Daftar Blog Saya

Kamis, 28 Januari 2010

PERAN SOEKARNO DALAM PERPECAHAN PERPOLITIKAN ISLAM

PERAN SOEKARNO DALAM PERPECAHAN PERPOLITIKAN ISLAM

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

Dosen Pengampu :
Prof.DR.H. Imran Abdullah, M.Ag
DR. Asmuni, M.Ag






Disusun oleh:
HISYAM NUR



PASCASARJANA IAIN
SYEKH NURJATI
CIREBON
2009
KATA PENGANTAR



Assalmu’alaikum Wr.Wb.
Untaian Puji syukur hanyalah milik Allah Rabbul Ghafur Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasi, karena dengan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang sangat sederhana ini yang penulis menyadari bahwa isi makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan.
Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw kepada keluarganya para sahabatnya dan kepada kita semua umatnya.
Dalam makalah ini kami ingin memaparkan kajian tentang “Peran Soekarno Dalam Perpecahan Perpolitikan Islam ”. Sebagai tugas makalah dari Mata Kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam dengan dosen pengampu Bapak. Prof.DR.H. Imran Abdullah dan DR. Asmuni, M.Ag, M.Ag
Dan untuk selebihnya, kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan atau dalam penjelasan. dan juga kami berharap semoga makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua umumnya dan bagi kami khususnya. Amiin yaa rabbal ‘alamin.

Cirebon, Desember 2009




Penulis







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………....i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Beografi Sukarno 3
B. Soekarno Dan Perpolitikan Islam 7
BAB III PENUTUP 11
A. Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setelah partai politik di Indonesia dibekukan pada masa pendudukan Jepang, maka melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945 telah dibangkitkan kembali. Maklumat tersebut mendapat sambutan secara meluas oleh kalangan tokoh politik, tidak terkecuali tokoh politik muslim. Bahkan sambutan tersebut meluas pada kalangan, yang sebelumnya termasuk kalangan yang masih awam dalam perpolitikan, turut mendirikan partai.
Selanjutnya eforia politik ini terhenti dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang juga dikenal sebagai clash II. Tenaga rakyat lebih banyak disalurkan dalam perang melawan Belanda. Setelah Belanda dan Sekutu hengkang dari bumi Indonesia, pada akhir 1949 negara Indonesia memilih sistem pemerintahan parlementer yang beranggotakan wakil-wakil daerah, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, dan anggota-anggota yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno berdasarkan perkiraan kekuatan partai politik. Oleh karena itu terdapat beberapa partai politik mendapattkan jumlah kursi cukup signifikandisebabkan klaim massa yang cukup besar.
Pada masa perjuangan kemerdekaan umat Islam telah bersatu padu memerdekakan bumi Indonesia. Kemudian pada masa kemerdekaan mereka pun bahu membahumengisinya. Perjuangan politik Islam pada masa awal masih menunjukkan persatuan yang kokoh. Namun menjadi bercerai berai pasca pecahnya Masyumi. Penyebab mayor perpecahan tersebut telah banyak diketahui khalayak dalam berbagai media publikasi berupa buku, jurnal, dan media terkait yang sepadan lainnya. Makalah ini akan lebih menitik beratkan kepada permasalahan minor, yaitu penelusuran peran Soekarno dalam perpecahan perpolitikan Islam di Indonesia. Permasalahan minor bukan berarti diabaikan layaknya bukan masalah. Bahkan bukannya tidak mungkin justru permasalahan minorlah yang sebenarnya merupakan akar permasalahan sesungguhnya.
Dengan melihat latar belakang diats maka pemakalah akan merumuskan masalahnya yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Beografi Sukarno ?
2. Bagaimana Soekarno Dan Perpolitikan Islam ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Dalam penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Beografi Sukarno
2. Soekarno Dan Perpolitikan Islam



























BAB II
PEMBAHASAN

A. Beografi Sukarno
Ir. Soekarno (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.

1. Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali .
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

2. Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya
kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
3. Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
4. Masa kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
5. Sakit hingga wafat
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.

B. Soekarno Dan Perpolitikan Islam
Dalam pandangan politik Soekarno, hanya ada tiga aliran politik yang kuat di Indonesia dan ketiga-tiganya memiliki sejumlah kesamaan. Dengan demikian kekuasaan hanya akan diperoleh dengan mengendalikan ketiga aliran tersebut. Obsesi Soekarno tentang sebuah Negara merupakan sinkretisme antara Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme. Pertama aliran Nasionalisme telah dipegang, khususnya yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menghormati Soekarno sebagai salah satu sesepuhnya. Pada saat Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah kepemimpinan Muso berusaha menggulingkan kekuasaan pemerintahan, maka Soekarno dengan lantang, dalam salah satu siaran orasinya di radio pada tanggal 19 Desember 1948, berusaha untuk mematahkan kekuatan Muso dengan membujuk rakyat untuk kembali setia terhadap pemerintahannya dengan mengingatkan terhadap jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan melakukan manuver politik demikian maka sudah tentu Soekarno mendapatkan dukungan secara meluas baik dari rakyat luas maupun dari kalangan partai Islam. Sebagian besar rakyat masih memandang nama Soekarno sebagai bapak kemerdekaan sedangkan dari kalangan Partai Islam memang sejak semula telah menjadi ganjalan bagi Partai Komunis sehingga dengan demikian sangat mudah dirangkul oleh Soekarno. Tentu dalam pandangan Soekarno, dirinya akan tetap bisa berkuasa apabila terjadi balance of power. Dengan demikian maksud Soekarno tentu bukan untuk membubarkan PKI namun lebih kepada upaya untuk melemahkan pengaruh politiknya saja. Setelah gagal melakukan coop d’etat, PKI kemudian mengubah strategi. Soekarno dalam pandangan PKI masih merupakan tokoh yang memiliki wibawa politik cukup besar di mata rakyat. Maka mau tidak mau mereka harus mengubah haluan dan memasukkan Soekarno dalam mensukseskan program partainya. Dengan demikian terjalin kedekatan antara Soekarno dan PKI.
Dalam tataran selanjutnya, Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sandungan sebab sejak masa Revolusi partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang dominan di parlemen, oleh karena Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai. Keresahan NU semakin memuncak ketika beredar isu bahwa jabatan Menteri Agama akan diserahkan kepada Muhammadiyah. KH. Wahab Hasbullah, Rais ‘Am Majlis Syuriah NU, menuntut agar kursi menteri agama tetap diserahkan kepada NU. Tuntutan KH. Wahab Hasbullah antara lain adalah agar perdana menteri tetap dipercayakan kepada Sukiman, sedangkan Abu Hanifah dicalonkan sebagai Menteri Luar Negeri, Zainul Arifin sebagi Menteri pertahanan, dan Wachid Hasyim menduduki jabatan sebagai menteri agama. Tuntutan NU tersebut jelas menggoyahkan kedudukan formatur Sidik dan Prawoto yang telah berhasil menyelesaikan penyusunan programnya.
Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah mengajukan Fakih Usman sebagi menteri agama dan pada giliran selanjutnya organisasi massa ini menolak secara tegas tuntutan NU. Alasan Muhammadiyah menolak usulan KH Wahab Hasbullah disebabkan NU telah memegang jabatan kementrian agama selama tiga kali berturut-turut, maka perlu adanya penyegaran kembali. Argumentasi Muhammadiyah tersebut ditampik balik oleh NU dengan menyatakan bahwa refreshing kabinet hanya akan menghambat upaya penanaman pengaruh dan dakwah Islam dalam birokrasi kementrian agama. Kemungkinan besar NU pada saat itu merasa bahwa jika kementrian Agam jatuh ke tangan Muhammadiyah maka massa NU yang cukup besar menyokong Masyumi hanya akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah. Maka kemudian KH. Wahab Hasbullah juga mengajukan calon lain untuk menduduki jabatan sebagi Menteri Agama yaitu KH. Masykur, KH. Faturrachman, H. Mustari, dan M. Machien. Namun pada akhirnya kementian agama tetap jatuh ke tangan Muhammadiyah sehingga pada giliran selanjutnya terbetik isu keluarnya NU dari tubuh Masyumi. Sampai kemudian dalam kongres ke 19 NU, kejelasan sikap NU telah nyata bahwa organisasi massa tersebut menyatakan keluar dari tubuh Masyumi.
Pada Kongres PKI V tahun 1954, PKI telah merumuskan strategi baru perjuangannya untuk “meng-Indonesiakan Marxisme-Leninisme” dengan menempuh taktik kalsi berupa “front persatuan nasional” yaitu bekerja sama dengan golongangolongan non-komunis dan mendukung kabinet nasional walaupun dianggap sebagai “borjuasi nasional”. Strategi ini mirip jika tidak dapat dikatakan mengadopsi strategi terbaru Uni Sovyet yang berusaha menggandeng Negara-negara yang baru merdeka di Asia, guna mensukseskan agenda penyebaran paham negaranya. Untuk menghadapi Pemilu 1955, PKI bahkan bersedia menggandeng Partai NU yang merupakan pecahan dari Masyumi.
Langkah awal yang dilakukan oleh PKI tersebut terkait dengan agenda politiknya untuk mencegah kemungkinan adanya kerjasama antara Masyumi (dan pecahannya) dengan PNI. Maka kemudian PKI mengeluarkan statemen bahwa Masyumi merupakan golongan borjuis besar yang melayani kepentingan kapitalis luar negeri dan mengemukakan adanya hubungan yang erat antara Masyumi dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Dalam percaturan politik pada masa ini, PNI di bawah kepemimpinan Sidik Djojosukarto lebih memilih bekerja sama dengan PKI dibandingkan dengan Masyumi. Dapat ditelusur bahwa alasan utamanya tentu karena Masyumi lebih merupakan saingan utama dibandingkan PKI dalam Pemilu 1955 dan pengaruh Masyumi yang agamis akan dinetralisasi dan mendapatkan lawan PKI yang berideologi komunis. Terbukti pula salah satu akibat pertarungan politis tersebut telah memecah kelompok-kelompok dalam tubuh Masyumi, dengan ditandai oleh keluarnya NU sebagi ormas utama dalam partai berhaluan Islam tersebut.













BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian, Soekarno memiliki peran secara tidak langsung terkait dengan perpecahan dalam tubuh partai politik Islam. Peran tersebut lebih didorong oleh upaya dan kepentingan politiknya, termasuk dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Sementara telah terjadi friksi dalam tubuh umat Islam sehingga kondisi demikian mampu ditangkap dan dimanfaatkan guna melemahkannya.
Sungguh mengherankan, umat Islam mampu bersatu padu dan sehati dalam memperjuangkan tegaknya kemerdekaan dan cita-cita keadilan serta kemandirian dalam berbangsa dan bernegara. Namun mereka kini justru bercerai berai dalam mengisinya. Perpolitikan Islam lebih banyak dilanda konflik internal yang memakan sumber daya energi sementara hasil yang diharapkan masih jauh dari jangkauan.





















DAFTAR PUSTAKA

 Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,. SH. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. (Konstitusi Press, Jakarta, 2005). Hal. 174
 Dahlan Ranuwihardjo, SH. 50 Tahun Sejarah Perjuangan HMI Turut Menegakkan dan Membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pengantar Ramli HM Yusuf (editor). 50 Tahun HMI Mengabdi Republik. (Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta, 1997). Hal. 3
 Abdul Razak. Apakah Soekarno Al Muslimun No. 355 Th. XXVIII/ 1998.
 Cosmas Batubara. Sejarah Lahirnya Orde Baru, Hasil dan Tantangannya. (Yayasan Prahita, Jakarta, 1986). Hal. 4
 Pusat Sejarah dan tradisi ABRI. Bahaya Laten Komunisme di Indonesia. Jilid III. (Markas Besar angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah ABRI, Jakarta, 1995).
 Kolonel D. Soegondo. Komunisme di Indonesia. (Lembaga Pertahanan Nasional, Jakarta, 1981)
 Kamarudin. Siklus Kekalahan Partai Islam. Dalam SABILI Edisi Khusus. Sejarah Emas Muslim Indonesia. No. 9 Th. X. (Bina Media Sabili, Jakarta, 2003). Hal. 93
 http://www.pnri.go.id/artikel/seminar/11062001/makalah1.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar