Daftar Blog Saya

Kamis, 28 Januari 2010

PLURALISME AGAMA-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

PLURALISME AGAMA-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Hisyam Nur

Abstracts
Along with the hoisterous of process of social liberalisasi [of] politics marking to born nya of tatanan world of modern century, and caught up by liberalisasi or the globalization ( newfangled colonization) economic, region of religion even also [is] in turn forced have to open x'self for liberating of it.
[Among/Between] issue getting dominant and big enough attention as long as epoch [is] issue of religious or pluralitas religion. This Issue represent phenomenon which attend in the middle of immeasurable of it claim truth absolute ( absolute truth-claim) interfaith [is] which each other depecting.
Issue Pluralitas of this religion also [is] often placed [by] as giver of big enough share and even become primary factor in creating climate of stress or conflict of religion which not rarely come up with cruel colour, ossify, war and murder, even the race sweeping. One side of information technology modern communications and become this word almost like global [of] village. Other to beside awaken various movement and religion group, have added fearful and tense situation. Added again at the height of wave and current of migration of pemeluk religion " East", specially the Islam peo [his/its] pacification [of] Some above background represent factor emerge opinion and discourse [of] a number of theory of pluralism of religion [of] like Secular Humanism, Global Theology, Singkretism And Shophia Perennis
Along with nun [of] time, pluralisme religion which initially especially early century to 18 only represent a discourse, and expand [in] European, but [at] century to 20 expanding at full speed merambah enter Muhammadan figure opinion [of] East and have come to theme in so many erudite discussion activity. But the opinion appearance understand pluralism religion have also generated pros and contra and also peep out various care [of] various circle for example coming from good thinker and religion figure from follower Khatolik, more than the Muhammadan figure. This matter [in] causing because understanding pluralism religion shall be deemed to have come into contact with and even defecting with religious doctrine assumed [by] very principal





BABI
PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN
Pluralitas adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunah pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada selama kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah, sesuai perkembangan zaman.
Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan sunatullah, maka eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai dilapangan.
Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologis, ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani kehidupan yang bersifat pluralitas secara ilmiah, tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada tingkat "benar tidaknya" realitas pluralitas yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan berbagai kepentingannya (organisasi, politik, agama, budaya dan lainnya) mulai mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula bersiat wajar, alamiah berubah menjadi hal yang sangat penting.
Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (penjajahan model baru) ekonomi, wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membukakan diri untuk diliberalisasikan.
Agama yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15 wilayah juridiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih diangap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah musuh demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga agama harus mendekonstruksikan diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal , merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta tidak sesuai lagi semangat zaman.
Agama sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya membutuhkan medium budaya agar keberadaannya membumi dalam kehidupan umat pemeluknya dan ia diharapkan menjadi institusi bagi pengalaman iman kepada sang Khaliq. Disini agama menawarkan agenda penyelamatan manusia secara universal, namun disisi yang lain agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi pemeluknya, dalam interaksi sosialnya banyak mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak pelak memunculkan konplik. Pluralitas agama disatu sisi, dan hiterogenitas realitas social pemeluknya disisi yang lain, tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dalam tataran tafsir atau dogma agama maupun dalam tataran aksi. Disadari atau tidak, konplik kemudian menjadi problem kebangsan dan keagamaan yang tidak bisa hanya diselesaikan lewat pendekatan teologi normatif. Akan tetapi diperlukan pendekatan lain yaitu sikap kearifan sosial di antara kelompok kepentingan dan kalangan pemeluk paham atau agama.
Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralisme agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama. Lebihlebih ketika MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang lalu di Jakarta telah mengharamkan pluralisme agama, maka persoalan ini telah mencuat kepermukaan dan telah menghiasi halaman-halaman media masa cetak maupun elektronik. Bila dicermati, maka perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan term pluralisme agama-budaya, perbedaan didalam memahami isyarat-isyarat ayat al-Qur'an tentang pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
Setelah membaca beberapa literature, maka bagi penulis tema persoalan paham pluralisme agama merupakan persoalan yang sangat mendasar untuk diangkat karena persoalan ini sudah masuk pada wilayah yang sangat sensitive yakni persoalan teologi dan syari'ah.
Mengingat begitu pentingnya persoalan paham pluralisme agama-budaya ini, maka makalah ini mencoba untuk mendiskripsikan tentang term pluralisme agama, sejarah gagasan lahirnya pluralisme agama, bagaimana paham pluralisme agama dilihat dari kacamata Islam, kekhawatiran-kekhawatiran terhadap paham pluralisme agama berikut fatwa MUI tentang paham pluralisme agama, dan sajian tentang argumentasi-argumentasi tentang pluralisme agama serta pandangan penulis tentang pluralisme agama.

II. PEMBAHASAN
A. Istilah Tentang Paham Pluralisme Agama
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
Adapun tentang agama para ahli sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya-yaitu suatu system kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-sataun atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi-yaitu sesuatu yang sakral.
Dari definisi diatas, maka dapat di tarik suatu pengertian bahwa "pluralitas agama" adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masiang-masing agama..
Namun dari segi konteks dimana "plurlisme agama' sering digunakan dalam studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, memiliki definisi yang berbeda . John Hick, yang dikutip Anis Malik Thoha misalnya menyatakan : "…pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata cultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transpormasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan hakiki terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata cultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama". Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Majelis Ulama Indonesia mendefiniskan Pluralisme Agama sebagai : "Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga".
Lebih lanjut Nurchalish Madjid yang dikutip Adian Husaini, dalam majalah Media Dakwah Edisi No. 358 tahun 2005 pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi. Dia juga menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya; kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita); ketiga sikap pluralis yang biasa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya " Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama", "Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah". Atau ' Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran".
Komarudin Hidayat dalam Andito yang dikutif Atang Abdul Hakim dan Jaih Mobarak mengatakan bahwa pluralisme agama merupakan salah satu dari tipe sikap keberagamaan yang secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas, masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah diangap tidak relevan.

B. Sejarah Gagasan Pluralisme Agama
Untuk memahami pluralisme agama, perlu ditelusuri sejarahnya, paling kurang sejak awal abad ke-20 . Ketika itu seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch mengungkapkan perlunya bersikap pluralis ditengah berkembangnya konplik internal agama Kristen maupun antar agama. Dalam artikelnya berjudul " The Place of Chritianity among the Word Relegions", ia menyatakan, umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri. Pendapat senanda banyak dilontarkan sejumlah pemikir dan teolog Kristen antara lain, seperti William E. Hocking dan sejarawan terkenal Arnpld Toynbee. Oleh karena itu gerakan ini dapat dikatakan sebagai "liberalisasi agama Kristen" yang telah dirintis dan diasaskan oleh tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiremacher pada sekitar abad pertengahan ke-19 lewat pergerakannya yang dikenal dengan "Liberal Protestantism". Konplik internal Kristen yang hebat ketika itu sampai mendorong Presiden AS, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri perang antar aliran tersebut. Pada awal-awal abad ke-20 juga mulai bermunculan bermacam-macam aliran fundamentalis Kristen di Amerika Serikat. Jadi selain konplik antar aliran Kristen, ternyata faktor politik juga sangat erat dengan latar belakang gagasan ini.
Sebagai sebuah bentuk liberalisasi agama, Pluralisme Agama adalah respon teologis terhadap political pluralism (baca : liberalisasi politik) yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal dan yang secara nyata dipraktikan oleh Amerika Serikat. Kecendrungan umum dunia Barat pada waktu itu telah berusaha menuju modernisasi di segala bidang. Dan salah satu ciri dari modern adalah demokrasi, globalisasi dan HAM. Maka, dari sinilah lahir political pluralism. Jika dilihat dari konteks itu, maka Relegious Pluralism pada hakikatnya adalah gerakan politik par excellen dan bukan gerakan agama. Setiap manusia dipandang sama " by virtue of being human", tidak ada ras, suku, angsa atau agama yang berhak mengklaim bahwa dirinya paling unggul.
Menurut Anis Malik Thoha, wacana pluralisme lahir dari rahim paham "liberalisme". Maka tidaklah aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan "pluralisme politik "political liberalism". Jelas, faham "liberalisme" tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacam ini masih senantiasa terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad ke -20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Dengan demikian menurut Anis Malik Thoha dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini, gagasan plualisme agama bisa dilihat sebagai salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad kesembilan belas, dalam gerakan yang kemudian dikenal dengan "Liberal Protestantism" yang dipelopori Friedrich Schleiremacher.
Lebih lanjut menurut Adian Husaini, bahwa paham pluralisme merupakan bagian dari ajaran pokok Islam Liberal. Dalam Disertasi di Monash University Australia, Greg Barton menjelaskan beberapa prinsif gagasan Islam liberal yang dikembangkan di Indonesia : (1) pentingnya kontekstual ijtihad, (b) komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan, (c) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non sektarian negara. Menurutnya ada 4 tokoh Liberal di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid, Nuchalis Madjid (alm), Ahmad Wahib, dan Johan Efendi. Lebih lanjut ia mengatakan ada beberapa pokok ajaran liberal, yaitu : (1) menghancurkan ajaran Islam dengan menyebarkan paham pluralisme Agama, (2) meruntuhkan bangunan syariat Islam dengan program "kontektualisasi ijtihad" dan penggunaan metodologi interpretasi hermeunetika terhadap al-qur'an, (3) membongkar konsep al-Qur'an sebagai wahyu Allah, lafdzon wa ma'nan minallah yang suci dari kesalahan, (4) membongkar konsep-konsep dasar Islam seperti makna iman, kufur, murtad, islam dan sebagainya, (5) meruntuhkan otoritas ulama dalam pemahaman Islam dan (6) mendukung kerusakan akhlak, dengan berpegang kepada paham liberalisme dan relativisme moral.

C. Tren Pluralisme Agama dan Dasar-Dasarnya
Menurut Anis Malik Thoha, dalam bukunya Tren Pluralisme: Tinjauan Kritis, mengatakan bahwa tren-tren pluralisme agama secara umum dapat diklasifikasi kedalam empat kategori: Humanisme Sekuler, Teologi Global, Sinkritisme dan Hikmah Abadi.
1. Humanisme Sekuler
Humanisme sekuler adalah suatu system etika (ethical system) yang mengukuhkan dan mengagungkan nilai-nilai humanis, seperti toleransi, kasih sayang, kehormatan tanpa adanya ketergantungan pada akidah-akidah dan ajaran-ajaran agama.
Ciri dari 'Humanisme Sekuler ini adalah "antroposentris", yakni menganggap manusia sebagai hakikat sentral kosmos atau menempatkannya dititik sentral. Pemikiran ini merupakan kebangkitan kembali secara sadar pemikiran relativisme Protagoras, yang ditafsirkan bahwa setiap manusia standard dan ukuran segala sesuatu. Apabila terjadi perbedaan opini diantara mereka dalam suatu masalah , maka tidak ada apa yang disebut "kebenaran obyektif', sehingga tidak boleh dikatakan yang satu benar dan yang lain salah". Diantara tokoh yang mengusung konsep ini antara lain adalah F.C.S Schiller (1863-1937), Bertrand Russel. August Comte (1798-1857)
2. Teologi Global
Pengaruh "globalisasi" luar biasa dahsyat dan komplek dalam mengubah kehidupan manusia dengan segala aspeknya diluar apa yang dibayangkan sebelumnya. Ia telah menyebabkan luntur, dan bahkan lenyapnya jati diri dan nilai-nilai suatu kultur atau budaya. Globalisasi juga telah mempengaruhi secara nyata dan sangat signifikan munculnya gagasan-gagasan dan wacana-wacana teologis baru yang sangat radikal, yang intinya menganjurkan bahwa tidak perlu bersikap resisten dan menentang globalisasi dan globalisme yang sudah nyata-nyata tak mungkin dihindari. Manusia harus mengubah dan merombak pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama dengan semangat zaman dan nilai-nilainya yang diyakini "universal".
Berdasarkan perkembangan global ini menurut John Hick memprediksi bahwa secara gradual akan terjadi proses konvergensi cara-cara beragama dimasa yang akan dating, sehingga pada suatu ketika agama-agama ini akan lebih menyerupai sekte yang beragam dalam Kristen di Amerika Utara dan Eropa saat ini daripada merupakan entitas-entitas yang ekslusif secara radikal.
Wacana atau pemikiran keagamaan lintar kultur ini, menurut Hick yang dikutip Anis harus dibungkus dalam kemasan yang ia sebut global theology.
3. Singkritisme
Tren sinkritisme adalah suatu kecendrungan pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasi berbagai unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak-belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau dalam salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru). Gagasan ini antara lain diusung oleh Friedrich Heiler dan Arnold Toynbee.
Dalam sebuah konfrensi Asosiasi Sejarah Agama Internasional di Tokyo pada bulan September 1958, ia melontarkan gagasan bahwa "mewujudkan persatuan seluruh agama" merupakan satu tugas penting Ilmu Perbandingan Agama. Selanjutnya Arnold Toynbee menyatakan dalam salah satu bab bukunya An Historian's Approach to Relegion "Misi agama-agama besar tidaklah kompetitif, melainkan komplementer atau saling melengkapi. Kita bisa meyakini agama kita sendiri tanpa harus menganggapnya sebagai satu-satunya wadah kebenaran (truth). Kita bisa mencintainya tanpa harus merasakan bahwa ia satu-satunya jalan keselamatan. Hal 102
4. Hikmah Abadi (Shophia Perennis)
Tema utama Himah Abadi adalah "hakikat esoteric" yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam bentuk "hakikat-hakikat exsoteric" dengan bahasa yang berbeda. Hakikat yang pertama adalah "hakikat transcendent" yang tunggal, sementara yang kedua adalah 'hakikat relegius" yang merupakan manifestasi eksternal yang beragam dan saling berlawanan dari hakikat transcendent tadi. Cara pandang ini kemudian menjadi pakem Hikmah Abadi dalam memandang segala realitas pluralitas agama. Dengan kata lain bahwa agama terdiri dari dua hakikat atau dua realitas, yakni esoteric dan exsoteric (esensi dan bentuk) Dua hakikat ini dipisah antara keduanya oleh suatu garis horizontal; dan bukan pertikal, sehingga memisahkan antara yang satu dengan yang lain (Hindu-Budha-Kristen-Islam dan sebagainya). Yang berada di atas garis adalah hakikat bathiniyah (esoteric) dan yang berada di bawah adalah hakikat lahiriyah (exsoteric). Meskipun secara lahiriyah agama berbeda-beda tetapi secara bathiniyah semua agama menuju pada yang satu yakni Tuhan. Tokoh yang mengusung tren ini adalah Frithjof Schuon dan Sayyed Hosein Nasr. Nasr sebagaimana yang dikutip Anis berpendapat : " memeluk atau mengimani agama apapun, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secara sempurna berarti memeluk dan mengimani semua agama,…" hal. 120

D. Islam Dan Pluralitas Agama-Budaya
Al-Qur'an (Q.S. al-Baqarah [2]: 148), mengakui masyarakat terdiri berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu kecurigaan tentang Islam yang anti plural, sangatlah tidak beralasan dari segi idiologis. Bila setiap muslim memahami secara mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam al-Qur'an, tidak perlu lagi ada ketegangan, permusuhan, dan konplik baik intern maupun antar agama selama mereka tidak saling memaksakan.
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebebasan untuk meyakini agama yang dipilihnya dan beribadat menurut keyakinan tersebut. Dalam Al-Qur'an banyak ayat yang berbicara tentang penerimaan petunjuk atau agama Allah. Penerimaan terhadap sebuah keyakinan agama adalah pilihan bebas yang bersifat personal. Barang siapa yang sesat berarti ia menyesatkan dirinya sendiri (QS. al-Isra’[17]:15). Orang yang mendapat petunjuk yang benar tidak akan ada yang menyesatkannya (QS. al-Zumar [39]: 37) dan orang yang sesat dari jalan yang benar tidak akan ada yang dapat menunjukinya selain Allah (Qs. al-Zumar [39]: 9). Selain prinsip tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqarah [2]: 256), juga dikenal prinsif "untuk kalian agama kalian, dan untukku agamaku". (QS al-Kafirun [109]: 6). Sungguhpun demikian, manusia diminta untuk menegakan agama fithrah (QS al-Rum [30]: 30). Fithrah adalah ciptaan dan agama adalah ciptaan Allah. Dua ciptaan dari Maha Pencipta yang sama, yaitu manusia dan agama, tidak mungkin melahirkan kontradiktif. Karena itu, opsi yang terbaik adalah memilih agama ciptaan Allah. Intinya sama sepanjang sejarah, yang dibawa oleh para Nabi/Rasul dan disempurnakan dengan kedatangan Nabi/Rasul terakhir, Muhammad Saw.
Pluralitas adalah merupakan "hukum ilahi dan "sunnah" ilahiyah yang abadi disemua bidang kehidupan, sehinga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama semua makhluk Allah bahkan manusia, macamnya, afialiasinya, dan tingkat prestasi (performance) dalam melaksanakan kewajibannya . Allah berfirman dalam surat al-Hujurat [ 47 ] ayat 13 :
íÇ ÇíåÇ ÇáäÇÓ ÇäÇ ÎáÞäÇßã ãä ÐßÑ æ ÇäËì æ ÌÚáäÇßã ÔÚæÈÇ æ ÞÈÇ Çáì áÊÚÇÑÝæÇ Çä ÇßÑãßã ÚäÏ Çááå ÇÊÞÇßã Çä Çááå Úáíã ÎÈíÑ
Artinya: " Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal."
Ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan fakta diatas secara jelas menerangkan, pluralisme merupakan realitas yang mewujud dan tidak mungkin dipungkiri. Yaitu suatu hakikat perbedan dan keragaman yang muncul semata karena memang adanya kehususan dan karakterstik yang diciptakan Allah dalam setiap ciptaan-Nya. Dan pluralitas yang menyangkut agama, yaitu suatu topik yang sedang kita bicarakan, adalah berarti pengakuan akan eksistensi agama-agama yang berbeda dan beragam dengan seluruh karakteristik dan kekhususannya, dan menerima ke-"lain"-an yang lain beserta hak untuk berbeda alam beragama dan berkeyakinan.
Konsep dan pemahaman pluralitas seperti inilah yang di dukung oleh teks wahyu, akal dan kenyataan. Teks-teks wahyu yang dirujuk seperti dalam surat Huud: [11]: 118-119 dan al-Maaidah [5]: 48, menegaskan bahwa perbedaan dan keragaman bangsa-bangsa, syariat dan filsafah hidup memang dikehendaki oleh Allah swt. Inilah yang pertama. Kedua, ayat al-Qur'an yang menggambarkan bahwa Allah Swt mengutus serangkaian nabi dan rasul kepada manusia sepanjang zaman, dengan membawa akidah Islamiyah yang benar dan agama yang suci (hanif) antara lain seperti Nabi Nuh a.s (Q.S. Yunus [10 ]: 71), Nabi Ibrahim dan cucu-cucunya (Q.S. al-Baqarah [2]: 128), Nabi Yusuf (Q.S. Yunus [ 10 ]:101), Nabi Musa (Q.S. Yunus [10]: 48), Nabi Sulaiman (Q.S. an-Naml [ 27 ]: 44) dan nabi-nabi Bani Israil (Q.S. al-Mâidah [5]: 44), Ali Imran [3]:52}. Jika memang tidak ada perbedaan hakiki antara agama-agama tentu saja pengutusan ini tidak ada artinya atau sia-sia, dan ini adalah hal yang mustahil bagi Allah. Ketiga, Ayat-ayat al-Qur'an yang di dalamnya Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengajak ahli kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) dan para penyembah berhala semua agar masuk Islam (Q.S. Ali Imran [3]: 20 dan 64). Allah berfirman
ÝÇä ÍÇÌæß ÝÞá ÇÓáãÊ æÌåì ááå æ ãä ÇÊÈÚä æ Þá ááÐíä ÇæÊæÇ ÇáßÊÇÈ æ ÇáÇãííä Á ÇÓáãÊã ÝÇä ÇÓáãæÇ ÝÞÏÇåÊÏæÇ æ Çä Êæáæ Ç ÝÇÁäãÇ Úáíß ÇáÈáÛ æ Çááå ÈÕíÑ ÈÇáÚÈÇÏ (Çá ÚãÑÇä : 20)
Artinya : "Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, :Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikain pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, "Apakah kamu (mau) masuk Islam?". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan(ayat-ayat Allah). Dan Allah maha melihat akan hamba-hambanya.
Ini menunjukan perbedaan yang substansial antara Islam dan agama-agama lain. Keempat, ayat-ayat dalam surat al-Kâfirûn [109]: 1-7, dimana Allah Swt memerintahkan Nabi-Nya untuk mencuci tangan (barâ'ah) dari agama orang kafir dan musyrik Quraisy. Hal ini kalau tidak ada perbedaan tentu Rasulullah tidak mungkin berbuat demikian. Kelima, ayat-ayat al-Qur'an yang menceritakan saling lempar klaim-klaim kebenaran (truth claim) antara kaum Yahudi dan Nasrani, bahwa klaim-klaim tersebut hanyalah angan-angan kosong, dan bahwa yang haq hanyalah Islam Jadi sangat jelas ada perbedaan hakiki dan mendasar antar agama terutama Islam, Yahudi dan Nasrani.
Selanjutnya menurut logika akal sehat, bahwa tidak mungkin dibayangkan adanya pluralitas atau keberagamaan antara dua hal, kecuali jika masing-masing dari kedunya memiliki karakteristik khusus yang membedakan dirinya dari yang lain. Tanpa itu keragaman tidak akan wujud, dan yang wujud adalah keseragaman (uniformity). Demikian juga dalam hal agama-agama, tidak mungkin dibayangkan adanya agama-agama yang berbeda-beda dan beragam kecuali jika memang diantara yang satu dengan yang lain benar-benar ada perbedaan, yakni masing-masing mempunyai ciri atau karakteristik yang khusus yang membedakan dirinya dari yang lain..
Dari segi kenyataan praktis historis, kita saksikan sejarah masyarakat-masyarakat manusia, dulu maupun kini, penuh berbagai macam peperangan dan konplik berdarah yang sering diwarnai agama, antar kelompok, suku atau bangsa. Kita masih menyaksiakan pertikaian-pertikaian agama berdarah di Palestina, Kashmir, India, Filifina dan sebagainya. Belum lagi perang peradaban yang tidak kalah dahsyatnya dengan pertikaian agama, yaitu perang antar peradaban Islam disatu pihak dengan peradaban Kristen yang didukung sekularisme dipihak lain. Hal ini tentu saja menunjkan secara gambling adanya perbedaan mendasar antar agama-agama.

E. Kekhawatiran terhadap Paham Pluraisme Agama
Paham pluralisme sekurang-kurangnya memiliki dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama : aliran kesatuan trasenden agama-agama (transcendent unity of religion) dan teologi global (global theology). Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung gerakan globalisasi, dan paham yang kedua inilah yang kini ujung tomba gerakan weternisasi.
Karena pluralisme ini sejalan dengan agenda globalisasi, iapun masuk kedalam wacana keagamaan agama-agama termasuk Islam. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran keagamaan Islam, respon yang muncul hanyalah adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cendrung menjustifkasi. Akhirnya yang terjadi justru peleburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran moderenisasi dan globalisasi. Caranya adalah dengan memaknai kembali konsep Ahlul Kitab dengan pendekatan Barat. Jika perlu makna itu di dekonstruksikan dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh Muhammad Arkoun. Ia mengusulkan misalnya agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial historis Barat. Dan dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahlul Kitab itu didekonstruksikan agar lebih kontekstual. Disitu ayat-ayat tentang Ahlul Kitab dijadikan alat justifikasi, meskipun terkadang dieksploitir tanpa memperhatikan konteks histories dan metodologi tafsir standar. Mindset seperti ini jelas sekali telah terhegemoni oleh pemikiran Barat. Inti doktrinnya adalah untuk menghilangkan sifat ekslusif umat beragama, khususnya Islam. Artinya dengan paham ini umat Islam diharapkan tidak lagi bersifat panatik, mempunyai sikap militansi, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah. John Hick, tokoh pluralisme agama, diantara prinsip pluralisme agama menyatakan bahwa agama lain adalah sama-sama jalan yang benar menuju kebenaran yang sama (Other religions are equally valid ways to them same truth). Di Indonensia paham ini disebar luaskan oleh Sekolah Tinggi Teologi Kristen, dan diikuti oleh para cendikiawan muslim. Jadi pengembangan teologi pluralis itu sendiri sebenarnya merupakan pelaksanaan dari teori Samuel Zwemmer untuk melemahkan umat Islam, Dengan teologi semacam ini , umat Islam sudah terjebak untuk tidak meyakini kebenaran agamanya.
Dampak yang lebih kongkrit dan berbahaya dari paham pluralisme adalah diplokramirkannya praktek kawin beda agama. Untuk itu para cendikiawan muslim mencoba merobah konsep Ahlul Kitab dalam al-Qur'an dan al-Hadits, dengan memasukan semua agama adalah sama benarnya. Karena semua agama sama, maka muncullah hukum baru yang membolehkan wanita muslim kawin dengan laki-laki Kristen. Masalah kawin beda agama ini tercantum dalam "Universal Declaration of Human Right" pasal 16 ayat 1, yang berbunyi : "Pria dan wanita dewasa, tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan, atau agama, memiliki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan." Pasal ini sebenarnya telah ditolak oleh umat Islam melalui Memorandum Organisasi Konprensi Islam (OKI). Dalam memorandaum tersebut ditekankan perlunya "kesamaan agama" dalam perkawinan bagi muslimah, "Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesamaan agama bagi setiap muslimat". Oleh karena itu penerimaan paham pluralisme agama berarti penerimaan agama lain sebagai sama benarnya dengan Islam. Ironisnya gagasan ini mendapat sambutan yang positif dari sekelompok cendikiawan Muslim yang didukung oleh Universitas Paramadina. Buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh yayasan Paramadina adalah hasil dari pemikiran pluralisme agama yang disebarkan Barat. Islam mengakui adanya pluralitas agama (keberagamaan agama) tapi menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama)
Ada beberapa kelemahan mendasar dari paham Pluralisme Agama . Pertama, Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tetapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan "kebenaran ekslusif" sebuah agama. Mereka menafikan klaim "paling benar sendiri" dalam suatu agama, akan tetapi justru faktanya "kaum pluralis"lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statemen keagamaan (religion statement). Kedua, adanya "pemaksaan" nilai-nilai dan budaya barat (weternisasi), terhadap negara-negara dibelahan dunia Timur, dengan berbagai bentuk dan cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan pengerahan militer secara besar-besaran seperti tengah menimpak Irak saat ini. Mereka merelatifkan Tuhan-Tuhan yang dianggap absolute oleh kelompok-kelompok lain. Namun disaat yang sama "secara tanpa sadar" mereka mengklaim bahwa Tuhan mereka sendiri yang absolute. Tuhan yang absolute menurut mereka namanya seperti yang diusulkan John Hick, adalah "The Real", yang secara kebetulan ia dapatkan padanan katanya dalam tradisi Islam sebagai "al-Haq". Tapi anehnya ia menolak "al-Haq" ini sebagai "The Real" dengan alasan bahwa "al-Haq" telah mengalami akulturasi konseptual dalam kultur dan tradisi tertentu, yaitu Islam.
Pluralisme tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbul-simbul keagamaan tradisional. Jadi wacana pluralisme sebenarnya merupakan upaya penyeragaman (uniformity) atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagamaan agama. Dan secara antologi ini jelas bertentangan dengan sunatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Gagasan penyamaan agama oleh sebagian kalangan kemudian dipopulerkan dengan istilah pluralisme agama yang dikembangkan sampai ke level operasional kehidupan sosial, seperti penghalalan perkawinan antar-agama dan sebagainya tidak terlalu tepat disandarkan pada ide Trancendent Unity of Relegion yang secara sistimatis dikembangkan oleh Fritchof Schuon. Dengan gagasan ini "Pluralisme Agama" itu, maka tidak boleh ada "truth claim", bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan gagasan itu, maka masing-masing agama tidak boleh mengklaim memiliki kebenaran secara mutlak, karena masing-masing mempunyai metode, jalan atau bentuk untuk mencapai Tuhan. Trancendent of Unity sendiri berpendapat, bahwa semua agama esensinya semua dianggap sama saja, sebab agama-agama itu didasarkan kepada sumber yang sama, Yang Mutlak. Bentuknya bisa berbeda karena manfestasi yang berbeda ketika menanggapi yang mutlak. Tapi semua agama dapat bertemu pada level esoteris, kondisi internal atau batin, dan berbeda dalam bentuk lahirnya (eksoteris) saja. Jika dicermati, Pluralisme agama sebenarnya merupakan agama baru, dimana sebagai agama dia punya Tuhan sendiri, nabi dan kitab suci serta ritual sendiri, sebagaimana humanisme juga merupakan agama, dan Tuhannya adalah nlai-nilai kemanusiaan, seperti yang dikatakan August Comte. John Dewey mengatakan demokrasi adalah agama dan Tuhannya adalah nilai demokrasi.
Menyikapi perkembangan tren pluralisme agama akhir-akhir ini, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai institusi berkumpulnya para ulama dan cendekiawan muslim dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-7 di Jakarta, 24-29 Juli 2005, mengeluarkan 11 fatwa. Fatwa itu antara lain berkaitan dengan sesat dan haramnya ajaran Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme. Dalam kaitan dengan Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme Agama dalam ketentuan umumnya dinyatakan : Pertama, Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga". Kedua, Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara/daerah tertentu terdapat berbagai bentuk pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Ketiga, Liberalisme adalah memahami nas-nas agama (al-Qur'an dan Sunnah) dengan menggunakan akal dan pikiran yang bebas semata, hanya menerima doktrin agama yang sesuai dengan akal dan pikrian semata; Keempat, Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama. Agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sementara hubungan dengan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka MUI mengeluarkan ketentuan hukum: pertama, Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud dalam bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam; kedua, umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. ketiga, dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekslusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain; keempat, bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama) dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan agama ibadah, umat Islam bersikap inklusif dalam artian tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak merugikan.



F. Pro dan Kontra tentang Pluralisme Agama
Dari hasil bacaan beberapa literutur, penulis menemukan minimal para cendikiawan dan pemikir Islam terdapat perbedaan didalam menyikapi nilai-nilai Pluralisme. Perbedaan itu terletak pada definisi tentang Pluralisme Agama, kedua pada pemahaman teks ayat yang berkaitan dengan pluralitas agama dan pada truth klaim kebenaran agama.
1. Definisi pluralisme agama
Sebagaimana di paparkan pada bagian terdahulu, Nurchalis Madjid dikutip Adian Husaini, dalam majalah Media Dakwah Edisi No. 358 2005 menyatakan bahwa Pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi. Dia mengelompokan ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu: Pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya. Kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita). Ketiga Sikap Pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya " Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama", "Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah". Atau ' setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran".
Sementara Komarudin Hidayat dalam Andito (ed.) yang dikutif Jaih Mobarak mengatakan bahwa Sikap Pluralisme Agama, yakni secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas, masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah dianggap tidak relevan; sedangkan Universalisme, yakni pandangan bahwa pada dasarnya semua agama satu dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis agama kemudian tampil dalam format plural. Di Indonensia nampaknya umat Islam masih didominasi pandangan ekslusivisme. Disisi yang lain Fatwa MUI mendefinisikan Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga". sehingga MUI secara tegas menyatakan bahwa paham pluralisme agama bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut Azumardi Azra dalam penyusunan fatwa, MUI terutama dalam mendefinisikan istilah Liberalisme dan Pluralisme seharusnya tidak hanya sekedar mencari pertimbangan kajian Fiqh, tetapi pertimbangan lain seperti pertimbangan sisi budaya, agama, dan lain-lain dalam konteks kebangsaan. Tetapi hemat penulis terlepas tepat atau tidaknya definisi MUI tentang Pluralisme agama sebagaimana diatas, justru pertimbangan tersebut telah memperhatikan aspek teologis, realitas, empiris dan sebagai tindakan prefentif agar tidak terjadi pengikisan akidah umat terutama mereka yang memiliki tarap pemahaman agama yang masih rendah.
2. Pemahaman Teks Ayat yang Berkaitan dengan Pluralitas Agama
Dalam hasil penelitian Syamsul Hidayat, disebutkan bahwa para pemikir Islam berbeda pendapat dalam melihat isyarat-isyarat al-Qur'an tentang pluralisme keagamaan, pandangan pertama, dan ini merupakan pandangan yang dominan dalam Islam dan juga dalam agama-agama lain yaitu mereka yang berangkat dari klaim kebenaran atas agamanya sendiri, sementara agama orang lain adalah agama yang salah dan sesat. . Alasan yang memiliki pandangan yang pertama ini menurut hasil penelitian tersebut adalah bahwa isyarat al-Qur'an tentang pluralitas keagamaan dan adanya larangan pemaksaan dalam memasuki agama, adalah justru untuk menunjukan kebenaran Islam diatas agama-agama yang lain. Meski demikian Islam mengakui, bahkan menghormati kebenaran agama-agama tersebut. Beberapa ayat yang menjadi dasar rujukan pandangan pertama ini adalah: Al-Qur'an hanya memerintahkan mengajak mereka kepada akidah Islam dengan hikmah (Q.S. An-Nahl [16]:125) tanpa paksaan (Q.S. al-Baqarah [2]: 256). Dan sekalipun orang-orang non muslim itu tetap kepada akidah mereka, hak-hak mereka dijamin oleh hukum syari'ah yang diterapkan secara sama sehingga seluruh warga bersama kedudukannya dihadapan hukum syara.
Menurut Roem Rowi yang dikutif Hidayat, tidak dipaksanya manusia untuk kembali bersatu dalam agama yang satu yakni Islam dkarenakan dua hal : Pertama, karena agama adalah keyakinan yang akan memberikan ketenangan dan kepuasan batin dan bahkan sebaliknya akan melahirkan sifat kemunafikan yang amat dibenci oleh Allah. Kedua, karena telah nyata jalan menuju kebenaran, sebagaimana jelasnya jalan menuju kesesatan, sementara manusia telah dilengkapi dengan perangkat akal. (QS. Ali –Imran [3]: 85), "Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama) itu darinya (fala yuqbalu minh), dan di akhirat termasuk orang-orang yang rugi,"
Pandangan kedua, kelompok pemikir yang melihat bahwa isyarat al-Qur'an akan pluralisme keagamaan tersebut, tidak hanya menunjukan kebenaran Islam, selama esensi keberagamaan, yakni penyerahan diri secara total kepada Tuhan menjadi pandangan hidupnya. Dalam hal ini Ulil Absar Abdalla, mengatakan "Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran. "Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu (pen: sesuai dengan yang dpahami dan telah berjalan selama ini), jalan panjang menuju yang maha besar. Semua agama dengan demikian adalah benar, dengan variasi tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan relegusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran." Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non muslim, sudah tidak relevan lagi.
Amin Abdullah dalam bukunya "Al-Qur'an Pluralisme"(1997) yang dikutif Hidayat menegaskan : Secara dialektis dan hermeneutika, al-Qur'an memberikan tawaran yang bersifat terapis dari kecendrungan umat beragama yang selalu ingin menuntut truth claim, secara sepihak. Al-qur'an memberikan jawaban yang sangat tegas terhadap pernyataan-pernyataan umat beragama yang bersifat ekslusif tersebut. (Seakan Al-Qur'an mengatakan), "Petunjuk bukanlah fungsi dari kaum-kaum tertentu, tetapi dari Allah dan manusia-manusia yang sholeh; tidak ada satu kaum pun dapat mengatakan (mengklaim) bahwa hanya merekalah yang telah diangkat Allah dan yang telah memperoleh petunjuk-petunjuk-Nya. Fazlur Rahman dalam bukunya Interpretion in the Qur'an yang dikutip oleh Alwi Shihab mengatakan bahwa ada beberapa ayat al-Qur'an yang menunjukan kepada nilai pluralisme Islam dan menjadi dasar argumentasi pandangan kedua ini antara lain adalah : Al Hujarat (49) ayat 13, " Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal." Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt telah menciptakan makhluknya, laki-laki dan perempuan, dan menciptakan manusia berbangsa-bangsa, untuk menjalin hubungan yang baik. Kata ta'ârafû pada ayat ini maksudnya bukan hanya berinteraksi tetapi berinteraksi positif. Karena itu setiap hal yang baik dinamakan dengan ma'rûf. Jadi dijadikannya makhluk dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan bahwa satu dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Lalu dilanjutkan dengan ayat … inna akramakum 'indallahi atqâkum… maksudnya, bahwa interaksi positif itu sangat diharapkan menjadi prasyarat kedamaian dibumi ini., namun yang dinilai terbaik di sisi Allah adalah mereka itu yang betul-betul dekat kepada Allah.
Selanjutnya dalam Surat al-Ankabut (29) ayat 46 Allah menegaskan "Dan janganlah kemu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zolim diantara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.". Kemudian dalam surat al-Mâidah [5]: 48: "…Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu". Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia dapat menciptakan suatu bangsa atau satu umat, tetapi kenapa tidak?. Alasannya sebagaimana dijelaskan dalam lanjutan ayat, yaitu liyabluwakum fii mâ âtâkum… untuk menguji dengan apa yang kalian terima dari tuntunan Allah. Apakah manusia akan konsisten atau menyimpang. Oleh karena Allah ingin melihat siapa yang konsisten dan siapa yang tidak/menyimpang, maka fastabiqul khairât, berlomba-lombalah untuk menunaikan kebaikan. Sebab semua akan kembali kepada Allah. Jadi dengan demikian yang dikehendaki Allah adalah pluralisme interaksi positif, saling menghormati . " Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (Q.S. Hûd [11]: 118). Dalam ayat ini dapat dipahami kalau Tuhan mau, dengan gampang sekali akan menciptakan manusia semuanya dalam satu grup, monolitik dan satu agama, tetapi Allah tidak menghendaki hal tersebut. Tetapi justru Tuhan menunjukan kepada realita bahwa pada hakikatnya manusia itu berbeda. Ini kehendak Tuhan. "Sesungguhnya orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan Orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian serta beramal sholeh, mereka semua akan mendapat pahala dari Tuhan mereka dan tidak ada kuatir, tidak pula akan berselisih (QS. Al-Baqarah: 62)
Jadi jelas menurut pandangan kedua ini, bahwa nilai-nilai pluralisme dalam Islam dapat dijumpai dalam al-Qur'an. Hanya saja terkadang karena fanatisme manusia yang membawa dia bukan kepada khilaf , tetapi kepada syiqaq. Khilaf adalah perbedaan pendapat yang didasari atas saling hormat menghormati, sedangkan shiqâq adalah perbedaan pendapat yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan. Menurut Quraish Shihab, kalaulah ayat ini dipahami oleh umat Islam sebagaimana bunyi harpiyahnya, dan diterima pula oleh para penganut agama lain, tanpa mengaitkan dengan teks-teks keagamaan yang lain niscaya absolutusme dalam keberagamaan niscaya akan berkurang dan akan pupus sama sekali.
Sebagai ideologi dan gerakan politik, pluralitas pernah diteladani oleh Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah Saw berada di Madinah. Apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW bukanlah upaya melegitimasi agama resmi saat itu dan bukan pula alat pemaksa agar orang-orang memeluk Islam seluruhnya. Dengan mengikuti prinsif universal keadilan ilahi saja, kita ketahui bersama bahwa perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan sosial, budaya dan kesempatan seseorang, meniscayakan diferensiasi penerimaan konsep tentang Tuhan dan Agama. Dalam hal toleransi Nabi Muhammad pernah memberikan suri teladan yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tanah tumpah daranya (Makkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah Islam Fathul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak mengambil langkah balas dendam kepada siapapun juga yang telah mengusirnya dahulu dari tanah kelahirannya " Antum Tulaqa (kamu sekalian bebas)". Peristiwa ini sangat memberikan inspirasi dan memberikan kesan yang sangat mendalam terhadap penganut agama Islam dimanapun mereka berada dan Nabi telah memberikan contoh kongkrit dan sekaligus contoh pemahaman dan penghayatan pluralisme keagamaan yang amat riil dihadapan umatnya. Disini dimensi historisitas keteladanan Nabi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam penghayatan beragama. Tanpa didahului polemik pergumulan filosofis-teologis, Nabi tidak menuntut "truth claim" atas nama dirinya maupun atas nama agama yang dianutnya. Dia mengambil sikap "agree in disagreement" . Dia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain, tanpa kesadaran dari lubuk hatinya. Disitu nabi Muhammad SAW sangat mengakui eksistensi dan keberadaan agama-agama lain selain Islam.
Amin Abdullah berkomentar dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara relegius, sejak semula memang telah dibangun diatas landasan normatif historis sekaligus. Jika ada hambatan atau anomala-anomali disana sini, penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam itu sendri yang bersifat intoleran dan ekslusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai tempat. Kompetisi untuk menguasai sumber–sumber ekonomi, kekuasaan politik, hegemoni kekuasaan, jauh lebih mewarnai ketidak-mesraan hubungan antar pemeluk agama dan bukannya oleh kandungan ajaran etika "agama" itu sendiri.
3. Truth Claim Kebenaran Agama.
Padangan yang sepakat adanya truth claim berpendapat bahwa sebagai penganut agama, manusia tidak dapat mengetepikan hubungan kitab suci dengan truth claim, Agama tanpa truth claim ibarat pohon tak berbuah. Tanpa adanya truth claim yang oleh Whitehead disebut dogma, atau Fazlur rahman disebut normatif (transcendent aspect), maka agama sebagai bentuk kehidupan (form of life) yang distinctive tak akan punya kekuatan simbolik yang menarik pengikutmya. Whitehead menyimpulkan bahwa baik dalam agama maupun ilmu pengetehuan, truth claim yang terbungkus dogma adalah sah. Dogma dalam agama merumuskan kebenaran pengalaman beragama, sedang dogma dalam ilmu pengetahuan mengungkap kebenaran pengamatan rasional .
Klaim kebenaran (truth –claim) bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu ia merupakan esensi jati diri sebuah agama. Oleh karena itu solusi apapun yang dimaksud untuk menyelesaikan problem pluralitas klaim kebenaran yang saling bertentangan (conflicting truth claim) tidak boleh menggangu gugat keunikan dan eksklusivitas ini, baik dengan cara reduksi, distorsi atau relativisasi, apalagi dengan negasi. Sebab hal ini akan membunuh karakter atau jati diri agama itu sendiri. Islam dengan konsep Hanifisme-nya memberikan solusi teologis yang paling rasional dan humane. Sedangkan secara praktis fiqhiyyah, Islam memberikan pula, yaitu dengan konsep "plurality of laws" dimana setiap pemeluk agama menikmati pemerintahan "otonomi" sesuai dengan keyakinan masing-masing. Dengan demikian, Islam telah memberikan "yang paling maksimal" kepada agama lain yang tidak ada bandingannya dalam sejarah. . Perbedaan mendasar antara teori-teori Islam dan pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan penomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologism yang genuine, yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keagamaan yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine,. Perbedan metodologis ini pada gilirannya akan mengiring pada perbedan dalam menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis-oleh karenannya lebih bersifat fiqhiyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis efistimologis.
Kelompok yang tidak setuju, berpendapat bahwa klaim kebenaran dan eksklusifisme secara sepihak, dicela oleh Al-Qur'an (Al-Baqarah [2]: 113) sebaliknya al-Qur'an mengajarkan ingklusifitas dalam beragama (QS Ali Imran [3]: 84). Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa adanya perpecahan dan perbedan agama tersebut disebabkan oleh wahyu-wahyu Allah yang disampaikan oleh para nabi, yang ini merupakan sunah dan rahasia Allah. Al-Qur'an mengajarkan paham kemajemukan keagaman (religiousitas plurality). Ajaran itu tdak perlu diartikan sebagai secara langsung pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuk yang nyata sehari-hari (dalam hal ini bentuk-bentuk nyata keagamaan orang-orang muslimpun banyak yang tidak benar, karena secara prinsipil bertentangan dengan ajaran dasar kitab suci Al-Qur'an seperti sikap pengkultusan kepada sesama manusia dan makhluk lain (baik yang hidup maupun yang mati). Akan tetapi ajaran kemajemukan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberikan kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para penganut agama itu masing-masing baik secara pribadi/kelompok.

G. Pendapat Penulis dalam hal Pluralisme Agama
Dengan membaca dan menelaah tentang konsep paham pluralisme beserta argumentasi-argumentasi yang di kemukakan baik oleh yang pro maupun kontra pluralism, maka menurut penulis Islam sesungguhnya mengakui adanya pluralitas agama (keberagaman agama) dengan berbagai argumentasi ayat Qur'an diatas dan menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama)
Pluralisme agama (semua agama sama) bertentangan dengan ajaran Islam sebab dengan paham tersebut dakwah Islam menjadi terputus, syariah Islam terhapus, bahkan akidah Islam tergerus.
Mengakui kebenaran semua agama, adalah paham syirik, karena mencampuradukan yang hak dan yang bathil, dan menodai tawhid Islam. Paham seperti ini meremehkan ayat-ayat al-Qur'an yang mengkritik kepercayaan agama lain yang dinilai Islam telah menyimpang, seperti kepercayaan kaum Kristen bahwa "Allah mempunyai anak". Padahal Al-qur'an memandang serius penyimpangan yang dilakukan kaum Nasrani dalam pemahaman konsep Tuhan mereka. " hampir-hampir langit pecah karena itu dan bumi terbelah, dan gunung hancur lebur. Karena mereka menuduh al-Rahman mempunyai anak (Q.S. Maryam [19]: 90-91). Hal yang paling mendasar dan sangat bertentangan antara Islam dengan agama lain adalah Tuhan yang disembah berbeda dan tata cara penyembahannya pun berbeda hal inipun menafikan ayat Qur'an pada surat Ali Imran [3]:19, 20 dan 31 artinya : Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam . Tiada berselisih orang-orang yang diberi al-Kitab (kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur'an) kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian yang ada) diantara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah maha cepat hisabnya. Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, : Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikain pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, "Apakah kamu (mau) masuk Islam?". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan(ayat-ayat Allah). Dan Allah maha melihat akan hamba-hambanya. Di ayat lain (Q.S. al-Baqarah [2]: 256) Allah berfirman "Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelasa jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada taaguut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada bukhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.
Dalam surat Ali Imran [3]: 85 Allah juga menegaskan dengan firman, " Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi".
Klaim kebenaran (truth claim) merupakan sesuatu yang wajar , sebab hal ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan dan keistiqamahan dalam memeluk dan memegang teguh ajaran agama. Hal inipun dapat dilihat dari isyarat-isyarat al-Qur'an antara lain QS. Ali Imran [3]: 19, 20 dan 21 sebagaimana disebutkan diatas. Tetapi truth klaim menurut penulis bukan hanya sekedar sampai pada tataran konsep, akan tetapi akan lebih terlihat lagi ketika diwujudkan dalam kehidupan nyata. Lebih arif lagi manakala truth claim lebih bersifat kedalam sehingga tidak menimbulkan berbagai gesekan-gesekan ditengah-tengah masyarakat.
Mengenai adanya kritikan oleh pihak-pihak tertentu bahwa fatwa MUI kurang mempertimbangkan aspek keagamaan dan kebangsaan. menurut hemat penulis fatwa MUI tentang sesatnya paham Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme cukup argumentatif. Argumentasinya adalah ketika orang berpandangan bahwa semua agama adalah sama, maka orang akan bebas untuk keluar masuk agama sesuai dengan keinginan nafsunya tanpa memperhatikan rambu-rambu yang telah diatur dalam syari'at agama Islam seperti kebolehan untuk menjadi murtad. Penulis juga berasumsi bahwa ketika MUI mengeluarkan fatwa tersebut, merupakan salah satu langkah perpentif guna pembentengan akidah umat dari pengikisan akidah dan telah mempertimbangkan berbagai aspek baik aspek teologis, sosiologis, budaya, politik dan syariat dalam Islam. Dalam lembaga MUI pun berkumpul 300 lebih para pemikir, cendikiawan, umara dan para ulama Islam yang diyakini oleh penulis mempunyai kredibilitas dan wawasan keagaman serta kebangsan yang luas. Lebih-lebih lagi paham ini telah ditolak dalam Konprensi Organisasi Islam Dunia. (OKI)

III. PENUTUP
Pluralitas termasuk pluralitas agama pada dasarnya merupakan sebuah realitas dalam kehidupan dunia. Al-Qur'an mengakui secara tegas adanya pluralitas (keberagamaan) dalam berbagai aspek kehidupan dengan berbagai argumentasi ayat al-Qur'an.
Terminologi pluralisme atau dalam bahasa Arabnya, "al-ta'addudiyyah", tidak dikenal secara popular dan tidak banyak dipakai dikalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke 20 yang lalu, yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional Barat yang baru yang memasuki sebuah pase yang dijuluki Muhammad Imarah sebagai "marhalat al-ijtiyaah" (fase pembinasaan). Yaitu sebuah perkembangan dalam upaya Barat yang habis-habisan guna menjajakan ideology modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas dan mengekspornya untuk konsumsi luar guna berbagai kepentingan yang beragam. Tidak adanya terminology pluralitas dalam agama secara verbal dalam teks-teks suci, al-Qur'an maupun al-Sunnah serta kitab-kitab klasik, sama sekali tidak menunjukan tidak-adanya konsep atau teori tentang pluralitas agama dalam Islam. Hanya saja harus diakui, sebagian besar konsep atau teori ini tidak dituangkan atau dikupas dalam bentuk karya independent.
Gagasan Pluralisme Agama lahir dan muncul dari paham "liberalisme politik" dan merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen sekaligus merupakan gerakan reformasi pemikrian liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abd ke 19 dalam gerakan "Liberal Protestantism".
Teori-teori yang mendasari lahirnya paham Pluralisme agama dapat diklasifikasi dalam empat kategori yakni Humanisme Sekuler, Teologi Global, Sinkretisme dan Sophia Perennis.
Dalam hal pluralitas agama, Islam memberikan kebebasan untuk memilih dan meyakini serta beribadah menurut keyakinan masing-masing. Pemilihan sebuah keyakinan merupakan pilihan bebas yang bersifat personal. Meskipun demikian , manusia diminta untuk memilih dan menegakkan agama fitrah.
Meskipun Islam mengakui adanya pluralitas akan tetapi menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama). Toleransi dalam Islam tidak berarti pluralisme agama, saling menghargai dan menghormati antar penganut agama atau paham tidak berarti menganggap semua agama adalah sama lebih-lebih dengan mengatasnamakan Islam. Pada surat Ali-Imran [3]: 19 ini secara tidak langsung dapat dipahami bahwa klaim kebenaran pada dasarnya boleh-boleh saja.
Truth Claim masing-masing agama adalah sifat jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya dalam arti silahkan masing-masing untuk mengatakan bahwa agamanya yang paling benar tetapi menurut keyakinannya masing-masing.









DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Atang dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000, Cet. III.

Abdul Helim (ed.), Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, Jakarta: Ciputat Pers, 2001, Cet. I

Abdullah, M.Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999, Cet. II

Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal Di Indonesia Pemikiran Neomodernisme Nurchalis Madjid, Djohan Efendi, Ahmad wahib dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: kerjasama Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, dan Ford Foundation , 1999.

Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Jumaaanatul 'Ali, 2004.

el-Ijtima: Jurnal Media Komunikasi Pengembangan Masyarakat Madani, LPM IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 3.No. 2 Juli-Desember 2002

Hidayat, Syamsul. Studi Agama dalam Pandangan Al-Qur'an, (Hasil penelitian, 2001,)

Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Ismail, H. Faisal, Prof. DR. Pijar-Pijar Islam : Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta: Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2002

Kahmad, H. Dadang, Sosiologi Agama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002, Cet. II.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1994, Cet. VI

Mansur, Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Global Pustaka Utama, 2004, Cet. I

Madjid, Nurchalish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tnetang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. IV

Majalah Media Dakwah, Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, edisi No. 358 Sya'ban 1426 H- September 2005

Menjawab Tantangan Sekularisme dan Liberalisme Di Dunia Islam, Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat Putaran V di Pasuruan , 45 April 2005

Nata, H. Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindu Persada, 1998, Cet. I

Saifuddin, Upaya Mempertemukan Realitas Dalam Pluralitas Sosial Budaya, Jurnal Suhuf , No.01 tahun XII, 2000,

Sururin (ed.) Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak, Bandung: Nuansa, 2005, Cet. I

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1998, Cet. VIII.

----------, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1999, Cet. XX.

Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur'an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Qur'an, Jakarta: Penamadani, 2004, Cet. II

Sudjana, Nana. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiyah: Makalah-Skripsi-Tesis-Disertasi, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003, Cet. VII

Syafi'i Ma'arif, Ahmad. Al Qur'an, Realitas Sosial dan Lombo Sejarah, Bandung: Pustaka, 1985.

Thoha, Malik, Anis, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan kritis, Jakarta, Perspektif, 2005, cet. I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar