya terhalang perkembangan intelegensinya dan oleh sebab itu, perlu diperhatikan dengan lebih seksama tentang perbaikan sosial ekonomi dari peserta didik yang kebanyakan dari kelompok etnis yang dilupakan.
e. Pemberdayaan budaya sekolah (empowering school culture): Keempat pendekatan tersebut di atas semuanya bermuara kepada pemberdayaan kebudayaan sekolah. Apabila pendekatan-pendekatan pendidikan multikultural tersebut di atas dapat dilaksanakan maka dengan sendirinya lahir kebudayaan sekolah yang kuat dalam menghadapi masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Sekolah haruslah merupakan suatu motor penggerak di dalam perubahan struktur masyarakat yang timpang karena kemiskinan ataupun tersisih di dalam budaya ”mainstream” masyarakat.
Demikianlah pada garis besar perkembangan terkini dari pendidikan multikultural di Amerika Serikat dewasa ini. Ternyata pendidikan multikultural bukan hanya berkenaan dengan masalah-masalah kebudayaan dalam arti sempit, tetapi ternyata berkenaan dengan masalah-masalah politik, yaitu kesamaan derajat manusia, perubahan struktur sosial yang tidak mengenal pembedaan kelompok manusia berdasarkan asal-usul etnisnya, perbedaan agama maupun perbedaan gender.
Di samping negara Amerika yang telah menerapkan pendidikan multikultural, ada beberapa negara lain yang menerapkan sistem pendidikan multikultural, semisal Jerman, Inggris, Kanada, Australia, dan lain-lain. Pada intinya pendidikan multikultural di negara-negara maju bertujuan untuk menanggulangi persoalan perbedaan ras, budaya, serta agama sehingga tidak terjadi perpecahan antar warga.






C. Membangun Konsep Pendidikan Multikultural untuk Indonesia
Menurut H.A.R. Tilaar untuk membangun pendidikan multikultural di Indonesia membutuhkan beberapa dimensi sebagai berikut :
a. “Right to Culture” dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Pendidikan multikultural di Indonesia haruslah diarahkan kepada terwujudnya masyarakat madani (civil society) di tengah-tengah kekuatan kebudayaan global.
b. Kebudayaan Indonesia-yang-menjadi. Kebudayaan Indonesia-yang-menjadi adalah suatu Weltanschauung artinya merupakan pegangan setiap insan dan setiap identitas budaya mikro Indonesia. Sebagai suatu Weltanschauung, hal tersebut merupakan suatu system nilai yang baru (value system). Sebagai suatu value system yang baru memerlukan suatu proses perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional. Oleh sebab itu di tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus perlu ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujudkan, yaitu sistem nilai keindonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift di dalam proses pendidikan bangsa Indonesia. Sebagai suatu paradigma baru di dalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
c. Konsep pendidikan multikultural normatif. Tujuan pendidikan multikultural normatif untuk mewujudkan kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa, tapi jangan sampai menjadikan konsep pendidikan multicultural normative sebagai suatu paksaan dengan menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya lokal. Pendidikan multikultural normatif justru memperkuat identitas suatu suku yang kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia. Konsep ini juga dengan sendirinya sesuai dengan tuntutan atas hak asasi manusia dan sekaligus hak untuk mempunyai dan mengembangkan budaya sendiri (right to culture)
d. Pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial. Suatu rekonstruksi sosial artinya upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, the right to culture dari perorangan maupun suatu suku bangsa Indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan dan tidak jarang menyebabkan pergeseran dan tidak jarang menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya. Rasa kesukuan yang berlebihan dapat melahirkan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bangsa yang pluralis. Oleh sebab itu pendidikan multikultural tidak akan mengenal fanatisme atau fundamentalisme sosial-budaya termasuk agama, karena masing-masing komunitas mengenal dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Demikian pula di dalam pendidikan multikultural tidak mengenal adanya xenophobia.
e. Pendidikan multikultural di Indonesia memerlukan pedagogik baru. Untuk melaksanakan konsep pendidikan multikultural di dalam masyarakat plutalis memerlukan pedagogik baru, karena pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan di dalam ruang sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di Indonesia menuntut pendidikan hati (pedagogy of heart) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang pluralistik. Pedagogik yang dibutuhkan ialah: 1) Pedagogik pemberdayaan (pedagogy empowerment). 2) Pedagogik kesetaraan manusia dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity).
Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seorang mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya kebudayaan itu digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam negara-bangsa Indonesia. Di dalam upaya tersebut diperlukan pedagogik kesetaraan antar-individu, antar suku, dan tidak membedakan asal-usul suku bangsa dan agamanya.
f. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika berbangsa.
Dalam TAP/MPR RI Tahun 2001 No. VI dan VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam mengembangkan konsep pendidikan multikultural. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama di tingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003.
Kelima dimensi di atas dalam upaya membangun pendidikan multikultural di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang plural terdiri dari pelbagai suku dan agama membutuhkan sebuah konsep pendidikan multikultural yang dapat menghasilkan peserta didik yang dapat menghargai perbedaan dan hidup dalam keharmonisan perbedaan.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan, dan agama.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a). Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.





















BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Pada kesimpulannya, pendidikan multikultural diperlukan bangsa Indonesia untuk mengurangi terjadinya konflik horisontal antar masyarakat, baik karena perbedaan kultur, suku, adat, maupun agama. Pendidikan multikultural menekankan pada pembelajaran yang menghargai perbedaan, karena perbedaan itu merupakan hukum alam yang harus dihadapi bukan menjadi sumber perpecahan umat manusia. Bahkan ada suatu riwayat yang menyatakan bahwa ”perbedaan umatku adalah rahmat”.




















DAFTAR PUSTAKA

Idi, Abdullah dan Suharto, Toto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
James A. Banks “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” dalam James A. Bank & Cherry A. McGee Bank (editor). 2001/2004. Handbook of Research on Multicultural Education (second edition). San Fransisco: Jossey-Bass.
Muhajir, Noeng. Filsafat dan Teori Pendidikan. Belum terbit.
Tilaar, H.A.R, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Grasindo, 2004)
___________, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (2002)
TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Kamus Digital John Echols & Hasan Sadily.
UU Sisdiknas Tahun 2003.
www. pustakawan.pnri.go.id.
www. re-searchengines.com.

ANALISIS STUDI AGAM SEBAGAI SISTEM BUDAYA

Nama : HIUSYAM NUR
NIM :505930032
Prodi : PAI
Tugas : Sosiologi Pendidikan
Dosen : Prof.Dr.H. Abdullah Ali, M.A

ANALISIS
STUDI AGAM SEBAGAI SISTEM BUDAYA
Agama adalah bagian dari masyarakat, tidak ada agama tampah masyarakat, begiti juga sebaliknya secara antropologis tidak ada masyarakat yang tidak beragama.
Mempelajari agama sebagai sistem budaya, berarti mendekati ajaran agama dengan menggunakan konsep antropologi, salah-satu model pendekatan fenomenologi. Studi agama secara fenomenologis dan didekati melalui berbagai macam pendekatan, antara lain pendekatan sosio-antropologis yaitu dilakukan dengan cara mempelajari gejalah-gejalah keagamaan, berkenaan dengan tindakan atau katifitas manusia sesuai dengan latar belkang budayanya.
Membicarakan masalah agama berarti membicarakan aspek kemanusiaan, karena secara praktis hanya manusialah yang beragama, dan hanya manusia pula yang bias melakukan tindakan keagamaan. Makanya Sistem kepercayaan (believ system) merupakan sistem keyakinan yang harus ada pada diri manusia berbudaya, karena kesadaran akan kelemahan dirinya, sebagai manusia yang serba terbatas. Keterbatasan dan ketakutan manusia itulah yang mendorong seseorang harus percaya bahwa ada kekuatan, kekuasaan dan kebesaran diluar dirinya, sehingga manusia harus berlindung kepadanya agar terhindar dari penderitaan dan malapetaka.
Manisfestasi dari adanya kepercayaan terhadap Dzat yang dianggap Tuhan, berdasarkan pengetahuan yang telah diterimanya dari berbagai sumber, melahirkan norma dan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat.
Agama sebagai sistem budaya, merupakan konsep antropologis dalam pandangan antropologi, pengamalan agama dianggap sebagai kreasi untuk menuju jalan hidup yang bervariasi, sesuai latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianutnya.
Agama sering kali disebut sebagai manisfestasi dari budaya, karena didalamnya mengandung pengamalan ajaran yang diwujudkan dari kreasi manusia, ketika berhunbungan dan berkomunikamsi dengan Dzat Tuhan yang dianggap suci. Agama adalah hak asasi manusia yang terlahir dari kodrat dan karunia Allah yang Maha Kuasa melalui potensi akal dan hati manusia. Kedua potensi yang besar itulah yang telah mnedorong manusia untuk menemukan Dzat Tuhan, sebagai msesuatu kekuatan yang berada diluiar dirinya. Dengan demikian, agama sesungguhnya terdapat dalam semua lapisan masyarakat serta semua tingkat kebudayaan sejak awal sejarah umat manusia pada akhirnya, berangkat dari hal itu diharapkan kepada semua manusia yang hakekatnya beragama jangan menjadikan agama itu sebagai pemicu konflik antar sesama. Toh di semua agama itu sama-sama mengajarkan kebajikan.

KESIMPULAN
STUDI AGAM SEBAGAI SISTEM BUDAYA
Agama tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan kebudayaan identik dengan manusia, karena manusia adalah makhluk budaya, makanya secara fitrah manusia mempunyai naluri keberagama karena keterbatasan-keterbatasan dan ketakutan yang dimilikinya. Jadi agama, budaya dan manusia tidak bisa dipisahkan.

IJTIHAD EMPAT MADZHAB

IJTIHAD EMPAT MADZHAB
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hukum-hukum islam banyak diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Begitu banyaknya hukum islam, hingga banyak ulama yang memberikan penjelasan tentang hukum-hukum itu. Akhirnya, hukum islam ini terbagi dalam beberapa mazhab, yang kita kenal sekarang.
Mazhab secara bahasa berarti jalan yang dilalui dan dilewati sesuatu yang menjadi tujuan seseorang. Sedangkan menurut para ulama dan ahli agama islam, mazhab adalah metode (manhaj) yang dibuat setelah melalui pemikiran dan penelitian sebagai pedoman yang jelas untuk kehidupan umat. Lain lagi menurut para ulama fiqih. Menurut mereka, yang dimaksud dengan mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang mengantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’.
Sebenarnya mazhab dalam islam cukup banyak. Hal ini karena begitu banyaknya ulama-ulama sejak masa para sahabat yang berijtihad. Namun dari sekian banyak mazhab yang ada tersebut, hanya sedikit yang mampu bertahan dan masih terus dijadikan panduan hingga saat ini. Mazhab yang digunakan saat ini terbagi atas dua kelompok besar, yaitu mazhab golongan Sunni (Ahlus-sunnah wal Jamaah) dan mazhab golongan Syi’ah.
Pemakalah hanya akan membahas tentang Mazhab yang digunakan oleh golongan sunni pada saat ini, yang terkenal ada 4 mazhab. Mazhab yang emat tersebut adalah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali.
Timbulnya mazhab sunny adalah perkembangn dari ulama ahlul ra’yu, termaksud juga ulama mazhab yaitu, mazhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbal.

Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum sari’ah pada masa ini sengat berbeda, padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam Malik, tetapi kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda. Dan yang menjadi tanda Tanya apakah dibalik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin menciptakan sekte-sekte sendiri, apakah perbebedaan yang segnifikan itu karena dilatar belakangi oleh tempat mereka bermukim seperti halnya Imam Safi’i dengan bekron Iraq dan mesirs sehingga hadirnya Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya, Imam Hanifah yang dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang dilatar belakangi oleh negeri Hijaz, dan Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di Bagdad, atau ada faktor-fakto yang lainnya.
Melihat latar belakang masalah diatas, maka kami pemakalah akan mencoba mengkaji masalah tersebut, dengan makalah kami yang berjudul “Metodologi Ijtihad dalam Empat Madzhab”. Mudah-mudahan makalah kami dapat memberi sedikit pandangan kepada para pembaca terkait tentang perbedaan metodologi ijtihad dalam empat madzhab.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalahyang kami bahas adalah:
1. Apa pengertian dan dasar ijtihad ?
2. Bagaimana Perkembangan Ijtihad?
3. Bagaimana Metodologi ijtihad empat mazhab?
C. Tujuan
1. Agar pembaca dapat mengetahui definisi dari ijtihad.
2. Untuk memberi pemahaman tentang perkembangan ijtihad hukum islam.
3. Mengetahui metodologi ijtihad empat madzhab yang berkaitan dengan hukum Islam.







BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Ijtihad
Ijtihad dimulai sejak zaman rasulallah SAW, seperti yang sering tersurat dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah. Seperti contoh kasus pada Umar bin Khattab yang mencium isterinya pada saat berpuasa, dan beliau menganggap puasanya itu telah batal, kemudian beliaupun mempertanyaakan hal tersebut kepada rasullah SAW, kemudian Rasulullah menjawab pertanyaan beliau dengan mengqiyaskan hal tersebut dengan praktek kumur-kumur pada saat berpuasa,sehingga beliau menarik suatu konklusi bahwa puasanya itu tidak batal dan Rasulullah pun menyuruh beliau meneruskan puasanya (HR.Ad-Damiri dari Umar bin Khattab).
Dari kasus seperti ini berarti pada masa Rasulullah telah diberlakukan yang namnya ijtihad, adapula yang berpendapat bahwa strategi perang yang muncul dari buah fikir nabi merupakan suatu hasil ijtihad, namun, setelah Nabi wafat para sahabatlah yang memilki peran untuk berijtihad saat terjadi sebuah problematika yang tidak terdapat dalam nas Al-Qur’an maupun As-Sunnah, meskipun sering terjadi perbedaan pendapat atas problem solver yang diusung, akan tetapi sebelum Nabi wafat beliau pernah bersabda : bahwa apapun hasil ijtihad seseorang apabila dilakukan secara maksimal itu akan mendapatkan pahala dari Allah SWT (HR. Imam Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah).
Menurut Ibnu Qayyim perbedaan pendapat itu karena letak geografis yang berbeda antara sahabat dalam menyesaikan masalah ada yang menggunakan metode qiyas dan ada pula yang menggunakan metode al-maslahah, namun meski terjadi perbentiran pendapat, akan tetapi perbedaan tersebut tidak dijadikan sebagai sesuatu yang menimbulkan perpecahan umat, karena mereka menyadari bahwa ijtihad itu hasil kemampuan intelektual seseorang.pada masa sahabat inilah ijtihad berada pada fase permulan dan persiapan fiqh islam. Pada masa Tabi’in ini ijtihad dijadikan sebagai pembinaan dan pembukuan fiqh islam( terjadi selama 250 tahun sejak abad ke-2 H dan pertengahan abad ke-4 H). Sedangkan pada masa keemasan terjadi pada masa Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi’I, imam Hanbali.
Setelah periode ijtihad dan masa keemasan fiqh islam berakhir dunia ijtihad mengalami kemunduran yang disebabkan masing-masing madzhab yang sudah terbentuk melegitimasi pendapatnya, dan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Sehingga memunculkan suatu perpecahan dan hambarnya rasa toleransi sesamanya. Sehingga lambat laun perjalanan waktu pintu ijtihad di tutup. Dalam literature fiqh tidak menjelaskan siapa ulama yang menutup pintu ijtihad itu sendiri, dan masa seperti ini berlangsung hingga abad ke- 13 H, dan pada fase ini disebut sebagai Periode taklid dan tertutupnya pintu Ijtihad. Adapun sebab – sebab pintu ijtihad ditutup :
a. Truth Claim yang terjadi dikalangan mujtahid pada masa itu yang melegitimasi konklusi yang dikeluarkan adalah yang paling benar
b. Ijtihad yang dilakukan terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih mengedepankan rasio, sedangkan yang namnya ijtihad itu harus diimbangi oleh literature Al-qur’an dan As-shunnah( ketakutan para mujtahid keluar dari jalur Al-qur’an dan As-Shunnah dalam mencari problem solver)
Sejak abad ke-13 H hingga sekarang, ulama fiqh mulai merasakan perbedaan yang terjasdi secara terusmenerus antar sesama madzhab. Ibnu Taimiyah merupakan orang pertama yang mengumandangkan bahwa pitu ijtihad tidak pernah tertutup. Menurutnya sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan zaman. Ijtihad harus lebih dikembangkan dalam hal muamalah. Kemudian pendaat beliau diteruskan oleh muridnya yaitu Ibnu Qayyim, Syah Waliullah Ad-Dahlawi.M. Abduh, M. Rasyid. Namun imbas dari isu ditutupnya pintu ijtihad begitu terasa, seperti halnya dalam aspek penentuan shahih tidaknya hadits menurut Ibnu Shalah ia tetap berpegang teguh bahwa tidak diperkenankan ijtihad, karena pintu ijtihad telah ditutup.berbeda dengan al-Ramahurmuzi, al-baghdadi, Ibnu Asir, Ibnu Taimiyah dan M. Syakir yang tatap berpegang teguh bahwa ijtihad masih diberlakukan.

B. Pengertian dan Dasar Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata Jahadah (Mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban) Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang Mujtadid untuk mencapai suatu putusan syarak (hukum islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Adapula ulama yang merumuskan pengertian Ijtihad adalah Mencurahkan segala tenaga (fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’).melalui salah satu dalili syara’ dengan cara tertentu.
Menurut Abu Zahrah, Ijtihad bermakna Pengarahan kemampuan seorang ahli fiqh akan upaya kemampuannya dalam upaya mengistinbathkan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya. Bila penelusuran itu tanpa diiringi oleh dalil syara’ maka itu bukanlah suatu ijtihad.
Ulama-ulama terdahulu bila memecahkan suatu pokok permasalaah yang tidak mendapatkan rujukan dalam Al-Qur’an ataupun Asunnah, maka mereka akan menggunkan ijtihad dengan metode yang berbeda, ada yang menggunkaan qiyas atau istihsan, maslahah mursalah. Akan tetapi para ulama memandang ijtihad dan qiyas ada yang berpendapat bahwa ijtihad lebih luas dari pada qiyas, setiap ada qiyas tentu terdapat ijtihad, tetapi belum tentu setiap ada ijtihad terdapat qiyas. Berbeda dengan pendapat Imanm syafi’I yang mengatakan bahwa keduanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Sedangkan Landasan dasar ijtihad sendiri adalah sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
“ Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan (Ulil Amri) diantara kamu, kemudian bila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (jiwa Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Jiwa As-Shunnah). (Q.S. An-Nisa : 59)
Dan dalam ayat lain dikatakan : ………
   ... 
“…Sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawaah diantara mereka…”(Q.S As-Syura’ :38)
Yang dimaksud musyawarah disini adalah mencari kebenaran dalam perkara-perkara yang timbul, menurut dalil sara’, baik dalil yang ada nasnya ataupun tidak. Pencarian kebenaran ini tidak bias dicapai kecuali dengan ijtihad para ahli menurut keahliannya dan pengetahuannya masing-masing.
b. As-Shunnah
As-Shunnah merupakan proses pengambila hukum setelah Al-Qur’an, seperti halnya dialog yang terjadi antara sahabat Mu’adz bin Jabal dengan nabi tantang proses pengambilan hukum yang tidak terdapat dalam nash al-qur’an maupun as-shunnah.
c. Dalil Aqly (Rasio)
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-qur’an yang diturunkan itu hanya sebatas kepada Nabi, sehingga setelah beliau wafat, tapi atas peristiwa yang pernah terjadi kepada Mu’adz bin Jabal dan kemudian dilegitimasi oleh nabi mengisyaratkan bahwa peranan rasio dalam ijtihad sangat urgen. Dengan catatan tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan as-shunnah.

C. Metedologi Ijtihad Empat Madzhab
1. IMAM HANAFI
a) Biografi Imam Hanafi (80 – 150 H / 699-767 M)
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H, artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari bahasa arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya.
Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira.
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al - Manshur terhadap Al - Nasf, Al - Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al - Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya dalam tahanan.
b) Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
- Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
- Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut:
“Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al Ulwani,1987:91)
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
 Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;
 Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus
 bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih)
 adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
 bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya,
 mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan
 menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.





2. Imam Malik
a) Biografi Imam Malik (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par ulam’ lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.
Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu hadist.
Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik. Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua puluh dalil, sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua puluh dalil tersebut yaitu:
1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
5. Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
11. Ijma’
12. qiyas
13. Amal/perbuatan penduduk Madinah
14. Perkataan Sahabat
15. Istihsan
16. Saddu Dzari’ah
17. Memperhatikan perbedaan
18. Istishab
19. Mashlahah Mursalah
20. Syar’u man qablana (syariat sebelum kita).
Dalam pelaksanaannya tidak berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya, dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya, mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan I’tibar. Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya tidak melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.

b) Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan/perbedaan di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.

3. Mazhab Imam Syafi’i
a) Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H dan wafat di mesir pada tahun 204 H pada saat imam berumur 52 tahun.
Setelah ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah maka nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat di junjung tinggi, dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki hubungan dengan Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum Quraisy, dilatar belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah.
Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput dari keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian imam syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya untuk mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa yang engkau tinggalkan
Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah,
sehingga dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke berbagai daerah, rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq, Yaman.
Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif) dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi;I melanjutkan rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam Abu Hanifah (rasionalistis),
Imam Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam tersebut, antara Ahlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut. Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.
b) Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam berijtihad Imam Syafi’i menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model ijtihadnya sebagai berikut :
1. Metode induktif (Istiqra’i)
Metode ini lebih menekankan kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid, dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari.
2. Metode dialektika (Jadali)
Terkait dengan hukum menikahi anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak (perempuanmu)”
Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh.
Jawaban yang diberikan oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu eksistenti kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.

4. IMAM MADZHAB HAMBALI
a) Biografi Imam Ahmad ibn Hambal
Beliau bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H. Ahmad ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid (170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk. Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru, dan tidak bersifat qadim.Keberanian mempertahankan keyakinan ini disamping membawa resiko juga membawa keuntungan , yaitu membuatnya mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Imam Ahmad karena takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil kahlifah berikutnya menghapuskan pemaksaan paham Mu’tazilah.
b) Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat :
“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “
Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.












BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut. Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
2. Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik
3. Dalam menggali hukum didalam Al-Quran Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah, namun Safi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat.
4. Imam ibn Hambal menurut beberapa ulama’ dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh. Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu Fiqih yang berkesan yaitu Imam Syafi’I yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam Syafi’I yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri.




B. Saran dan Kritik
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dar segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai salah satu periodisasi yang ada dalam sejarah tasyri’. Amien.

























DAFTAR PUSTAKA

 M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
 Ensiklopedi Tematis Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta, 2002
 DR.M.Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Paramadina,Jakarta, 1999
 Ensiklopedi Hukum Islam 1, Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta,2000



 Ali, M. Hasan. Perbandingan Mazhab. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
 Ameanah, Abu Bilah Philip.Asal-Usus dan Perkembangan Fiqh. (Bandung: Nusa Media, 2005)
 Tahido Yanggo, Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
 Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003)
 Al-Jamal, Hasan. Biografi 10 imam Besar. (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003)
 Al Mansur, Asep Saifuddin. Kedudukan mazhab dalam syari’at islam. Jakarta: pustaka Al-Husna, 1984)
 Abbas, Siradjuddin. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i.( Jakarta: Pustaka Tarbiah,.1994)
 Khalil, Rasyad Hasan. Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa tahun)
 Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
 B. Hallaq, Wael. Melacak Akar-Akar Kontroversi Dalam Pemikiran Hukum Islam. (Surabaya: Sribandi, 2005)
 Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,1995)
 K. Hitti, Phillip. Historis Of The Arabs. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006)
 Mu’alim, Amir. Yusdani. Konfigurasi Hukum Islam.(Jakarta: UII Pres, 2004)
 Al-Ruhaili, Wahbah. Usul Fiqh Al-Islamiyah. (Damsyik: Dar Fiqr, 1996)
 Syafi’I, Rahmat. Usul Fiqh. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998)
 Al-Qathan, Manna. Mabahits Fi Ulumu Al-Hadist.(terj oleh Mifdhol Abdurrahman). (Jakarta: Pustaka Al-Kautar)