Daftar Blog Saya

Rabu, 30 Desember 2009

PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN

PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu :
Prof.DR. Cecep Sumarna, M.Ag








Disusun oleh:
HISYAM NUR
(5059300032)


PASCASARJANA STAIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbedaan paradigma pengetahuan mangakibatkan orientasi keilmuan yang berbeda, juga akan menghasilkan produk pemikiran dan teknologi yang berbeda pula. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari sesuatu yang material hanya memperoleh sebatas dimensi material. Analisa beberapa agamawan mengatakan keilmuan Barat yang positivistic-materialistik itu kering-bebas nilai (value free).
Memang tidak disangsikan teknologi sebagai hasil ilmu pengetahuan telah meningkatkan produktifitas dan menghapuskan rintangan ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan mampu mengungkap rahasia tentang alam, benda-benda termasuk usaha mencari kausalitasnya. Tetapi di saat yang bersamaan teknologi menyebabkan pemusatan kekuasaan yang sangat besar dan dehumanisasi.2
Persoalan kemanusiaan tidak bisa hanya didekati dengan kajian yang materilistik semata karena manusia memilik dua sisi, pertama adalah sisi material yang terjelma dalam komposisi organ tubuhnya dan kedua adalah sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan wilayah aktivitas pemikiran dan mental. Manakala satu sisi terabaikan maka terjadi ketidakseimbangan. Bila sisi material-empiris mendominasi maka ada sisi yang “terkosongkan”. Konon, modernisasi sebagai akibat dari positivisme yang materialistik telah mendominasi pemikiran dunia. Sehingga muncul persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan dimensi “immaterial”. Disamping itu muncul juga persoalan yang berdampak pada lingkungan, sosiologis, psikologis dan sistem nilai.
Tidak hanya itu medernisasi sebagai dampak positif dari science melahirkan “adzab modernisasi”, manusia merasa asing, hampa, kering, sunyi dalam keramaian, merasa teralienasi dari hiruk pikuk kehidupan. Bahkan dalam kajian Cecep Sumarna dalam “Melacak Jejak Filsafat” disamping telah melahirkan beberapa keunggulan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka muncul paham-paham yang dianggap memiliki resiko dalam system (system nilai dan etika) kehidupan yaitu paham relativisme, hedonisme, Skeptikisme, Materialisme dan atheisme3.
Pendekatan agama (orientasi Theocentris) dasarnya sudah berjalan semenjak manusia diciptakan. Memang ada sejarah kelam bila mengkaji hubungan antara para “pemuka agama” dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kemunduran dunia timur – Islam dianalisis karena muncul kejumudan, fanatisme madzhab dan berpusatnya kekuasaan “Central Power” dengan berbagai pola-gaya hidupnya. Apalagi bila mengkaji hubungan agama dan filsafat, ada konfilk yang runcing antara agamawan dengan ilmuwan. Gereja dengan kekuasaannya menghujat habis-habisan kaum ilmuwan. Muncul pikiran-pikiran “manusia” yang dimasukkan dalam dokrin kitab suci. Cristian topoghrafi (geocentris) dianggap sesuatu yang harus dipegang kuat-kuat, dipercaya dan dijadikan alasan mengkafirkan orang yang tidak mau mempercayainya. Perseteruan ini banyak mengalirkan darah. Pihak pertama mengatasnamakan agama-kitab suci dan pihak kedua mengusung ilmu pengatahuan yang rasionalis-empiris.
Pada akhirnya pentas dunia didominasi oleh peran ilmu pengetahuan- scientific yang rasioanalis-empiris. Lahir konsep pemisahan antara science dan agama (gereja), dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Vatikan sebagai pusat “kekuasaan agama” bergerak secara terpisah dengan negara-negara penganutnya. Sebenarnya yang menjadi agama di Barat sudah bukan Nasroni lagi tetapi “Materialistic”. Meminjam istilah Cecep Sumarna Materalistic-atheis merupakan anak kandung yang sah dari science yang positivistic.
Dari latarbelakang di atas berarti harus ada pendekatan lain mengenai persoalan ilmu pengetahuan. Ketika “alam ide” ( rasionalitas ) dan empiris-realis sebagai sumber ilmu pengetahuan berada di ambang “kepenatan” untuk menjawab “kebutuhan manusia”, maka muncul pendekatan relegius terhadap persoalan ilmu pengetahuan. Analisa ini terbantu oleh August Comte dalam menganalis perkembangan pemikiran manusia dari masa telogis-fiktisius menuju metafisik atau abstark dan berakhir di tepian ilmiyah yang positivistic. Masa teologis adalah masa bayi, metafisik itu masa remaja dan positivistik merupakan masa kedewasaan berfikir. Namun August Comte lupa bahwa setelah masa dewasa akan berakhir dengan masa “tua” yang arif “mumtaz” (wisdom) dalam segala hal walaupun dibarengi dengan sedikit sensitifitas psikologis. Itulah pendekatan relegius, agamawan dan mistikiawan.
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetahuan Dalam Presfektif Filsafat
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan dalam bahasa Inggris dianalogkan (hampir disamakan) dengan kata “Knowledge” yang berarti pengetahuan. Dalam bahasa Arab kata tahu-mengetahui bisa berasal dari suku kata “‘arofa-al’ma’rifah” (mengetahui-Ilmu pengetahuan), sehingga muncul istilah ilmu yang berdimensi “Irfan”, juga bisa dari kata “al-’ilmu-’uluum” yang artinya pengetahuan. Pengetahuan manusia yang maju mengenai hal-hal yang empiric disebut ilmu ( science ). Kata science sebenarnya bukan asli bahasa Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari bahasa Latin scire dan scientia yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui.
Ilmu merupakan pengetahuan yang terorganisasi dan diperoleh melalui proses keilmuan. Sedangkan proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematsi tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini biasanya atau pada umunya berupa metode ilmiyah. Dari proses metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science atau tepatnya Ilmu pengetahuan memilki arti spesifik bila digandengkan dengan ilmu pengetahuan yaitu sebagai kajian keilmuan yang tersistematis sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif ( dapat dibuktikan secara empiris ) dan prediktif ( menduga hasil empiris yang bisa diperiksa sehingga bisa jadi hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita empiris).
Mendefinisikan pengetahuan merupakan kajian panjang sehingga terjadi pergulatan sejarah pemikiran filsafati dalam menemukan pengertian pengetahuan. Hal ini wajar karena “keistimewaan” filsafat adalah perselisihan, pergumulan pemikirannya itu berlangsung terus selamanya. Suatu produk pemikiran filsafat selalu ada yang menguatkan, mengkritik, melemahkan bahkan akan ada yang merobohkan pemikiran itu. Kelakpun akan dijumpai yang satu menegaskan sedang yang lain mengingkari. Begitulah seterusnya akan selalu berada dalam bingkai dialektika.
2. Pandangan Filasfat Tentang Pengetahuan
Kajian epistimologi (salah satu kajian dalam ilmu filsafat yang membahas teori ilmu pengetahuan) tidak terlepas dari tiga persoalan mendasar, pertama kajian tentang sumber-sumber pengetahaun, kedua sifat dasar pengetahuan dan ketiga mengkaji ukuran kebenaran atau validitas dari pengetahuan itu sendiri. Istilah dalam kefilsafatan dinamakan ontologis, epistmologis dan aksiologis. Dari ketiga persoalan ini melahirkan dua aliran besar dalam filsafat ilmu yaitu aliran rasionalis/Idealisme dan yang kedua empirisme/Realisme. Kedua aliran ini saling bersiteguh mempertahankan pendirian dan kayakinannya masing-masing.
Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu. Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan nama “innete idea”. Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aristatoles dan para penganut Empirisme-Realisme menyangggah yang disampaikan oleh kaum Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan pemahaman yang universal bukan hasil bawaan tetapi diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiric manusia. Aristatoles berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul dirumuskan akal melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan dengan empiric-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul dan bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal bakal lahirnya positivisme modern dalam kajian keilmuan.
Logika positivisme mementingkan wujud alam sebagai materi (phyisic) serta menafikan makna di balik materi ( metaphysic). Ukuran kebenaran harus memenuhi criteria verifikasi logis dan verifikasi empiris. Sehingga metaphysika itu bagi kaum positivisme tidak memiliki nilai epistomologi. Dari alur pemikiran seperti ini mereka berpaham materialistic dan pada akhirnya atheis.
B. Corak Berfikir Filsafat Masyarakat Religius
Pengetahuan rasional memiliki tiga tingkat ; pertama pengetahuan biasa yaitu pengetahuan tanpa usaha khusus, bersifat intuitif-spontan-tidak memakai penalaran formal, kedua pengetahuan ilmiyah, pengetahuan yang terorganisir dengan sistem dan metode tertentu dalam mencari kausalitas empiris, ketiga pengetahuan transenden yaitu pengetahuan manusia yang berada di luar struktur pengalaman dan pengetahuan rasional bahkan di luar jangkauan akal. Pengetahuan yang ketiga yaitu pengetahuan transcendent ini dimaksudkan sebagai manifestasi dari kepercayaan.
Pencarian Plato yang idealis-rasionalis tidak sampai membicarakan secara tuntas bagaimana munculnya hukum-hukum dan ide-ide yang bersifat universal itu. Descartes berkembang lebih maju, ia mencapai pengetahuan bahwa “Tuhan itu ada karena kapasitas pengetahuannya tentang dirinya”. Tuhan itu baik, tidak mungkin penipu. Menurutnya konsepsi-konsepsi yang “fitri” dan bawaan itu adalah “Ide Tuhan”.
Pemikiran para filsuf sebatas pada pengakuan terhadap sesuatu yang “Agung”. Ada semacam “Yang” menggerakan dalam kehidupan manusia, tidak tuntas kepada pembicaraan apa dan bagaimana “Yang Agung ” itu. Agama dengan nabinya membawa missi jawaban terhadap persoalan siapa, apa dan bagaimana “yang Agung ” itu bertindak. Dari assumsi inilah Tuhan memberikan petunjuk agama ( hidayatuddiin ). Petunjuk agama tersebut ternyata tidak semua manusia mampu meraihnya secara langsung. Hanya manusia pilihan yang mampu menjadi transfer “Keilahian, Kekudusan”. Manusia pilihan itu dinamakan nabi dan rasul.
1. Ciri Masyarakat Relegius
Masyarakat dalam bahasa Inggris diidentikan dengan kata society yang berarti juga civilized community, komunitas yang beradab atau masyarakat madani. Sepertinya kata masyarakat diambil dari bahasa Arab yang hampir sama dengan padanan kata “Syaraka” yang artinya mengikat, berserikat, berkumpul. Kemudian berkembang menjadi “tasyaaraka, wasyaarakah dengan makna membentuk persekutuan, mengadakan kerjasama.
Nenih Mahendrawati mengemukakan pengertian masyarakat dengan mengutip pendapat David I Shill dengan ” A relativively independent or self suficien population characterized by internal organization, territoriality, culture distinctiveness, and sexual recruitment”. Masyarakat ditinjau dari segi terminology sosiologis adalah interaksi antara anggota-anggota masyarakat dalam satu wilayah tertentu. Bahkan dikatakan ” sociaty is group of people who are united by social relationships.
Masyarakat relegius berarti masyarakat yang kental dengan nilai-nilai agama. Semua tingkah laku dan perbuatannya (aspek fikir, akal, qalb, gerak langkahnya) selalu berorientasi pada nilai-nilai kegamaan yang dianut oleh pemeluknya. Mereka tidak terlepas dari kitab suci, ajaran para nabi dan para tokoh agama. Kentalnya nilai-nilai agama yang dimiliki oleh pandangan masyarakat relegius ini terkadang lebih dipahamkan oleh interpretasi dari pemuka agama baik para ulama, pendeta, rahib, uskup dan pemuka agama lainnya. Sehingga pemahaman yang sudah berurat daging ini melembaga menjadi “adat istiadat”, budaya, tata aturan bahkan dogma-dokrin yang dianggap suci.
Masyarakat relegeius bersifat Theocentris. Tuhan sebagai central dan realitas tertinggi. Secara garis besar masyarakat relegius13adalah masyarakat yang memiliki ciri sebagai berikut : pertama percaya pada “Tuhan” sebagai “Yang Maha Ghaib”, ( percaya pada unsur methaphysica ), mengedepankan etika beragama, kedua selalu berorientasi masa depan ( akherat ) dengan berpijak hari ini (dunia), ketiga masyarakat relegius selalu terikat dengan norma, hukum, dan etika, keempat konsisten menegakan hukum dan menjadikannya aturan main dalam kehidupannya.
2. Sumber Pengetahuan Masayarakat Relegius
Salah satu pembahasan dalam epistimoogi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transenden. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama meninggalkan yang essensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi)”. Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi adalah termanifestaasikan dalam diri para nabi dan rasul. Sehingga para agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia
C. Pengetahuan Dalam Presfektif Masyarakat Relegius
Ilmu pengetahun berasal dari Allah melalui panca indera (empiris) dan akal (rasionalis). Ia diperoleh dari “berita Agung ” yang benar, absolute, dari sumber otoritas tertinggi dan intiusi yang terformulasi dalam wahyu, sabda/hadits, akal dan pengalaman-pengalaman intuisi.
Masyarakat relegius mengkombinasikan metodologi rasionalisme dan empirisme dengan tambahan wahyu. Pemahaman keilmuan dari sisi masyarakat religius tidak mesti rasional dan empiris tetapi ada sisi-sisi realitas metafisis. Hal ini disebabkan karena sumber ilmu pengetahuan yang berbeda. Kaum rasionalis bersumber dari akal dan ide dalam membahas ilmu pengetahuan. Kaum empirisme bersumber pada pengalaman empiris-realistis sedangkan kaum relegius menambahkan bahwa sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari wahyu dan intuisi (Ilham, firasat dan wangsit ).
Dari perbedaan sumber ilmu pengatahuan ini pun akhirnya akan memperoleh produk pemikiran yang berbeda. Bila ilmu pengetahuan positivisme harus sistematis dan terukur berdasarkan empiris dan rasional, tetapi kebenaran intuisi “wahyu” tidak harus dibuktikan dengan realitas empiris. Kebenaran pengetahuan yang bersifat intuisi “boleh” dibuktikan dengan metodologi “iman”.
Sebenarnya “Wahyu dan Intuisi” bisa dibuktikan dengan rasionalitas dan empiris namun karena keterbatasan akal pikiran manusia, kadang-kadang kebenaran itu muncul setelah melampaui ruang dan waktu. Karena orang agamawan melihat bahwa kebenaran itu ada yang bersifat fisik material dan psikis-spritual15.Mungkin pada saat ini belum diketemukan sisi-sisi kebenaran dokrin agama karena ” akalnya belum taslim” namun pada saat yang akan datang dengan sarana ilmu pengetahuan, kebenaran itu terkorelasi dengan konsep-konsep relegius yang tertulis dalam kitab suci. Kitab suci yang bertahan dan keorsinilannya bisa dipertanggungjawabkan manakala bersesuaian dengan penemuan-penemuan ilmiyah oleh para saintifik modern.
Bagi agamawan (semua agama samawi) ada tiga hal yang sangat fundamental dalam kehidupan beragama.Pertama siapakah yang menciptakan (percaya pada Tuhan). Kedua tujuan akhir kehidupan manusia kemana (orientasi akherat). Ketiga darimana mendapatkan informasi, mencari petunjuk tersebut tentang Tuhan ( percaya pada nabi dan rasul).
Masyarakat relegius memandang ilmu pengetahun dan agama merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Walaupun di sisi lain seolah dipaksakan sebagai dogma atau dokrin namun keyakinan membawa kaum beragama dianggap sebagai suatu kebenaran pengetahuan. Berbeda dengan atheis (materialis-sekuler) yang menggap pengetahuan ilmiyah merupakan suatu hal dan kepercayaan-kepercayaan agama merupakan hal lain. Orang atheis menyebutkan hal-hal yang bersifat supranatural akan tampak sebagai sebagai satu anakronisme1.
Cara memperoleh ilmu pengetahuan dalam prespektif agamawan yaitu berasal atau bermula dari wahyu-intuisi melalui proses kerja panca indera dan akal, atau sebaliknya melalui penemuan-penemuan empiris-rasional lalu dipadukan, diklarifikasikan dengan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi. Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi menjadi perantara dan merupakan dasar penyusunan pengetahuan ini. Sehingga tolak ukur dari pengetahuan dalam pandangan relegius adalah “believe or not believe”. Dengan demikian pandangan relegius dimulai dari rasa percaya kemudian melalui proses pengkajian keilmuan pada akhirnya akan menemukan pengetahuan yang semakin percaya atau semakin menurun. Berbeda dengan kajian ilmu sains yang berawal dari ketidakpercayaan, keraguan dan kekosongan setelah melalui proses kajian ilmiyah baru bisa diyakinkan atau tetap berada dalam pendirian semula.
Keberadaan yang Sacral (Tuhan-Wahyu) akan memanifestasikan dirinya , menunjukan dirinya kepada bentuk yang profane. Proses “Yang Sakral” menuju ke “Profan” dinamakan “Hierophany”. Proses hierophany ini secara implicit terdapat dalam isi realitas-realitas sacral. Konsep ini sulit diterima oleh orang Barat yang materialistic-rasional. Pohon sacral atau batu sacral misalnya, tidak disembah sebagai batu atau pohon tetapi mereka “disembah” karena mereka hierophany, karena mereka menunjukan sesuatu yang tidak lagi pohon dan batu tetapi sacral.
Pengetahuan (persepsi) itu secara garis besat terbagi menjadi dua yaitu “konsepsi” (at-tashawwur) atau pengetahuan yang sangat sederhana, pengetahuan yang tanpa penilaian, penangkapan sesuatu tanpa menilai obyek tersebut dan kedua “tashdiq” (assent atau pembenaran) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian dan penjelasan).
Bagi kaum teologis manusia memiliki dua sisi, pertama sisi material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Kedua adalah sisi spritual atau nonmateri yang merupakan pentas aktivitas akal dan mental. Dua sisi ini saling mempengaruhi termasuk didalamnya juga mengenai persoalan pengetahaun. Materi dan spritual tidak ada jurang pemisah yang selama ini digaungkan oleh kaum meterialis tetapi keduanya memiliki hubungan. Meskipun nonmaterial, ia memiliki hubungan material.
Sejarah pemikiran Islam mencatat terdapat tiga cara memperoleh ilmu pengetahuan, pertama metode bayani, yaitu cara memperoleh pengetahuan terhadap bathin teks baik Al-Qur’an maupun hadits. Metode ini lebih mementingkan otoritas teks sedangkan fungsi akal adalah sebagai pengawal terhadap pemahaman yang eksoterik.Kedua metode irfani, yaitu model berfikir berdasarkan pengalaman langsung terhadap realitas spiritual. Irfan diperoleh melalui penyingkapan sinar hakekat (Kasyaf) setelah melalui berbagai riyadloh yang dilakukan atas dasar cinta. Ketiga metode burhani, yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada kekuatan rasio-akal dengan menggunakan dalil-dalil logika.
Benar ungkapan orang bijak, sesuatu itu akan terulang kembali. Filsafat jawa mengatakan “cokro manggilingan”, sejarah akan selalu berputar. Pergerakan pemikiran mulai bergerak kembali dari yang konkret-factual-positivistik menuju sesuatu yang sangat abstrak, metafisik dan illahy.
Namun bila mengikuti corak pemikiran August Comte manusia bermetamorfosis dari teologis-fiktisius menuju matafisik-abstrak dan berakhir ke postivistik.Ibarat perkembangan manusia dari masa bayi-remaja dan dewasa. Sekali lagi August Comte tidak sampai menganalisa bahwa setelah dewasa ada yang namanya masa tua-sepuh yang penuh kearifan, kebijaksanaan (wisdom). Sehingga manusia akan kembali lagi seperti bayi yang berorientasi pada sesuatu yang “Theocentris”, absolute, sacral dan transcendental. Itulah manusia beragama dan beradab, homo relegius.
D. Refleksi Atas Fenomena
Dalam presfektif Al-Qur’an telah dijelaskan mengenai dua pendekatan ilmu pengetahuan-sciance, yaitu pendekatan dzikir (wahyu-intuisi). pendekatan Fikir (rasional-empiris) yang mengamati ayat kauniyah. Kedua pendekatan ini dapat dilhat dengan jelas dalam surat Ali Imron 190-191 :
       •                         • 
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(Q.S. Ali Imran:190-191)
Ulil albab (orang yang memiliki akal pikiran, intelektual,ilmuwan) adalah mereka yang menggunakan dan memadukan potensi dzikir (konteks wahyu-intuisi) dan potensi fakir (konteks rasio-realis). Bila manusia terjebak dalam penggunaan rasio-logis dalam memahami ayat-ayat Allah yang “kauniyah” maka muncul kecenderungan materialis-atheis. Sebaliknya jika terjebak hanya berkutat pada aktivitas dzikir maka akan menjadi panthaiesme yang skeptis.
Ilmu segala sesuatu itu berasal dari Allah yang mengejawantah (profan) ke dalam ayat Kauniyah dan Al-Quraniyah, ayat yang tersirat dan ayat yang tersurat. Ayat kauniyah (cosmos) berupa realitas empiric “bisa” didekati dengan menggunakan metode deduktif-induktif gaya Bacon dan rasionalitas-kausalitas ala Rane Descartes. Ayat Al-Quraniyah lebih menekankan metode bayani dibarengi dengan irfani dan burhani. Tetapi bisa juga menggunakan metode positivistik untuk memahami kandungan “kitab suci” yang sacral namun harus diiringi dengan rasa keberagamaan sehingga mempertebal keimanan.
Nabi menangis ketika menerima surat Ali Imron ayat 190-191 ini. Sampai-sampai Bilal bertanya : mengapa Engkau menangis ya Rasulullah?, bukankah segala dosa Engkau yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?. Nabi menjawab apakah Aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur (abdan syakuroo). Aku menangis karena khawatir pada umatku yang membaca ayat ini tetapi tidak pernah memikirkan isi kandungannya dan mengerjakan yang tersirat padanya.
Betapa pentingnya mempelajari, menggali, mengeksplorasi ayat-ayat Tuhan baik yang berdimensi aqliyah berupa alam raya maupun yang berdimensi naqliyah wahyu-kitab suci. Pengungkapan rahasia-rahasia alam bagi manusia relegius mempunyai “nilai ibadah” Sehingga ucapan terahkir manusia beragama adalah : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imron ayat 191 ).


















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat relegius, agamawan atau mistikiawan memandang ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang kehidupan yang sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertical). Oleh karena itu ilmu pengetahuan-science tidak bisa dipisahkan dari agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama muaranya akan kepada “Sang Pencipta”atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Pemisahan agama dengan ilmu pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free). Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”. Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu yang materialistic bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan krisis multidimensional. Di sisi lain manakala kecenderungan manusia hanya pada norma agama tanpa mempedulikan saintifik maka akan terjerumus pada sikap “pantheisme”, dunia bagaikan selebar sajadah.
Ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos) dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis. Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan psikis-spritual.

DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Halim Mahmud. 2003. Al-Qur’an fi Syahril Qur’an (terjemah), Tadarus Kehidupan di Bulan Al-Qur’an. Yogyakarta : Madani Pustaka Press.
 A.B. Shah. 1986. Metodologi Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Cecep Sumarna. 2005.Rekonstruksi Ilmu dari empiris-Rasional Ateistik ke Empiris-Rasional-Teistik. Bandung : Benang Merah.
 Cecep Sumarna. 2006. Filsafat Ilmu ;dari Hakikat menuju Nilai. Bandung : Pustaka Bani Quraisy
 Husen Al-Habsy.1987. Kamus Al-Kautsar Lengkap, Bangil : Yayasan Pesantren Islam (YAPPI)
 H.Jono,Cecep Sumarna.2006. Melacak Jejak Filsafat. Bandung: Sangga Buana
 Jujun S. Sumantri.2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
 M. Amin Abdullah.1999. Studi Agama ; Normativitas atau Historisitas?., Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
 Maurice Bucaille. 2000. Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an,Sains. Bandung : Mizan
 Mircea Eliade.2002. Sakral dan Profan. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru.
 Muhammad Baqir Ash-Shadr. 1992. (terjemah), Falsafatuna ; Pandangan Muhammad Baqir
 Ash-Shadr Terhadap Pelbagai Airan Filsafat Dunia Bandung : Mizan.
 M.Quraisy shihab. 2006. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
 Nenih Machendrawaty Dan Agus Ahmad Syafe’i.2001. Pengembangan Masyarakat Islam ; Dari Ideologi Strategis sampai Tardisi. Bandung : Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar